“Tingginya penghargaan kaum Fatimiyah pada ilmu pengetahuan merupakan salah satu fakta yang diakui oleh para sejarawan. Dengan pijakan intelektual yang kokoh, sangat wajar bila kemudian Dinasti Fatimiyah mampu bangkit menjadi salah satu imperium yang disegani dan menjadi bayang-bayang kekuasaan Dinasti Abbasiyah.”
—Ο—
Setelah Kairo rampung dibangun, baik secara fisik maupun secara non-fisik, barulah Al Mu’izz memasukin Mesir dengan membawa seluruh anggota keluarga kerajaan, aparatur, dan buku-buku. Ia disambut dengan upacara yang megah oleh rakyat seluruh negeri. Khusus tentang buku-buku yang dibawanya, merupakan informasi yang tak pernah ketinggalan disebutkan oleh para sejarawan di banyak literatur. Mungkin dari banyak kaisar yang menaklukan sebuah negeri, baru Al Mu’izz yang membawa serta buku-buku ke tempat barunya. Atau bisa jadi, buku-buku yang dibawanya ketika itu demikian banyak, sehinga menjadi salah satu fokus perhatian para sejarawan.
Menurut Syed Ameer Ali, kaum Fatimiyah Mesir merupakan para pendukung kehidupan ilmu pengetahuan. Sebagaimana Dinasti Abbasiyah ketika pertama kali membangun Baghdad, memberikan perhatian khusus pada ilmu pengetahuan dengan mendirikan Bait Al Hikmah dan perpustakaan yang megah. Dinasti Fatimiyah juga memulai peradabannya dengan pertama-tama penghormati ilmu pengetahuan. Mereka membangun universitas-unversitas, perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan semacam Bait Al Hikmah, yang bernama Darul Hikmah. Di dalamnya terdapat fasilitas penunjang ilmu pengetahuan yang sangat lengkap, mulai dari buku-buku dalam jumlah besar, peralatan matematika, termasuk para professor dan asistennya yang siap mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Dan semua fasilitas ini bisa diakses secara gratis oleh masyarakat tanpa terkecuali.[1]
Khalifah Fatimiyah juga kerap menyelenggarakan seminar-seminar ilmiah. Pada momen seperti ini, semua profesor atau maha guru dari berbagai disiplin ilmu hadir. Mereka dikelompokkan berdasarkan keahliannya, mulai dari logika, metematika, hukum, fisika, dan lain-lain. Seminar semacam ini merupakan momen sakral dalam tradisi keilmuan kaum Fatimiyah. Para professor mengenakan Khala’ atau jubah kebesarannya, dan para petinggi-petinggi negeri ikut hadir untuk menyimak, termasuk khalifah.[2]
Menurut Fazlur Rahman, aspek pendalaman dan pengkajian intesif terhadap ilmu pengetahuan inilah yang menjadi faktor pembeda antara tradisi keilmuan kaum Fatimiyah dengan Abbasiyah. Menurutnya, akademisi-resmi-negara pertama yang didirikan Khalifah al-Ma’mum dari Dinasti Abbasiyah pada kuartal pertama abad ke-3 H/9 M tidak mendalami ilmu keislaman, melainkan fokus pada penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani. Meski demikian, menurut Fazlur Rahman, tradisi yang dirintis Abbasiyah ini sebenarnya yang berpengaruh besar terhadap pendidikan Islam pada masa abad pertengahan atau pada masa Dinasti Fatimiyah.[3]
Tingginya penghargaan kaum Fatimiyah pada ilmu pengetahuan merupakan salah satu fakta yang diakui oleh para sejarawan. Dengan pijakan intelektual yang kokoh, sangat wajar bila kemudian Dinasti Fatimiyah mampu bangkit menjadi salah satu imperium yang disegani dan menjadi bayang-bayang kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Menurut Eamonn Gaeron, pada masa Dinasti Fatimiyah, Mesir menemukan kembali identitasnya sebagai pusat peradaban dunia. Para khalifah Fatimiyah sangat terampil memanfaatkan keuntungan geografisnya yang subur dan berada di titik simpang jalur perdagangan global. Sehingga perkonomian masyarakat juga meningkat, baik dalam bidang pertanian, maupun perdagangan. Industri manufaktur berkembang pesat, dan terobosan ilmiah juga banyak dilakukan.[4] Dan sedikit catatan, bila kita menggunakan pulpen tinta (fountain pen) sekarang, maka penemuan itu pertama kali diinisiasi oleh Al Mu’izz, khalifah keempat Dinasti Fatimiyah.[5]
Setelah memantapkan basis kekuasaannya di Mesir, Al Mu’izz lalu mulai melancarkan serangan ke Asia. Ia memulai ekspedisinya dengan menaklukkan Levant (Syam) atau kawasan Mediterania Timur yang mencakup Yerusalem, Lebanon, dan Suriah sekarang. Ketika itu Syam sedang dalam genggaman kekuasaan sekte Qaramitha, yaitu salah satu pecahan sekte Ismailiyah. Sekte ini melakukan revolusi di kawasan Hijaz, hingga Syam, dan berhasil menguasai tanah suci Mekkah dan Madinah. Salah satu aksi mereka yang paling masyhur adalah perusakan terhadap Ka’bah dan mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Akibatnya, batu suci tersebut pecah menjadi beberapa bagian dan selama lebih dari 20 tahun, Ka’bah sempat kosong dari Hajar Aswad.[6]
Setelah berhasil menaklukkan Syam, kaum Fatimiyah lalu masuk ke Hijaz dan berhasil merebut tanah suci Mekkah dan Madinah. Bagi kaum Fatimiyah sendiri, keberhasilan merebut kedua tanah suci ini merupakan capaian monumental tersendiri. Selama berabad-abad kaum Syiah mengalami persekusi dan diskriminasi dari penguasa, mulai dari Umayyah, hingga Abbasiyah. Tapi kini mereka mampu menancapkan supremasi kelompok mereka justru di tempat paling mulia di muka bumi. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, hal. 383
[2] Ibid
[3] Lihat, Fazlur Rahman, Islam; Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Bandung, Mizan, 2017, hal. 275
[4] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 87
[5] Lihat, Paul Vallely , How Islamic inventors changed the world, https://www.independent.co.uk/news/science/how-islamic-inventors-changed-the-world-6106905.html, diakses 14 April 2018. Bangsa Eropa sendiri baru menggunakan Fountain pen pada abad ke 17, dengan gagangnya yang terbuat dari bulu. Hak paten pertama terhadap fountain pen dikeluarkan pada tanggal 25 May 1827 oleh pemerintah Perancis. Penciptanya adalah orang Rumania bernama Petrache Poenaru. Ia membuat fountain pen pertama dengan laras yang terbuat dari bulu angsa besar. Lihat, https://hibrkraft.com/2016/04/05/menulis-dengan-fountain-pen/, diakses 14 April 2018
[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume III, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 250-251