“Dinasti Safawi bukanlah kerajaan terbesar atau terlama dalam sejarah Islam. Terlepas dari hal ini, Dinasti Safawi telah menetapkan batas-batas modern Persia, serta kerangka birokrasi bagi negara modern Iran, dan pengenaan Islam Syiah sebagai agama negara.”
–O–
Ketika Ismail meninggal, ahli waris dan para keturunannya dihadapkan kepada persoalan besar yang harus mereka hadapi, yakni perang sipil yang berkepanjangan, walaupun pada akhirnya mereka mampu memulihkan ketertiban di bawah komandonya sendiri. Pada tahun 1588 Abbas I naik tahta, dia adalah Shah Safawi yang kelima, cicit dari Ismail. Menyadari keterbatasan kekuatan militernya, Abbas lebih memilih berdamai dengan Ustmani (Ottoman).[1]
Dinasti Safawi, setelah kekalahan mereka di Chaldiran, berinvestasi dalam perangkat militer yang sama seperti milik Ottoman. Pada tahun 1599 Abbas bertemu orang Inggris, Sir Robert Sherley, dan memintanya untuk menjadi pelatih dan pembaharu sistem militer Safawi. Di bawahnya, tiga divisi pasukan dibentuk, seluruhnya dilatih dan dipersenjatai dengan cara Eropa, mereka adalah ghulam (budak) — pasukan pengawal kerajaan yang bersumpah setia kepada seorang shah, bukan kepada negara; tofangchi (musketeers); dan topchi (prajurit artileri).[2]
Pasukan baru Abbas ini dapat menjadi pengganti Qizilbash yang tidak kalah kuatnya. Pasukan Safawi di bawah Abbas akhirnya dapat mengalahkan Ottoman pada tahun 1603, memaksa mereka untuk melepaskan semua wilayah yang mereka sita, dan merebut Baghdad. Dia juga mengusir (1602, 1622) para pedagang Portugis yang telah merebut pulau Hormuz di Teluk Persia pada awal abad ke-16.[3]
Tiga Dinasti Muslim – Utsmani, Safawi, dan Mughal (yang menguasai sebagian besar India) — untuk melengkapi kekuatan pasukan infanteri dan kavaleri tradisionalnya, menambahkan perlengkapan meriam dan artileri secara efektif. Oleh karena itu, mereka juga memiliki sebutan sebagai “kerajaan mesiu”.[4]
Pentingnya Dinasti Safawi
Tidak seperti kerajaan-kerajaan Muslim lainnya yang terus berkembang kekuasaannya dari masa ke masa — seperti Ottoman ke barat dan Mughal di India, Dinasti Safawi hanya mengalami perkembangan pesat di masa-masa awal pembentukan dinasti, setelahnya Safawi relatif memiliki ukuran yang sama dari satu generasi ke generasi lainnya.[5]
Dinasti Safawi bukanlah kerajaan terbesar atau terlama dalam sejarah Islam. Terlepas dari hal ini, Dinasti Safawi — karena telah menetapkan batas-batas modern Persia, serta kerangka birokrasi bagi negara modern Iran, dan pengenaan Islam Syiah sebagai agama negara — merupakan titik balik penting dalam sejarah Persia dan Timur Tengah.[6]
Setelah perbatasan Dinasti Ottoman dan Safawi menjadi lebih jelas dan pasti, perang di antara keduanya menjadi lebih jarang terjadi. Bahkan setelah kehancuran akhir dinasti Safawi pada tahun 1736, Persia tetap menjadi engsel ekonomi penting di antara pasar Timur dan Barat.[7]
Pada tahun 1598, ibukota Dinasti Safawi pindah ke Isfahan. Perpindahan ini diperintahkan oleh Shah Abbas, Shah Dinasti Safawi yang kelima . Dia terlibat langsung dalam program pembangunan ibukota baru ini, banyak contoh-contoh karyanya masih dapat kita lihat sampai hari ini. Karena Isfahan menjadi begitu megah, penduduk dari generasi ke generasi maupun siapa saja yang melintasi kota tersebut mengenal Isfahan dengan julukan: “setengah dari dunia”. [8]
Akhir Dinasti Safawi
Karena pemerintahan Shah Abbas yang luar biasa, dengan keberhasilan militer yang mencolok dan sistem administrasinya yang efisien, Persia naik kelas ke dalam status sebagai negara dengan kekuatan besar. Perdagangan dengan Barat dan industri berkembang, dan komunikasinya membaik. Isfahan menjadi pusat prestasi pencapaian arsitektural Safawi.[9]
Beberapa karya arsitektural dari masa ini adalah dengan dibangunnya beberapa masjid, yaitu Masjid-i Shāh dan Masjid-i Sheykh Loṭfollāh. Momumen arsitektural lainnya adalah ʿAlī Qāpū, Chehel Sotūn, dan Meydān-i Shāh. Terlepas dari semangat madzhab Syiahnya, di wilayah kekuasaan Safawi orang-orang Kristen mendapatkan toleransi, bahkan beberapa gereja dibangun.[10]
Setelah kematian Shah Abbas (1629), dinasti Safawi bertahan selama sekitar satu abad. Terkecuali pada masa Shah Abbas II (1642–66), Safawi mengalami periode kemunduran. Pada tahun 1722, Isfahan jatuh ke tangan Ghilzai Afghan Qandahār. Tujuh tahun kemudian Shah Ṭahmasp II mengambil alih kembali Isfahan dan naik tahta. Sayangnya Ṭahmasp II hanya bertahan selama tiga tahun, pada tahun 1732 dia digulingkan oleh Nadr Qolī Beg. [11]
Sebelumnya Nadr Qolī Beg adalah pimpinan suku Afshar Turki, dengan kepemimpinannya yang handal dia mendirikan kelompok perampok. Pada tahun 1726, dia memimpin 5.000 orang komplotan perampok untuk mendukung Shah Ṭahmasp II untuk kembali naik tahta. Nadr Qolī Beg membentuk kekutan militer dan meraih kemenangan gemilang dengan mengalahkan Ghilzai Afghan Qandahār untuk membantu Shah Ṭahmasp II naik tahta.[12]
Pada tahun 1732, Nadr sebagai pimpinan militer sudah terlampau kuat, dia dengan mudah dapat menggulingkan Ṭahmasp II dan mengangkat putra Ṭahmasp II yang masih bayi menjadi Shah. Nadr sendiri mengangkat dirinya menjadi wali dari Shah baru tersebut. Kemudian pada tahun 1736 Nadr mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia dan menyebut dirinya sendiri dengan nama Nadr Shah.[13] Dinasti Safawi telah runtuh dan tidak pernah bangkit kembali. (PH)
Selesai.
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 199.
[2] “Ṣafavid dynasty”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Safavid-dynasty, diakses 17 Juni 2018.
[3] Ibid.
[4] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm 199-200.
[8] Ibid., hlm 200.
[9] “Ṣafavid dynasty”, Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] “Nādir Shāh”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Nadir-Shah, diakses 17 Juni 2018.
[13] Ibid.