Dinasti Fatimiyah (3): Mendirikan Kota Kairo

in Sejarah

Last updated on April 20th, 2018 08:46 am

Setelah menguasai Mesir sepenuhnya, Al Mu’izz lalu memilih satu lokasi di tepian Sungai Nil yang subur, beberapa mil di sebelah utara Fustat, ibu kota yang dulunya di pilih oleh Amr bin Ash sebagai pusat kota propinsinya. Al Mu’izz lalu memerintahkan anak buahnya untuk mulai membangun infrastruktur sebuah ibu kota, yang kini kita kenal dengan nama Kairo.

—Ο—

 

Setelah mendirikan Dinasti Fatimiyah, Ubaidullah Al Mahdi kemudian menetapkan Ibu kota pemerintahannya di Mahdiah, sebua tempat yang berjarak tidak terlalu jauh dari Kairawan, Tunisia. Di tempat inilah kuda-kuda kekuasaannya dibangun, hingga mampu menjadi imperium baru yang sangat di segani di kawasan Afrika Utara. Ubaidullah memanfaatkan kebencian masyarakat lokal (Suku Berber) terhadap pemerintahan Abbasiyah, dan berhasil membangun kekuatan militer yang tangguh. Mereka berhasil menaklukkan wilayah barat hingga ke Maroko, dan juga banyak pulau-pulau di Mediterania, termasuk di antaranya Sisilia, Malta, Corsica dan Sardinia.[1]

Setelah Ubaidullah Al Mahdi wafat, ia digantikan oleh Abu l-Qasim Muhammad al-Qaim bi-Amr Allah atau yang dijuluki Al Qaim. Ia memerintah dari tahun 934-946 M. Selanjutnya Al Qaim digantikan oleh Abu Tahir Ismail al Mansur bi-llah atau yang dijuluki Al Mansur. Ia memerintah dari tahun 946-953 M.[2] Kedua khalifah pengganti Ubaidullah Al Mahdi masih dikatakan meneruskan langkah-langkah politiknya. Mereka masih berfokus untuk memantapkan kekuasaan mereka di wilayah barat. Demikian juga dengan pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah, masih terletak di Mahdiah.

Hingga tiba masa pemerintahan Khalifah keempat bernama Ma’dd Abu Temim atau Al Muizz-lidinillah yang artinya “Yang Mengagungkan Nama Allah”. Ia memutar haluan ekspansi Fatimiyah dari semula berfokus ke barat, menjadi ke Timur, ke jantung kekuatan kaum Muslimin di jazirah Arab. Hal ini juga secara tidak langsung menyiratkan sebuah tantangan serius bagi Dinasti Abbasiyah yang menguasai wilayah tersebut.[3]

Pada tahun 969 M, Al Mu’izz berhasil menaklukkan Mesir. Sebuah kota yang memeram sejarah panjang kehidupan manusia. Hanya saja, ketika itu Mesir sudah lebih dari 1000 tahun ditinggalkan. Ketika Islam datang, Mesir pertama kali ditaklukkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pada tahun 640 M, oleh gubernurnya bernama Amr bin Ash. Tapi ketika itu Mesir hanya menjadi provinsi, yang tidak terlalu pesat kemajuannnya bila dibanding dengan Damaskus ataupun Kufah. Di masa pemerintahan Umayyah, Mesir juga tidak mengalami banyak kemajuan, meskipun anime masyarakat di sana terhadap Islam sangat tinggi. Umayyah lebih tertarik dengan Tunisa dan Maroko, karena mata mereka lebih tertuju pada Eropa daripada Afrika. Hal yang sama juga terjadi pada masa Abbasiyah, dimana Mesir sudah menjadi salah satu wilayah dengan populasi Islam yang dominan. Tapi lagi-lagi, sebagai propinsi, Mesir belum menemukan kembali jati dirinya sebagai salah satu pusat peradaban dunia.

