Dinasti Abbasiyah (93): Abu Ishaq Al-Muktasim (24)

in Sejarah

Last updated on October 27th, 2019 06:56 am

Akbar Shah Najeebabadi menilai, Al-Muktasim adalah khalifah terbesar dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Pada era kekuasannya lah, kejayaan Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya. Tapi di era yang sama pula, visi kejatuhan dinasti ini sudah terlihat nyata.

Gambar ilustrasi. Sumber: Art.com

Raja bin Ayyub al-Hiedari datang dengan membawa sekitar 1000 pasukan. Tapi ketika hampir tiba dan berhadapan dengan pasukan Abu Harb yang ketika itu berkumpul di Ramalah dan Damaskus, dia mendapat laporan bahwa pasukan yang dibawanya tidak akan mampu menghadapi kekuatan yang dibawah oleh Abu Harb. Karena jumlah mereka berkali-kali lipat lebih besar dari pasukan yang dibawa Raja. Menurut riwayat Tabari, jumlah pasukan pendukung Abu Harb, mencapai sekitar 100.000 orang.[1]

Hanya saja, terdapat satu kelemahan dari pasukan yang dibawa oleh Abu Harb. Umumnya pasukan yang dibawanya adalah kaum petani. Sehingga Raja memutuskan untuk menunda penyerangan sambil menunggu musim tanam tiba. Karena pada waktu itu para petani pasti harus kembali ke ladang untuk menanam tanaman.[2]

Maka demikianlah. Ketika musim tanam datang, satu persatu pendukung Abu Harb undur diri untuk kembali ke ladang mereka masing-masing. Hingga pada akhirnya, jumlah pendukung yang tersisa di sekitarnya hanya sekitar 1000 sampai 2000 orang. Ini jumlah yang sudah cukup seimbang untuk dihadapi oleh Raja bin Ayyub.[3]

Ketika akan menyerang Abu Harb, Raja sempat memberi semangat pada pasukannya dengan mengatakan, bahwa yang akan dihadapinya bukanlah tantara terlatih. Mereka umumnya adalah rakyat biasa. Hanya sedikit orang dari mereka yang memiliki kemampuan bela diri mumpuni. Jadi jangan takut atau ragu untuk berperang menghadapi mereka, meskipun saat itu, jumlah mereka lebih besar dari pasukan Abbasiyah.[4]

Maka pertempuran pun berlangsung. Dan benarlah kata Raja, pasukan yang dimiliki oleh Abu Harb tidak memiliki skill ketentaraan. Dengan mudah mereka bisa dikalahkan di Damaskus. Setelah berhasil menaklukkan pasukan di Damaskus, Raja bergerak ke Ramalah. Di sana ada pasukan yang lebih besar yang dipimpin langsung oleh Abu Harb.[5]

Tapi lagi-lagi, karena mereka tidak cukup terlatih dalam bidang kemiliteran, pasukan Abu Harb dengan mudah bisa dihancurkan, dan Abu Harb pun berhasil diiringkus. Menurut Tabari, korban yang jatuh dalam perang di Damaskus, mencapai 5000 orang. Sedang di Ramalah, korban yang jatuh mencapai lebih dari 20.000 orang.[6]

Menurut sumber yang dimiliki Akbar Shah Najeebabadi, ketika Raja akan melakukan penyerangan ke Damaskus, di saat yang hampir bersamaan datang berita duka yang mengabarkan bahwa Al-Muktasim sudah wafat.[7]

Tapi menurut sumber dari Tabari, Raja sempat membawa dulu Abu Harb ke Samarra menghadap Al-Muktasim. Berdasarkan perintah khalifah, Abu Harb ditahan dalam penjara yang bernama Matbaq.[8] Dan tak lama setelah penahanan Abu Harb, Al-Muktasim wafat akibat sakit yang dideritanya.

