Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (25): Metodologi Rekonstruksi Sejarah

in Sejarah

Last updated on October 12th, 2020 02:54 pm

Sumber sejarah versi Islam mengenai penaklukan ke Persia dianggap tidak kredibel karena jejak rekam perawinya yang bermasalah. Dengan demikian, yang dapat dilakukan adalah komparasi dengan sumber-sumber di luar Islam.

Raja Persia Darius dan para pembesarnya, miniatur dari The History of Alexander the Great oleh Pseudo-Callisthenes, abad ke-13-14. Sumber: Getty

Setelah membaca biografi Saif bin Umar oleh Khalid Yahya Blankinship, maka kita akan mengetahui bagaimana rancang bangun sejarah yang dibuat oleh Saif, yang mana kemudian efeknya menjadi sangat besar karena riwayat dari Saif dipakai oleh sejarawan besar seperti al-Tabari.

Berikut ini adalah rangkuman pemaparan dari Khalid Yahya Blankinship tentang watak riwayat-riwayat dari Saif:

  1. Melebih-lebihkan riwayat yang disampaikannya dan mencampurnya dengan riwayat yang sebenarnya.
  2. Saif suka menambahkan kisah-kisah ajaib dan fantastis dari peristiwa sebenarnya.
  3. Saif gemar mengagung-agungkan sukunya sendiri (Bani Tamim).
  4. Luas geografis dari penaklukan paling awal pasukan Muslim ke Persia sangat dilebih-lebihkan.
  5. Saif anti Alawi (kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib).
  6. Saif mendukung penguasa, baik Bani Umayyah maupun Abbasiyah.
  7. Saif membersihkan dan memuliakan nama seluruh sahabat Nabi yang melakukan kesalahan.
  8. Saif mengagung-agungkan Arab, khususnya Quraisy.
  9. Saif menciptakan tokoh dan kejadian-kejadian fiktif dalam riwayat-riwayatnya.
  10. Riwayat dari Saif seringkali unik, sama sekali tidak ditemukan di perawi-perawi lainnya.
  11. Saif sering mencatut nama periwayat otoritatif pada ujung rantai riwayatnya. Agar tidak terlacak kebohongannya, dalam rantai perantara perawi, dia mencantumkan perawi yang tidak diketahui siapapun.

Lalu mengapa sejarawan besar seperti al-Tabari dapat menggunakan karya-karya Saif? Bahkan pada tingkatan yang sangat banyak, dia hampir bergantung sepenuhnya kepada Saif dalam penggambaran sejarah pada periode tiga khalifah pertama dan penaklukan-penaklukan pada masa itu.[1]

Dengan bias-bias seperti di atas, sebagaimana disampaikan oleh Khalid Yahya Blankinship, maka karya Saif sulit untuk diterima sebagai sumber sejarah yang kredibel. Meski demikian, bukan berarti riwayat dari Saif tidak serta merta menjadi tidak berguna sepenuhnya bagi kajian sejarah. Karena pada kenyataannya penaklukan Muslim ke Persia memang benar-benar terjadi.

Menurut Khalid, al-Tabari pada umumnya sadar bahwa ketika dia mengadopsi karya Saif secara besar-besaran maka itu telah merugikan karya sejarah lainnya yang masih tersedia pada masa itu dan kini mungkin sebagian telah musnah karena dia mengabaikannya.

Meskipun jawaban akhir tidak dapat diberikan di sini, tapi nampaknya riwayat Saif memenuhi dua kebutuhan penting dalam pikiran al-Tabari.

Pertama, versi sejarah Saif sejalan dengan posisi ideologis al-Tabari yang juga merupakan seorang jamaʻi Sunni yang lebih suka meminimalisir perselisihan di antara tokoh-tokoh Muslim awal.

Al-Tabari dengan demikian menyampaikan riwayat-riwayat dari Saif, meskipun dia hampir tidak mungkin tidak menyadari reputasi buruk Saif, yang telah berkembang sebelum masanyanya. Mungkin al-Tabari merasa bahwa dia tidak harus begitu teliti apabila menyangkut riwayat mengenai sejarah, lain halnya jika itu berkenaan dengan hadis-hadis normatif.

Dalam beberapa contoh, al-Tabari menunjukkan kesadaran akan kelemahan Saif, yaitu ketika dia menolak cerita Saif tentang Khalid bin al-Walid yang menaklukkan al-Basrah, dan sekali lagi ketika dia mengubah tanggal penaklukan Tamimi ke Khurasan.

Tetapi dalam menggambarkan penaklukan tersebut secara umum al-Tabari hampir tidak menyimpang dari riwayat Saif. Hal ini membawa kita pada daya tarik kedua yang mungkin dimiliki Saif bagi al-Tabari: detail.

Riwayat dari Saif hampir selalu jauh lebih bertele-tele ketimbang riwayat paralel dari para perawi yang lebih masuk akal. Karakteristik riwayat Saif yang sepeti ini mungkin tidak hanya membuatnya lebih disukai al-Tabari tetapi mungkin baginya tampak seperti jaminan keakuratan.

Hidup di abad pertengahan, al-Tabari tidak, dalam kebanyakan kasus, memiliki alat-alat kritis modern yang akan memungkinkannya untuk menemukan tendensi-tendensi Saif. Dan, bagaimanapun, riwayat Saif terus menerima persetujuan dari sebagian kecil ulama bahkan hingga saat ini.[2]

Dengan kenyataan seperti itu, hal pertama yang dapat kita lakukan adalah dengan memfilter riwayat-riwayat dari Saif. Karena tidak semua riwayat dari Saif sepenuhnya salah, sebagaimana disebut di atas, dia mencampurnya dengan riwayat yang benar. Maka jika kita menemukan riwayat yang bias, kita cukup dapat mengambil seperlunya, selebihnya diabaikan.[3]

Kedua, adalah dengan mengkomparasikannya dengan sumber-sumber sejarah lainnya dan mencari titik temu yang masuk akal.[4] Dalam hal ini, sejarawan Persia kontemporer Parvaneh Pourshariati dalam bukunya Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian–Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran mengkombinasikan sejarah versi Islam dengan sumber-sumber sejarah lain seperti dari sisi Persia sendiri, Armenia, Yunani, Suriah, dan artefak-artefak kebudayaan seperti koin, segel, dan prasasti.[5] Ke depan, kita akan menggunakan buku ini sebagai salah satu referensi utama untuk artikel ini.

Ketiga, adalah dengan menggunakan pisau analisis teori-teori geo-politik dan hubungan internasional yang berkembang pada masa kini yang mampu menjelaskan situasi relasional antara negara/peradaban yang ada pada waktu itu. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Yahya Blankinship dalam pengantar penerjemah al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 11, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Khalid Yahya Blankinship (State University of New York Press: New York, 1993), hlm xv.

[2] Ibid., hlm xxviii-xxix.

[3] Ibid., hlm xxv.

[4] Ibid.

[5] Parvaneh Pourshariati, Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian–Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran (I.B.Tauris & Co Ltd: London, 2008), hlm 10.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*