Pasukan Fatimiyah menaklukan Mesir di bawah komando Jenderal kenamaannya, Jawhar al Siqilli. Jawhar berhasil menggulingkan gubernur Abbasiyah yang menguasai wilayah tersebut. Al Mu’izz melihat potensi besar dari keuntungan geografis Mesir. Pada masa itu, wilayah Mesir terletak di titik pertemuan antara arus besar perdagangan dua benua, Afrika dan Asia. Mesir memiliki Sungai Nil yang menjadi jalan Tol kuno untuk menjangkau hingga ke pedalam Afrika. Mesir juga berada di tepian Laut Merah, yang merupakan kanal akhir perdagangan global kuno. Sedang di atasnya, ada Alexandria yang merupakan kota pelabuhan kuno yang langsung menatap Mediterania dan Eropa. Dengan semua potensi geo-politiknya, Mesir adalah sebuah wilayah yang sempurna untuk menancapkan pusat pengaruh di muka bumi. Dan yang terpenting, secara strategis, posisi Mesir langsung menatap kawasan Timur, jantung kekuatan kaum Muslimin, yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan pesaingnya, Dinasti Abbasiyah.

Setelah menguasai Mesir sepenuhnya, Al Mu’izz lalu memilih satu lokasi di tepian Sungai Nil yang subur, beberapa mil di sebelah utara Fustat, ibu kota yang dulunya di pilih oleh Amr bin Ash sebagai pusat kota propinsinya. Al Mu’izz lalu memerintahkan anak buahnya untuk mulai membangun infrastruktur sebuah ibu kota di wilayah tersebut. Berbagai keahlian, mulai dari sarjana hingga kuli-kuli kasar berdatangan ke Mesir untuk membangun ibu kota Dinasti Fatimiyah. Mirip seperti ketika Abbasiyah membangun Baghdad dari Nol, demikianlah ibu kota baru Dinasti Fatimiyah ini. Ibu Kota yang megah ini baru selesai dibangun setelah empat tahun, dan beri nama Al Qahira (yang Berjaya) atau kemudian dikenal sekarang dengan Kairo.[4]

Selama empat tahun masa pembangunan, selain menyiapkan perangkat fisik ibu kota, Al Mu’izz juga menyiapkan infrastruktur non-fisik, mulai dari legitimasi politik mereka di tengah masyarakat, hingga sistem ekonomi, sosial, hukum serta mereduksi kemungkinan terjadinya gesekan sekterian. Karena bagimanapun, masyarakat Mesir ketika itu merupakan penganut mahzab Sunni, sedang calon penguasa di wilayah tersebut adalah penganut Syiah Ismailiyah. Seperti sedang terjadi sebuah revolusi, dalam rentang waktu empat tahun pembangunan inilah semua ditata ulang. Dan revolusi tersebut memang benar-benar terjadi. Bahkan, Eamonn Gaeron menyebut “Kairo sebagai jantung utama dari momen revolusional yang terjadi dalam sejarah Islam.[5] (AL)

Bersambung…

Dinasti Fatimiyah (4): Menjadi Pusat Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Dunia

Sebelumnya:

Dinasti Fatimiyah (2): Kontroversi Sejarah Tentang Fatimiyah

Catatan kaki:

[1] Sebagai catatan, angkatan laut Fatimiyah bisa dikatakan sebagai angkatan laut terkuat pada zamannya. Tidak banyak data yang cukup menjelaskan tentang jenis teknologi, jenis kapal dan industri angkatan perang Dinasti Fatimiyah. Tapi informasi sejarah menunjukkan bahwa angkatan laut mereka mampu secara efektif mengendalikan rezim hukum laut di Mediterania, dan juga menguasai jalur perdagangan di Laut Merah hingga sebagian wilayah Samudera Hindia. Lihat, http://www.ismaili.net/Source/1359b.html, diakses 15 April 2018

[2] Lihat, https://www.britannica.com/topic/Fatimid-dynasty, diakses 15 April 2018

[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, hal. 370

[4] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 86

[5]The changes to the existing religious, political, and social order were enormous, and Cairo was the very heart of this revolutionary moment in Islamic history”. Lihat, Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*