Wafatnya Al-Muktasim

Ada beberapa versi yang menginformasikan mengenai kapan tepatnya Al-Muktasim wafat. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, Al-Muktasim wafat pada 30 Rabiul Awwal 227 H.[9] Syed Ameer Ali mengatakan tanggal 19 Rabiul Awwal 227 H.[10] Adapun menurut riwayat Tabari, Abu Ishaq Al-Muktasim wafat di Samarra pada hari Rabu, 18 Rabiul Awwal 227 H atau bertepatan dengan 5 Januari 842 M.[11]

Imam As-Suyuthi mengutip ucapan Nafthawaih dan Ash-Shuli, “Al-Muktasim memiliki kisah hidup yang panjang. Dia disebut Si serba delapan, karena dia adalah khalifah Bani Abbas yang ke depalan, keturunan Abbas yang ke delapan, putra Harun Al-Rasyid yang ke delapan, naik tahta pada tahun 218 H, berkuasa selama 8 tahun 8 bulan dan 8 hari. Dia lahir pada tahun 178 H, dan wafat pada usia 48 tahun. Dia disengat Kala saat berada di benteng ke delapan. Dia menaklukkan delapan wilayah, membunuh delapan musuh, meninggalkan delapan anak laki-laki dan delapan anak perempuan, dan meninggal pada delapan hari terakhir bulan Rabiul Awwal.”[12]

Akbar Shah Najeebabadi lebih jauh mengatakan, Al-Muktasim adalah raja yang membangun delapan istana, memiliki delapan musuh hebat, di antaranya adalah Al-Afshin, Ajief, Babak, Abbas, dan Mazyar. Dan ketika wafat dia meninggalkan 800.000 Dinar, 800.000 Dirham, 8.000 kuda, 8.000 budak laki-laki, dan 8.000 budak perempuan.[13]

As-Shuli berkata, “Aku mendengar Mughirah bin Muhammad berkata: ‘Tak ada raja-raja yang berkumpul di depan pintu seseorang, kecuali pintu Al-Muktasim. Tak ada kemenangan yang dicapai oleh seseorang melebihi kemenangan yang dicapai oleh Al-Muktasim. Dia berhasil melawan raja-raja Azerbaijan, Thabaristan, Chechnya, Syayashih, Thakharistan, dan Kabul’.”[14]

Akbar Shah Najeebabadi menilai, Al-Muktasim adalah raja terbesar dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Pada era kekuasannya lah, kejayaan Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya. Tapi di era yang sama pula, visi kejatuhan dinasti ini sudah terlihat nyata.[15]

Sebab ketika itu, hampir setiap pos ketentaraan sudah dikuasai sepenuhnya oleh para komandan Turki. Memang, kedudukan mereka tidak mengancam sistem Dinasti Abbasiyah selagi Al-Muktasim masih hidup. Tapi setelah wafatnya, para pengganti Al-Muktasim tidak mampu menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang setara dengannya. Sehingga apa yang sudah mulai dibangun oleh Al-Muktasim tersebut, menjadi masalah serius dalam tubuh Dinasti Ababsiyah di kemudian hari.

Para khalifah keturunan Al-Muktasim, menjadi sangat bergantung pada komadan Turki tersebut, sehingga mereka menjadi bulan-bulanan para komandan Turki. Sampai satu titik, para komandan Turki tersebut mampu menurunkan dan menaikkan khalifah Abbasiyah sesuka hati mereka.

Di sisi lain, Al-Muktasim yang buta huruf itu, ternyata masih terus melanjutkan persidangan inkuisisi kepada para ulama. Sama seperti pada masa Al-Makmun, mereka terus dipertanyakan tentang masalah kemahlukan Alquran. Mereka yang tidak bersuara sama dengan pendapat negara, akan merasakan hukuman hingga penyiksaan. Seperti yang dialami Ahmad bin Hanbal yang harus merasakan hukuman cambuk di depan umum pada tahun 220 H.

Ali bin Al-Jad mengatakan, bahwa ketika tanda-tanda ajal sudah datang, Al-Muktasim mulai berguman, “Semua kemungkinan strategi sudah berakhir; tak ada jalan keluar lagi yang tersisa.” Dalam versi yang agak berbeda, Al-Muktasim berkata, “Seandainya aku tahu bahwa masa hidup ku akan begitu pendek, aku tak akan melakukan apa yang sudah ku lakukan.” [16] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 204

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid, hal. 205

[6] Ibid, hal. 206

[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 456

[8] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit

[9] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 456

[10] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 285

[11] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 207

[12] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 354

[13] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 458

[14] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 357

[15] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit

[16] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 208

8 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*