“Ketika Ismail mengalahkan Shayabak Khan Uzbek, dia memenggal dan mengirimkan kepalanya yang ditusuk kepada Sultan Ottoman. Sang Sultan marah dan dia mengobarkan perang terhadap Dinasti Safawi.”
–O–
Dukungan kelompok prajurit yang kuat seperti Qizilbash sangat ideal bagi Ismail yang menggambarkan dirinya sebagai sosok mesianik yang dipuja-puja. Tetapi, para prajurit profesional yang bersenjata lengkap ini juga sangat menyadari peran penting mereka ketika sebelumnya Ismail sedang berproses menapaki tangga kekuasaan.
Ismail telah bergantung terhadap Qizilbash agar dia memperoleh tahta, namun kali ini Ismail merasa perlu untuk mengambil kesempatan mengurangi kekuatan mereka. Dalam prosesnya, Ismail berharap ini berjalan lancar dan tidak akan terlalu menimbulkan ketidaksukaan dari mereka, sayangnya Ismail gagal. Di tengah upaya awal untuk membatasi kekuasaan mereka, Ismail menunjuk serangkaian lima penasihat Persia, atau pengawas, untuk memimpin pasukan ini. Dan Qizilbash membunuh tiga di antara mereka.
Nama besar dan kekuatan Qizilbash akhirnya jatuh pada Pertempuran Chaldiran pada tahun 1514, mereka dikalahkan oleh musuh bebuyutan Dinasti Safawi: Kekaisaran Ustmaniyah (Ottoman). Begitu pula dengan Ismail, kekalahan ini telah menghancurkan aura keilahiannya, dan membuat para pengikut setianya menjadi berpikir ulang tentang kesempurnaan mesianiknya.
Sebelum pertempuran terjadi, Ottoman telah lama merasa terganggu atas perekrutan orang-orang Turki (secara etnik, Qizilbash adalah orang Turki) yang dilakukan Safawi untuk menjadi tentara mereka. Bagaimanapun, Ottoman, juga, adalah orang Turki, dan mereka melihat kekuatan yang berkembang dari Dinasti Syiah Safavid sebagai tantangan langsung terhadap hegemoni regional yang mereka harapkan akan terwujud di seluruh Timur Tengah.[1]
Sultan Bayezid II, penguasa Ottoman pada waktu itu sebenarnya menghindari pertempuran dengan Safawi karena masih disibukkan dengan urusan domestik dan luar negerinya di tempat lain. Ismail yang belum siap untuk berkonfrontasi dengan Ottoman juga mengambil sikap ramah terhadap Bayezid. Namun, hubungan itu rusak pada tahun 916 H/1510 M ketika Ismail mengalahkan Shayabak Khan Uzbek dan mengirimkan kepalanya (yang ditusuk) kepada Bayezid disertai dengan surat kemenangan yang angkuh.
Hal ini menyebabkan kemarahan Bayezid, dan karena itu, dia menulis surat balasan kepada Ismail dan mengancam bahwa dia akan mengobarkan perang terhadap Safawi. Namun Bayezid tidak dapat mewujudkan ancamannya, karena dia terlanjur digulingkan dari tahta, dan dia digantikan oleh Selim I. Ketika Selim mengetahui tentang aktivitas politik-agama pasukan Qizilbash — yang berafiliasi dengan Ismail — di Anatolia, Selim memutuskan untuk menyerang Safawi.[2]
Sebagian besar referensi mengatakan bahwa jumlah pasukan Ottoman jauh lebih banyak dibandingkan dengan pasukan Qizilbash Safawi, sekitar dua sampai tiga kali lipatnya. Meskipun demikian, walaupun dengan kekurangan ini, pasukan Safawi bertempur dengan sangat baik, bahkan mereka mungkin dapat memenangkan pertempuran apabila Ottoman tidak mengerahkan pasukan artilerinya.[3]
Meriam dan artileri lainnya diarahkan dan mendarat di pasukan kavaleri elit Safawi yang tidak berdaya menahannya. Ismail sendiri terluka, namun beruntung dia masih bisa meloloskan diri dan hidupnya terselamatkan.[4] Bahkan, istri kesayangan Ismail tertinggal di medan perang dan jatuh ke tangan Ottoman.[5] Kemudian setelahnya, meskipun secara formal dia masih seorang Shah Safawi, Ismail yang saat itu masih berusia 26 tahun sudah undur diri dari kehidupan publik. Dia mengalami depresi dan sisa hidupnya hanya dipenuhi dengan mabuk-mabukan alkohol.[6]
Bagaimanapun, Pertempuran Chaldiran adalah salah satu pertempuran paling penting dalam sejarah Timur Tengah, karena hasil akhir dari pertempuran tersebut masih berlaku sampai hari ini. Ketika pertempuran berakhir, perbatasan dan demografi Kekaisaran Safawi dan Kekaisaran Ottoman ditentukan, dan batas-batas tersebut telah menciptakan kontur Timur Tengah di era modern.[7]
Dalam 10 tahun terakhir masa pemerintahannya, Ismail menyerahkan jalannya pemerintahan kepada penasehat utamanya, namun di bawah kepemimpinannya justru faksi-faksi tradisional berdasarkan kesukuan malah bermunculan kembali. Bagaimanapun, Ismail adalah pemimpin yang cakap, karena sebelumnya, di masa kepemimpinannya dia mampu menyatukan berbagai suku.[8]
Menurut Mulla Kamal, tidak ada seorangpun yang melihat Ismail tersenyum setelah kekalahannya di Chaldiran. Kemudian, keyakinan para pengikut Ismail yang berlebihan sebagai sosok manusia yang sempurna perlahan menghilang. Pertempuran Chaldiran meruntuhkan mitos tentang Ismail yang tidak terkalahkan. Ottoman sendiri tidak pernah bisa menduduki Persia dan memaksa para penduduknya meninggalkan keyakinan Islam Syiah mereka. Semenjak itu, sistem pemerintahan Safawi yang bercorak teokrasi dikurangi dan pemerintah Safawi menerapkan sistem administrasi kerajaan biasa.[9] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 198.
[2] “Battle of Chaldiran”, dari laman http://en.wikishia.net/view/Battle_of_Chaldiran, diakses 16 Juni 2018.
[3] Eamon Gearon, Loc.Cit.
[4] Ibid.
[5] Nazeer Ahmed, “The Battle of Chaldiran”, dari laman https://historyofislam.com/contents/the-land-empires-of-asia/the-battle-of-chaldiran/, diakses 16 Juni 2018.
[6] Eamon Gearon, Loc.Cit.
[7] Akhilesh Pillalamarri, “This 16th Century Battle Created the Modern Middle East”, dari laman https://thediplomat.com/2014/08/this-16th-century-battle-created-the-modern-middle-east/, diakses 16 Juni 2018.
[8] Eamon Gearon, Ibid., hlm 199.
[9] “Battle of Chaldiran”, Ibid.