Dinasti Fatimiyah (6): Era Pemerintahan Al Hakim

in Sejarah

Last updated on April 23rd, 2018 09:24 am

Di satu sisi, Al Hakim dianggap sebagai salah satu raja terbesar, karena di masa pemerintahannya supremasi sekte Ismaliyah bisa begitu mendominasi di antara sekte-sekte lainnya. Tapi bagi orang-orang yang berada di luar kelompoknya, ia adalah mimpi buruk, dan dianggap sebagai titik balik yang menyebabkan kejatuhan Dinasti Fatimiyah.

—Ο—

 

Namanya Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah, atau dikenal dengan Al Hakim – khalifah keenam Dinasti Fatimiyah. Ia memerintah pada periode tahun 996 sampai 1021 M. Ketika naik tahta, usianya masih sebelas tahun. Bisa dikatakan, tidak banyak transformasi yang bisa diberikan oleh Al Aziz kepada putranya ini. Bagi kaum Fatimiyah, Al Hakim dianggap sebagai salah satu raja terbesar, karena di masa pemerintahannya supremasi sekte Ismaliyah bisa begitu mendominasi di antara sekte-sekte lainnya. Tapi bagi orang-orang yang berada di luar kelompoknya, ia adalah mimpi buruk, dan dianggap sebagai titik balik yang menyebabkan kejatuhan Dinasti Fatimiyah.

Karena kecakapannya dalam memerintah belum terlalu memadai, untuk sementara urusan kenegaraan diserahkan pada orang kepercayaannya bernama, Hasan bin Ammar Katami. Selama Hasan mengelola negara, terjadi sebuah fenomena demografis yang luar biasa. Mesir dibajiri oleh para pendatang yang menyatakan diri sebagai pemeluk kepercayaan Ismailiyah. Bagaimanapun aspirasi mereka harus diakomodir, karena mereka merupakan saudara seiman kaum Fatimiyah.[1] Akibatnya, terjadi keguncangan yang luar biasa, kedatangan mereka telah menyebabkan terjadinya perimbangan demografis antara pendukung inti Dinasti Fatimiyah, dengan berbagai kelompok sebelumnya yang sudah di kelola sangat baik, seperti kelompok Berber (maghribi), Arab, Sudan dan Turki. Dengan kata lain, Rezim Fatimiyah sekarang bukan lagi minoritas.[2]

Tapi sayangnya, Hasan bin Ammar kurang piawai mengelola kemajemukan tersebut. Sehingga bibit-bibit perpecahan mulai tumbuh, dan potensi terjadinya perang sipil menyeruak di Ibu kota. Sedang wilayah yang lain, seperti di Damaskus dan Hijaz, gejolak pemberontakan sudah tercium.

Ketika Al Hakim cukup siap memerintah, ia mewarisi setumpuk masalah dari Hasan. Dan tampaknya, Al Hakim juga tak kalah frustasi. Ia tidak memiliki manajemen konflik sebaik para pendahulunya. Alih-alih meredam pertikaian, Al Hakim justru merespon semua dinamika yang berkembang dengan tangan besi. Situasipun terkendali, namun modal sosial masyarakat yang sudah susah payah dibangun sebelumnya, hancur berantakan.

Sejak memasuki era pemerintahan Al Hakim, Kairo kehilangan jati dirinya sebagai kota yang ramah dan toleran. Bukan hanya kelompok non- Muslim, bahkan kaum Muslimin dari kelompok-kelompok non-Ismaili mengalami diskriminasi pada masa ini. Tidak hanya di Kairo, intoleransi menyebar ke segala penjuru wilayah Dinasti Fatimiyah.

Di Yerusalem, inilah untuk kali pertama, Gereja Makam Yesus (Holy Sepulchre) dihancurkan kaum Muslimin. Tindakan ini oleh para orientalis ditandai sebagai awal mula lahirnya benih Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad kemudian. Atas tindakannya tersebut, masyarakat Barat kala ini menjuluki Al Hakim sebagai “Khalifah yang gila” (“Mad Caliph”).[3]

Namun terlepas dari semua anggapan tersebut, yang jelas masa pemerintahan Al Hakim, masyarakat Mesir mengalami era transformasi yang signifikan baik secara sosio-kultural maupun politik. Pada masa ini, Fatimiyah melepaskan merit-system, dan memasuki era monarki dalam arti seutuhnya. Khalifah adalah tempat berakumulasinya kekuasaan dan harta. Demikian berkuasanya khalifah, hingga Eamonn Gaeron bahkan menyebutkan bahwa di akhir-akhir masa pemerintahannya, Al Hakim cenderung menganggap dirinya sebagai “Dewa”.[4]

Meski begitu, tradisi keilmuan tidak lepas dari Dinasti Fatimiyah. Bisa dikatakan, era Fatimiyah adalah salah satu anak tangga terpenting dalam pembangunan peradaban dunia hari ini. Dan puncak pencapaian ini terjadi pada masa pemerintahan Al Hakim.

