Dinasti Fatimiyah (8): Pudarnya Kejayaan Kairo

in Sejarah

Last updated on April 25th, 2018 09:25 am

Pada masa pemerintahan Al Mustansir, Dinasti Fatimiyah mengalami penurunan jumlah wilayah kekuasaan secara signifikan, yang ikuti oleh menurunnya jumlah kekayaan, dan bencana kelaparan selama tujuh tahun. Tapi menurut Philip K. Hitti, Al Mustansir adalah Khalifah Fatimiyah yang paling kaya.

—Ο—

 

Abu al Hasan ‘Ali al Zahir li-izaz Din Allah atau Al Zahir memerintah di Mesir hingga tahun 1036 Masehi. Ketika itu usianya baru menginjak 30 tahun. Terjadi sebuah bencana besar di Mesir, berupa wabah penyakit yang mematikan. Wabah tersebut telah membuat produktifitas masyarakat menurun drastis. Perekonomian hancur berantakan, dan frustasi sosial terjadi. Tak urung, Al Zahir pun wafat akibat wabah mematikan ini. Sesuatu yang membuat situasi internal Dinasti Fatimiyah makin tidak menentu.

Al Zahir kemudian digantikan oleh putranya bernama Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-Ilah, atau biasa dikenal dengan sebutan Al Mustansir. Inilah khalifah Islam dengan periode masa jabatan paling lama. Hampir 60 tahun lamanya, sejak tahun 1036 sampai 1094 masehi. Ia naik tahta pada usia 6 tahun menggantikan ayahnya yang mati muda. Selama usianya masih belia, pemerintahan dikendalikan oleh ibunya, yang ketika itu sangat berkuasa.

Pemerintahan Al Mustansir diwarnai banyak peristiwa. Tapi bila dijumlah, dari keseluruh peristiwa tersebut, semua menunjukkan terjadinya penurunan yang parah pada Dinasti Fatimiyah. Al Zahir mewarisi kekuasaan dalam kondisi masyarakat sedang dilanda wabah. Sehingga asset kekayaan kerajaan Fatimiyah menurun drastis. Tidak hanya itu, wilayah kekausaan mereka menyusut terus hari demi hari. Di wilayah Afrika Utara terjadi pemberontakan orang-orang Berber yang sebelumnya sangat setia. Di Utara, wilayah Syam berhasil direbut oleh Dinasti Seljuk. Dan di Eropa, yang mencakup Malta dan Sicilia, berhasil dikuasai sepenuhnya oleh Byzantium. Sebagai buntut dari rangkaian kehilangan wilayah ini, adalah kerugian ekonomi yang cukup signifikan, khususnya penghasilan dari pajak.

Tidak sampai di situ, masalah yang muncul di awal ini selanjutnya ternyata berdampak sangat jauh. Menurut Eamonn Gaeron, diakibatkan menurunnya kemampuan ekonomi kerajaan, kinerja aparaturpun menurun. Hajat hidup masyarakat terabaikan. Dan pekerjaan umum seperti membersihkan dan merawat aliran sungai Nil, tidak lagi terkelola dengan baik. [1]

Sejak awal ditemukannya, tepian Sungai Nil memang langganan banjir. Tapi berkat keahlian dan kecakapan orang-orang Al Mu’izz ketika mendirikan kota Kairo, aliran sungai Nil berhasil dikendalikan, bahkan menjadi bermanfaat dalam menunjang lahan pertanian yang subur. Hanya saja, merawat aliran ini dibutuhkan kedisiplinan, dan tentu saja biaya.

