Dinasti Fatimiyah (9): Perpecahan dan Perang Saudara

in Sejarah

Last updated on April 26th, 2018 08:44 am

Pada periode ini, seluruh dunia Islam sedang dalam masa dekadensi yang memprihatinkan. Supremasi Abbasiyah meredup, disusul oleh Fatimiyah, dan juga Seljuk. Di internal ketiga Dinasti ini, kekuatan mereka terpecah-pecah oleh perang sipil. Adapun di Eropa, sejumlah kekuatan yang selama bertahun-tahun terpecah, sudah mulai berhasil mengkonsolidasikan diri.

—Ο—

 

Al Mustansir wafat pada tahun 1094. Proses transisi dari masa pemerintahannya tidak berjalan mulus seperti para pendahulunya.  Al Mustansir memiliki tiga anak laki-laki yang bernama Ahmad, Nizar dan Al Qasim. Dari ketiganya, ia memilih Nizar sebagai putra mahkota yang akan menjadi menggantikan kedudukannya. Tapi ketika Al Mustansir wafat, posisi Nazar diambil alih oleh adiknya, Al Qasim.

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi sebelumnya, bahwa Al Mustansir di akhir-akhir masa hidupnya, memiliki kedekatan dengan Badr Jamali, seorang penguasa Aakka. Badr lah yang berhasil mengamankan situasi perang sipil yang terjadi di Kairo dan menyelamatkan tahta khalifah. Dari sini, hubungan antara Al Mustansir dengan Badr Jamali menjadi sangat dekat. Badr seketika menjadi sosok yang sangat berpengaruh di sisi Khalifah, keluarga kerajaan, maupun di tengah-tengah masyarakat. Ketika Badr Jamali wafat – sebagai bentuk penghormatan padanya – khalifah menjadikan putranya, yang bernama Malik Al Afdal, sebagai menteri di kesultanan Fatimiyah.[1]

Dengan posisi ini, kian hari pengaruh Malik makin kuat. Akan tetapi, hubungannya dengan Nizar, yang merupakan putra mahkota, tidak berjalan baik. Ketika Al Mustansir wafat, tim transisi dipegang penuh oleh adik perempuan Al Mustansir. Dalam posisi seperti inilah kemudian Malik Al Afdal menunggangi transisi. Dengan penguasan penuh terhadap semua divisi militer, Muhammad Malik berhasil menggeser posisi khalifah, dari Nizar kepada Al Qasim Al-Musta’libi-llah. Adapun Malik Al Afdal menjadi perdana menteri yang paling berpengaruh di kerajaan Fatimiyah.

Menyadari situasi yang mengancam keselamatannya, tiga hari setelah pelantikan Al Qasim, Nizar memutuskan pergi dari Kairo menuju Alexanderia. Di sana ternyata ia disambut baik oleh penduduknya. Nizar dinobatkan sebagai khalifah yang sah oleh masyarakat di Alexanderia. Kelak para pengikut Nizar inilah yang kita kenal sekarang sebagai penganut sekte Nizari Ismailiyah. Sekte ini banyak dianut oleh masyarakat di wilayah Yaman, hingga India. Salah satu sebabnya, adalah pengaruh besar dari Hasan bin Sabba yang sebelumnya sudah memberikan baiatnya pada Nizar, jauh sebelum Al Mustansir wafat. Dia bersaksi di depan kaum Fatimiyah, bahwa ketika itu, Al Mustansir menunjuk Nizar sebagai putra mahkota, bukan Al Qasim.

Ketika mendengar kekuatan Nizar bangkit di Alexanderia, Malik Al Afdal segera melakukan penyerbuan. Ia berhasil memadamkan pemberontakan di sana, dan menyadera Nizar, kemudian menjatuhinya hukuman mati. Tapi pendukung Nizar sudah terlanjur membengkak. Setelah kematian Nizar, para pendukungnya kemudian membaiat putranya yang masih kecil sebagai imam sekte Nizari. Untuk mengamankan nyawanya, kaum Nizari kemudian membawanya mengungsi ke Benteng Alamut, Iran, tempat Hasan bin Sabba membangun kekuatan revolusionernya. Di sinilah kemudian sekte ini berkembang biak hingga sangat diperhitungkan dalam sejarah politik Islam abad pertengahan.[2]

 

Artikel terkait:

Assassin (1)

