Dinasti Abbasiyah (92): Abu Ishaq Al-Muktasim (23)

in Sejarah

Last updated on September 29th, 2019 05:47 am

Menjelang akhir hayatnya, Al-Muktasim sempat merencanakan untuk menaklukkan Andalusia. Dia berkata, “Dahulu, ketika Bani Umayyah berkuasa dan memegang tampuk kekhalifahan, kita tidak mendapat sedikitpun jatah kue kekuasaan. Lalu ketika sekarang kita berkuasa, Bani Umayyah mendapat keleluasaan membangun kekuasaanya di wilayah Andalusia. Karena itu, kita akan ke barat, dan merebut Andalusia dari kekuasaan Bani Umayyah”

Gambar ilustrasi. Sumber: studio.education

Setelah wafatnya Al-Afshin, komandan Turki yang lain memperoleh kesempatan mengisi banyak posisi penting dalam pemerintahan Abbasiyah. Aytahk di percaya pemimpin wilayah Yaman, menggantikan Jakfar bin Dinar; Ishaqbin Yahya bin Muadh, menjabat sebagai komandan dan tinggal di Istana Al-Afshin; dan yang paling tinggi posisinya adalah Ashinas, besan Al-Afshin yang juga orang kepercayaan Al-Muktasim sejak dulu.[1]

Seperti Al-Afshin dulu, dia dianugerahi tahta dan mahkota dengan upacara kenegaraan. Yang berarti dia adalah orang terdekat kedudukannya dengan khalifah. Selain itu, Ashinas juga ditunjuk sebagai penguasa wilayah al-Jazirah, Suriah, dan Mesir, meski pada prakteknya, dia tetap tinggal di Samarra mendampingi Al-Muktasim.[2]

Pada tahun 226 H, Ashinas melakukan perjalanan haji. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat dan wali negeri. Namanya mulai disebut-sebut dalam setiap khutbah Jumat di sejumlah kota, mulai dari Samarra hingga ke Makkah dan Madinah. Dalam khutbah tersebut, mereka memanggil Ashinas dengan sebutan Amir.[3]

Rencanan Ekspedisi ke Andalusia

Setelah dirasa semua ancaman terhadap kekuasaannya sudah berakhir, Al-Muktasim melakukan inspeksi ke sejumlah wilayah perbatasan kekuasaannya. Melihat wilayah kekuasaannya dalam keadaan aman dan damai, dia merasa cukup puas.

Ketika itu dia berujar, “Dulu, ketika Bani Umayyah berkuasa dan memegang tampuk kekhalifahan, kita tidak mendapat sedikitpun jatah kue kekuasaan. Lalu ketika kita sekarang berkuasa, Bani Umayyah mendapat keleluasaan membangun kekuasaanya di wilayah Andalusia. Karena itu, kita akan ke barat, dan merebut Andalusia dari kekuasaan Bani Umayyah.”[4]

Maka pada sekitar awal tahun 227 H, Al-Muktasim mulai mempersiapkan segala keperluan untuk melakukan ekspedisi militer menginvasi Andalusia. Tapi di tengah persiapan tersebut, tiba-tiba tersiar kabar bahwa seorang bernama Abu Harb Al-Mubarqa Al-Yamani telah berhasil menggalang kekuatan sekitar 100.000 orang dan akan melakukan pemberontakan.[5]

Berbeda dengan banyak pemberontakan sebelumnya yang motif politiknya berakar dari masa lalu. Pemberontakan Abu Harb ini lebih bersifat reaksioner dan sporadis. Meski demikian, sejumlah motif politik masa lalu pun akhirnya dikaitkan dengan pemberontakan ini untuk mendukung legitimasi kepemimpinan Abu Harb.

Dikisahkan oleh Tabari, bahwa Abu Harb awalnya adalah orang biasa yang ditinggal di wilayah Palestina. Pada satu hari Abu Harb pergi keluar rumah dengan hanya meninggalkan istri dan saudarinya. Lalu datanglah seorang prajurit Abbasiyah ke rumah tersebut dan mengatakan ingin menggeledah rumah mereka. Para wanita di dalam rumah tersebut bersikeras tidak mau membuka pintu. Tapi prajurit itu memaksa masuk, dan berbuat kasar pada keluarga Abu Harb.[6]

Ketika Abu Harb kembali, istri dan saudarinya mengadukan perbuatan prajurit tersebut, dan menunjukkan bekas cakaran di lengannya. Melihat ini, Abu Harb naik pitam. Dia langsung menghunus pedang dan mencari prajurit tersebut dan berhasil membunuhnya. Karena takut dihukum, akhirnya Abu Harb memilih melarikan diri keluar Palestina. Dia menutupi wajahnya dengan selendang sehingga tidak dikenali. Hingga tibalah dia di satu kawasan pegunungan di wilayah Jordania.[7]

Di tempat itu, dia mulai membaur dengan masyarakat dan dikenal sebagai sosok yang santun lagi berwibawa. Dia sering menasehati masyarakat tentang banyak hal, termasuk tentang masalah politik. Tentang bagaimana opresifnya Khalifah yang memerintah waktu itu, dan pentingnya membangun sebuah kekuatan perlawanan. Tanpa disangka, ucapan-ucapannya mendapat sambutan dari masyarakat. Satu-persatu mereka mulai berkumpul, mulai dari masyarakat bawah hingga kelas menengah dan tokoh desa.[8]

Pada satu ketika, di tengah kumpulan para pengikutnya, dia mulai menjelaskan tentang jati dirinya. Dia mengatakan, bahwa dia adalah anak keturunan Abu Sufyan bin Harb dari Bani Umayyah. Pada saat itulah, beberapa orang yang percaya, menyebutnya sebagai “Al-Sufyani”.

Sebagai catatan. Sejak runtuhnya Dinasti Umayyah, ada sebuah mitos yang berkembang di tengah masyarakat pengikut Umayyah, bahwa kelak akan lahir seorang juru selamat yang akan mengembalikan martabat Bani Umayyah. Dia adalah keturunan langsung dari Abu Suryan bin Harb, yang bergelar Al-Sufyani.[9]

Maka ketika mendapatkan gelar ini, Abu Harb langsung menjulang legitimasinya di tengah masyarakat. Satu persatu utusan kelompok masyarakat dari Damaskus hingga Yaman berdatangan, dan membaiatnya sebagai pemimpin. Sampai-sampai jumlah pengikutnya mencapai hingga 100.000 orang, yang umumnya berasal dari rakyat biasa dan petani.[10]

Ketika mendengar adanya kebangkita revolusi rakyat yang dipimpin oleh Abu Harb, Al-Muktasim langsung memerintahkan komandan perang bernama Raja bin Ayyub al-Hiedari untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Dikatakan oleh Tabari, bahwa ketika memberi perintah ini, Al-Muktasim sudah dalam kondisi sakit keras.[11] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal.179

[2] Ibid, hal. 178

[3] Ibid, hal. 201

[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 455

[5] Ibid

[6] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 203

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Lihat, anotasi C. E. Bosworth, dalam The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Ibid

[10] Ibid, hal. 204

[11] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*