“Diantara banyak Ratu yang berkuasa dalam dunia Islam, Sitt Al Mulk adalah nama yang tidak terlalu banyak di sorot. Tapi di antara para Ratu tersebut, mungkin hanya Satt Al Mulk yang berhasil memerintah tanpa gejolak, dan mengakhirinya dengan sangat baik.”
—Ο—
Abu al Hasan ‘Ali al Zahir li-izaz Din Allah atau Al Zahir lahir pada tahun 1005 M. Ketika dilantik sebagai khalifah tahun 1021, usianya masih 16 tahun. Untuk sementara, tanggungjawab pemerintahan dibebankan kepada bibinya, atau kakak perempuan dari Al Hakim yang dikenal dengan nama Sitt al-Mulk. Ia memerintah secara penuh hingga dua tahun lamanya, sebelum akhirnya pemerintahan diserahkan kembali pada Al Zahir. Mungkin karena durasi kekuasaannya yang tidak begitu lama sehingga tidak terlalu banyak orang yang memperhatikannya.
Tapi bagaimanapun, bagi sebagian sejarawan hari ini, tampilnya Sitt al-Mulk ke tampuk kekuasaan mewakili keponakannya, mengundang tanda tanya tersendiri. Mengingat, budaya patriarki yang demikian berakar dalam masyarakat, menjadikan kepemimpinan perempuan dalam sebuat kerajaan sebagai anomaly.
Yaacov Lev dalam jurnal internasionalnya berasumsi, bahwa tampilnya seorang wanita ke puncak otoritas Dinasti Fatimiyah bisa jadi merupakan produk situasi yang dihasilkan oleh pemerintahan Al Hakim. Sangat mungkin citra Al Hakim yang dianggap diskriminatif oleh banyak riwayat, tidak sepenuhnya benar. Mengingat tampilnya seorang perempuan ketampuk kekuasaan secara damai tentu tidak bersifat incidental, melainkan hasil dari sebuah tradisi emansipasi yang sudah dibangun lama, sekurang-kurangnya di dalam lingkar istana.[1]
Kita memang mengenal cukup banyak sosok-sosok perempuan hebat di dunia Islam yang mampu naik hingga ke puncak kekuasaan. Tapi umumnya mereka menduduki posisi tersebut dikarenakan situasi yang bersifat incidental. Maka sangat wajar ketika memerintah, para sultan perempuan ini harus melalui serangkaian turbulensi politik yang berat dan rongrongan yang sengit dari berbagai pihak. Sedang Sitt al-Mulk, dapat menduduki posisi tersebut tanpa ada gejolak, dan mengakhirinyapun dengan sangat baik.
Bila kita asumsikan latar belakangnya, Sitt al Mulk adalah putri Al Aziz, raja terbesar Dinasti Fatimiyah. Sejarawan sepakat bahwa Al Aziz tidak membedakan warna kulit, suku bangsa, bahkan agama. Sehingga agak sulit membayangkan bila Al Aziz justru mendiskriminasi putrinya. Bisa diduga bahwa Sitt al Mulk tumbuh dalam asuhan budaya yang emansipatif, sangat toleran, dan mencintai ilmu. Memang tidak ada catatan khusus tentang peran sosok-sosok perempuan dalam kerajaan Al Aziz. Tapi besar kemungkinan, Sitt Al Mulk memperoleh pendidikan yang sangat memadai selama hidupnya, tidak kalah dengan kaum laki-laki pada zamannya.
Dalam hal kecakapan di bidang politik dan pemerintahan, Sitt al-Mulk bisa dikatakan luar biasa. Hal ini terbukti pada dua tahun periode pemerintahannya, ia sanggup mengembalikan budaya toleransi yang sudah sempat dirusak oleh Al Hakim. Ibn Khallikan mengomentarinya sebagai “sosok yang memiliki kemampuan tak terbantahkan, khususnya dalam bidang hukum, dan ia berhasil membuat dirinya dicintai oleh masyarakat.”[2]
Ketika Sitt al Mulk mengambil alih otoritas, semua pihak yang bersengketa di Mesir tiba-tiba hening, tidak ada gejolak. Dengan tenang Sitt al-Mulk mengatur kembali perekonomian, mengganti regulasi yang kontroversial, mengganti menteri-menteri yang kurang kompeten, dan menenangkan militer yang sudah terkotak-kotak berdasarkan suku, serta menurunkan tensi ketegangan diplomatik dengan Byzantium. Setelah semuanya siap, barulah kekuasaan diserahkan pada keponakannya, Al Zahir.[3]
Terkait dengan kesuksesannya tersebut, tidak sedikit juga yang curiga dengan langkah-langkah politiknya. Menurut Wikipedia, dengan merujuk pada karya Fatima Mernissi, Sitt al-Mulk diduga berkomplot dengan kelompok militer untuk membunuh Al Hakim. Ini dilakukannya karena Al Hakim menuduhnya memiliki hubungan dengan salah satu jenderal bernama Ibn Daws.[4] Tapi asumsi ini agak sulit diterima, mengingat Ibn Daws di kemudian hari menjadi wazir atau penasehat Al Zahir, putra Al Hakim.
Memang kematian Al Hakim sangat miterius, dan berbagai spekulasipun muncul terkait hilangnya khalifah yang kontroversial ini. Tapi bila pelaku pembunuhan tersebut adalah Sitt al-Mulk, lantas bagaimana menjelaskan situasi yang demikian kondusif selama kepemimpinannya? Karena sulit sekali membayangkan khalifah sebesar Al Hakim tidak memiliki pendukung setia di sekitarnya, yang pastinya akan melakukan tindakan balasan.
Sitt al Mulk wafat pada tahun 1023 M. Terpaksa, Al Zahir, keponakannya yang memang seharusnya menjadi khalifah, harus melaksanakan tugasnya. Meski ketika itu Al Zahir belum memiliki kecakapan yang cukup memadai, tapi ia mewarisi situasi politik dan pemerintahan yang cukup kondusif dari bibinya.
Al Zahir kemudian melanjutkan langkah-langkah progresif yang dilakukan bibinya. Ia mulai membangun kembali Gereja Makam Yesus (Holy Sepulchre) yang sempat dihancurkan oleh Ayahnya. Pada masa pemerintahannya orang-orang Kristen bisa kembali berziarah ke Yerusalem sebagaimana sebelumnya. Langkah ini, disamping berhasil merajut kembali kerukunan dengan umat Kristiani di wilayah kekuasaannya, juga berhasil menurunkan tensi ketegangan antara Dinasti Fatimiyah dengan Byzantium.[5] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Yaacov Lev, The Fatimid Princess Sitt al-Mulk, Journal of Semitic Studies XXXII/2 Autum 1987, hal. 319
[2] Lihat, http://ismaili.net/heritage/node/12575, diakses 20 April 2018
[3] Lihat, http://www.amaana.org/current/sittul.htm, diakses 20 April 2018
[4] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Sitt_al-Mulk, diakses 20 April 2018
[5] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 89