Al Hakim merupakan khalifah yang juga kolektor buku terbanyak. Dia memiliki perpustakaan yang terbagi menjadi 40 ruangan dan berisi buku-buku berharga. Al Hakim tidak ragu menghabiskan ratusan dinar untuk meng-copy, memperbaiki, dan menjaga naskah-naskah ilmiah yang ia miliki. Di masa dialah Darul Hikmah mencapai puncak kemegahannya. Tidak hanya soal buku, Al Hakim juga sangat boros dalam hal membangun sarana prasarana pendidikan. Sebagai contoh, Al Hakim sangat menyukai ilmu astronomi, dan ia membangun pusat observasi ruang angkasa yang sangat megah pada zamannya. Philips K. Hitti menggambarkannya seperti Astrolabe raksasa. Tempat ini digunakan untuk melihat zodiac, waktu, dan arah kiblat.[5]

Di masa Al Hakim, serangkain terobosan ilmiah dilakukan dan banyak ilmuwan terkemuka lahir pada periode ini. Sebut saja Abu ‘Ali al-Hasan, atau Ibn Haytham (L. Alhazen), seorang ahli fisikan penemu optic. Kitab al Manasir yang ditulisnya, menjadi acuan banyak ilmuwan Eropa di akhir abad pertengahan.  Roger Bacon, Leonardo Da Vinci dan Johann Kepler adalah beberapa ilmuwan terkemuka yang sangat terpengaruh oleh karyanya.[6] Di samping Ibn Haytham, ada sangat banyak ilmuwan dari berbagai cabang ilmu lahir. Dan satu lagi ilmuwan yang lahir pada era Al Hakim yang tidak mungkin kita negasikan sumbangan ilmiahnya, bernama Ammar ibn ‘Ali al Mawsili. Karyanya berjudul al Muntakhab fi ‘Ilaj al-‘aiyn (materi terpilih dalam pengobatan mata), menjadi rujukan standar di bidang Opthalmology (ilmu kedokteran mata).

Tapi sebagaimana citra dirinya yang kontroversial, demikian juga dengan kisah kematiannya. Hingga hari ini, jasad Al Hakim hilang, tak tau dimana rimbanya. Pada tahun 1021 M, di usianya yang ke 36 tahun, Al Hakim berjalan-jalan di bukit Muqattam, yang terletak di luar kota Kairo. Dan setelah hari itu ia menghilang. Orang-orang hanya menemukan keledai dan bajunya yang penuh dengan darah, namun tidak nemukan jasadnya. Ia divonis meninggal, dan digantikan posisinya oleh putranya yang bernama Abu al Hasan ‘Ali al Zahir li-izaz Din Allah, yang akan memerintah hingga tahun 1036 M.[7] (AL)

Bersambung…

Dinasti Fatimiyah (7): Sitt Al Mulk, Ratu Dinasti Fatimiyah

Sebelumnya:

Dinasti Fatimiyah (5): Puncak Keemasan

Catatan kaki:

[1] Kelompok yang baru datang ini dikenal sebagai Keluarga besar Dylami yang berasal dari Pesia. Sebelumnya, mereka mamang sudah mengabdi pada Fatimiyah sejak zaman pemerintahan Al Aziz. Mereka miliki komitmen dan antusiame terhadap ajaran Ismailiyah, sehingga mereka lebih diterima oleh rezim ketimbang yang laim. Pada masa pemerintahan Al Hakim, jumlah mereka kian banyak – bahkan mereka diberikan satu wilayah tersebut yang disebut Harat al-Daylam. Adapun di bidang politik dan militer, posisi tawar mereka di pemerintahan kiat kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya gesekan antar kelompok di ibu kota. Lihat, Hatim Mahamid, Persians in Fatimid Egypt: (I) Their Role in the Army, https://simerg.com/literary-readings/persians-in-fatimid-egypt-their-role-in-the-army/, diakses 15 April 2018

[2] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, hal. 253-254

[3] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 89

[4] Ibid

[5] Kitab al Manasir diterjemahkan dalam Bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona, kemudian diberi judul “Optica Thesaurus” dan diterbitkan pada tahun 1572 M . Inilah kitab induk pengembangan optik dunia. Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 629

[6] Ibid

[7] Lihat, Eamonn Gaeron, Op Cit, hal. 89

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*