Dinasti Seljuk, Bangkit dan Runtuhnya Kekhalifahan (1): Asal-usul Dinasti Seljuk

Sejak kematian Nizar, praktis Dinasti Fatimiyah terbelah menjadi dua kubu, para pendukung Nizari, dan pendukung khalifah. Dalam hal politik dan pemerintahan, bisa dikatakan Al Qasim lebih berkuasa. Tapi dalam hal tradisi keilmuan dan religiusitas, pengikut Nizari bisa dikatakan lebih militant dan lebih mengakar. Secara keseluruhan, inilah detik-detik dimulainya masa kejatuhan Dinasti Fatimiyah. Di dalam negeri, mereka menghadapi situasi perpecahan yang parah. Sedang di luar, mereka sedang dikepung oleh banyak kuatan yang siap melahap mereka kapan saja.

Di Utara, Seljuk sudah sangat berkuasa; di Timur, Dinasti Abbasiyah perlahan-lahan masih berupaya menancapkan pengaruhnya kembali. Dan di Eropa, Paus Urban II mendeklarasikan Perang Salib tahun 1095 di Clermont, Selatan Perancis. Ia mengemukakan sejumlah urgensi bagi umat Kristen untuk menguasai tanah suci Yerusalem. Hanya dalam dua tahun, suara Paus Urban II menggema ke seantero Eropa. Pada tahun 1097, sebanyak 150 ribu pasukan dari berbagai penjuru Eropa berdatangan, dan berkumpul di Konstantinopel.[3] Dari tempat ini, mereka berderap maju ke Yerusalem, dan menaklukkan satu persatu kekuatan kaum Muslimin yang mereka temui di sepanjang perjalanan. Pada tahun 1099, pasukan Salib berhasil merebut Yerusalem, dan mendirikan pemerintahan di sana. Sejak saat itu, mereka nyaris menguasai semua wilayah di sekitar Yerusalem, termasuk jalur-jalur perdagangan di wilayah tersebut.

Pada periode ini, bisa dikatakan bahwa seluruh dunia Islam sedang dalam masa dekadensi yang memprihatinkan. Mereka terpecah belah ke dalam berbagai kelompok mahzab, sekte, hingga faksi politik. Supremasi Abbasiyah meredup, disusul oleh Fatimiyah, dan juga Seljuk. Di internal ketiga Dinasti ini, kekuatan mereka terpecah-pecah oleh perang sipil. Adapun di Eropa, sejumlah kekuatan yang selama bertahun-tahun terpecah, sudah mulai berhasil mengkonsolidasikan diri.

Malik Al Afdal, ketika mendengar pasukan Salib berhasil menduduki Yerusalem, sempat mengirimkan pasukan untuk merebut wilayah itu kembali. Tapi malang, upaya tersebut gagal total. Pasukan yang dikirimnya kembali ke Mesir dalam keadaan kalah, dan tersisa hanya beberapa puluh orang. Tak berapa lama setelah itu Al Qasim meninggal dunia pada tahun 1101 M. Ia menyerahkan tahta kepada putranya yang bernama Abu Ali Mansur al-Amir bi Ahkam Allah. Ketika ayahnya wafat, Abu Ali masih berusia 5 tahun. Selama menunggu masa kedewasaannya, tugas-tugas kenegaraan kemudian diserahkan kepada Wazirnya.[4] Kelak, Dinasti Fatimiyah bisa dikatakan sebagai pemerintahan para Wazir. Karena Khalifah-khalifah yang muncul selanjutnya masih berusia sangat muda ketika naik tahta. (AL)

Bersambung…

Dinasti Fatimiyah (10): Era Pemerintahan Para Wazir

Sebelumnya:

Dinasti Fatimiyah (8): Pudarnya Kejayaan Kairo

Catatan kaki:

[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume III, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 256-257

[2] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Nizari, diakses 20 April 2018

[3] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 636

[4] Wazir (Arab: وزير‎- wazīr; bahasa Inggris: vizier) adalah seorang penasihat atau menteri (politik dan atau keagamaan) berkedudukan tinggi, biasanya ditemui dalam sistem monarki Islam seperti Khalifah, Amir, Malik (raja) atau Sultan. Istilah ini berasal dari bahasa Persia yang secara harfiah berarti “pembantu”. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Wazir, diakses 1 Desember 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*