Ketika masa pemerintahan Al Mustansir, semua kewajiban ini jadi terbengkalai. Akibatnya, banjir kembali melanda Kairo berkali-kali. Dan berkali-kali itu pula masyarakat mengalami gagal panen. Tidak teraturnya jadwal panen, menyebabkan pasokan bahan makanan dan harga-harga menjadi tidak stabil. Krisis ekonomi terjadi, dan barang-barang menjadi langka. Puncaknya adalah bencana kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun, antara tahun 1065 hingga 1072 masehi. Bencana kelaparan ini diikuti pula dengan wabah penyakit yang kembali menyebar ke seluruh negeri. [2]

Tapi ironisnya, menurut Philip K. Hitti, Al Mustansir justru tercatat sebagai khalifah yang paling kaya dalam sejarah Dinasti Fatimiyah. Di tengah kekacauan yang terjadi, ia hidup dalam kemewahan dan hura-hura. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa Al Mustansir bahkan bisa membangun di istananya sebuah Ka’bah, yang berupa pavilion dan digunakannya untuk minum-minum sambil menikmati alunan musik. Disamping itu, menurut Hitti, bahwa koleksi barang-barang berharga Al Mustansir sangat banyak, seperti batu-batu mulia, vas yang terbuat dari Kristal, piring-piring emas bertahta, cangkir-cangkir yang terbuat dari tembaga, alat-alat tulis yang terbuat dari kayu dan gading, cermin baja, papan catur yang terbuat dari emas dan perak, belati dan pedang dengan hiasan permata yang disulam langsung oleh pabrik pembuatan di Damaskus dan Dabiq. Ditambah lagi karya-karya seni yang indah dan tak ternilai harganya dari Turki.[3] Tapi tampaknya, ia juga merasakan dampak kejatuhan ekonomi pada periode tujuh tahun masa kelaparan, sehingga ia harus mengungsikan ibu dan putrinya ke wilayah lain.

Di Mesir sendiri, kondisi keamanan tidak terkendali. Aparat keamanan dan militer pecah menjadi dua kubu yang saling berhadap-hadapan satu sama lain. Perang saudarapun tak dapat dihindarkan. Situasi di Mesir makin kacau. Al Mustansir kemudian mengundang masuk Badr Jamali yang ketika itu memimpin wilayah Aakka (Acre, wilayah Israel sekarang). Badr datang bersama pasukan dalam jumlah sangat besar yang terdiri dari orang-orang Armenia. Dengan kekuatan sebesar ini, mereka berhasil mengambil alih situasi, dan memulihkan situasi keamanan di Mesir.[4]

Al Mustansir melihat kapasitas dan kabilitas pasukan yang dibawa oleh Badr Jamali, merasa kembali optimis. Ia kemudian bermaksud mengambil kembali wilayah-wilayah yang sudah lepas dari tangannya. Dengan segera ia melancarkan serangan ke Damaskus yang ketika itu sudah dikuasai oleh Seljuk. Tapi nasib sudah tidak berpihak padanya. Berkali-kali serangannya patah, hingga akhirnya Badr Jamali wafat, dan ambisi Al Mustansir pun benar-benar berakhir.[5]

Di masa-masa akhir kehidupannya, Al Mustansir sempat menerima kedatangan Hasan bin Sabbah, pemimpin sekte Ismaili Timur yang bermarkas di Benteng Alamut, Iran.  Hasan datang untuk memberikan baiat pada khalifah Fatimiyah, dan memohon izin untuk mengembangkan paham sekte ini dengan caranya. Permohonanpun di kabulkan.

Kelak, sekte yang dibuat oleh Hasan bin Sabba ini lebih dikenal dengan sebutan Hasyasyin. Nama ini kemudian diserap oleh bahasa Inggris menjadi “Assasin“, sebuah terminologi untuk menunjukkan arti pembunuh bayaran dengan motif politik. Beberapa riwayat mengatakan, bahwa ketika Hasan bin Sabbah ingin memberi baiat, Al Mustansir menunjuk putra keduanya, yang bernama Nazar sebagai penggantinya, dan Hasan pun memberi baiat padanya. (AL)

Bersambung…

Dinasti Fatimiyah (9): Perpecahan dan Perang Saudara

Sebelumnya:

Dinasti Fatimiyah (7): Sitt Al Mulk, Ratu Dinasti Fatimiyah

Catatan kaki:

[1] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 89

[2] Ibid

[3] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 626

[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume III, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 256-257

[5] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*