Mozaik Peradaban Islam

Dinasti Safawi (3): Islam Syiah sebagai Agama Resmi Negara

in Monumental

Last updated on June 16th, 2018 05:36 am

“Ismail memerintahkan agar semua masjid dikonversi dari Sunni ke Syiah, cara shalat Sunni diubah dengan madzhab Syiah, dalam setiap ceramah shalat jumat diwajibkan untuk menyebutkan nama 12 imam, dan para ulama diperintahkan untuk menyebarkan ajaran Syiah.”

–O–

Lukisan tentang Dinasti Safawi karya Joseph Enthroned. Sekarang menjadi koleksi milik the Freer Gallery of Art, Smithsonian, Washington D.C. Photo: Cordanrad/Wikimedia

Di bawah kepemimpinan Ismail, Dinasti Safawi melakukan penganiayaan terhadap mayoritas Sunni, dan ini bisa menjadi parah dan bahkan mematikan, terutama di wilayah-wilayah yang ditaklukkan di luar jantung Persia – misalnya, di Azerbaijan dan Irak. Namun, banyak ulama hari ini akan berpendapat bahwa periode-periode kekerasan ini sebenarnya adalah pengecualian daripada keseluruhan cara Dinasti Safawi memimpin, terutama di Persia itu sendiri.

Tetapi kebijakannya yang memaksa mayoritas Sunni Persia untuk menjadi Syiah adalah kenyataan, dan dia menggunakan segala cara yang memungkinkan untuk memastikan kampanyenya berhasil. Di antara sekian banyak taktiknya, yang paling terlihat adalah ketika dia menjadikan Syiah Islam sebagai agama resmi negara. Ismail juga memperkenalkan kembali peran para pemimpin agama (Sadr, bahasa Arab), mereka bertanggung jawab untuk mengawasi apa yang disampaikan di masjid-masjid dan diajarkan di sekolah-sekolah. Sadr juga bertanggung jawab untuk penyebaran doktrin Syiah Dua Belas Imam. [1]

Ismail juga memerintahkan agar semua masjid dikonversi dari Sunni ke Syiah, situs-situs suci Sunni dihancurkan; makam-makam Sunni dinodai; dan setiap shalat jumat, nama dua belas imam wajib disebut, dan tiga khalifah Islam yang pertama wajib untuk dikutuk. Langkah yang terakhir ini merupakan sebuah penegasan dari penganut Syiah pada waktu itu yang mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah khalifah yang sah, sementara tiga khalifah yang pertama merupakan penyerobot.[2] [3]

Dia juga membentuk kelompok yang disebut “Tabarra’iyyun” yang bertugas untuk berbaris di jalanan dan dengan keras mengutuk para khalifah. Shah Ismail juga memerintahkan pembacaan adzan dengan gaya Syiah dan membunuh siapapun yang melakukan shalat dengan cara Sunni. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa Ismail melakukan pembunuhan dalam jumlah besar terhadap orang-orang yang menolak Syiah menjadi agama resmi negara.[4]

Namun di era modern tradisi seperti ini sudah tidak terjadi lagi, melalui fatwa pemimpin spiritual tertinggi Iran, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei, yang mengatakan bahwa tindakan mencaci sahabat merupakan sesuatu yang diharamkan. Berikut ini adalah isi fatwa yang beliau sampaikan pada tahun 2010: “Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullah wa barakatuh. Diharamkan menghina simbol-simbol (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, Ahlussunnah, berupa tuduhan terhadap istri Nabi SAW dengan hal-hal yang mencederai kehormatannya, bahkan tindakan ini diharamkan terhadap istri- istri para Nabi terutama penghulunya, yaitu Rasul termulia SAW. Semoga anda semua mendapatkan taufik untuk setiap kebaikan.”[5]

Sebaliknya, beberapa peneliti percaya bahwa, meskipun Ismail melakukan penekanan, namun sesungguhnya orang Persia berpindah ke Syiah tanpa kekerasan. Beberapa orang percaya bahwa cerita mengenai tindakan Safawi yang keras agar pindah ke Syiah adalah fiksi yang tidak berdasarkan pada bukti sejarah. Mereka mengajukan beberapa bukti untuk mendukung pendapat mereka.[6]

Namun juga tampak bahwa Ismail dapat puas hanya dengan konversi formalitas (berpura-pura, tidak sungguh-sungguh dari hati) dari Sunni ke Syiah. Yang terpenting adalah adanya pernyataan publik yang menyatakan bahwa yang bersangkutan berada di pihak yang sama dengan shah. Ismail juga mengundang semua penganut Syiah untuk datang dan menetap di Persia. Ulama Syiah secara khusus diterima, mereka bahkan diberikan tanah dan dana pensiunan agar mau untuk menetap di Persia.[7]

 

Peran Ulama

Ketika para ulama Syiah datang ke Iran, sekolah-sekolah dan pusat-pusat kegiatan akademis didirikan. Hal lain yang dilakukan oleh Safawi untuk menegakkan Syiah adalah dengan mengadakan sejumlah ritual, misalnya ritual berkabung di bulan Muharram. Dengan cara-cara seperti ini maka itu akan membantu menumbuhkan simpati dan juga membangun tradisi Syiah.

Meskipun para ulama Syiah tidak memainkan peran dalam pembentukan pemerintahan Safawi pada awalnya, namun mereka memasuki struktur pemerintahan Safawi pada akhir pemerintahan Shah Ismail dan memegang posisi seperti di kementrian dan pengadilan. Pada periode Shah Tahmasp, para ahli fiqih masuk ke dalam sistem pemerintahan Safawi dengan jauh lebih massif lagi. Sementara itu, al-Muhaqqiq al-Karaki mengusulkan teori baru untuk membenarkan kehadiran para ulama dalam dinasti Safawi terkait persoalan syariah. Menurut teori ini, ketika Imam Mahdi sedang dalam masa ke-ghaib-an besar, maka para ahli fiqihlah yang memiliki hak untuk memerintah, namun mereka dapat mendelegasikan kekuatan politiknya yang sah kepada Shah karena urgensi tertentu. Shah Tahmasp menerima teori itu dan menganggap dirinya sebagai delegasi dari para ahli fiqih.

Meskipun para ulama mengalami pasang surut dalam hubungan mereka dengan pemerintah Safawi, mereka selalu memiliki peran efektif yang sangat penting dalam struktur politik pemerintahan Safawi. Pada periode ini, para ulama mengambil peran sebagai pelaksana hukum syariah dengan mengambil posisi sebagai hakim, mawqufat (pengatur wakaf), khatib jumat, dan posisi-posisi lain yang sejenis. Namun, perlu dicatat bahwa mereka selalu ditunjuk oleh para shah dan dengan demikian, kekuasaan mereka terbatas. Beberapa shah, seperti Abbas I, memberikan kewenangan yang sangat terbatas kepada para ulama dan posisi lainnya, dan beberapa lainnya, seperti Abbas II, memberi mereka otoritas yang lebih besar mengenai urusan agama dan pemerintahan.

Meskipun sebagian besar ulama Syiah memiliki hubungan yang bersahabat dengan pemerintah Safawi, beberapa dari mereka menghindari interaksi dengan pemerintah dan mencela ulama yang berinteraksi dengan pemerintah. Menurut pandangan mereka, adalah kesalahan bagi para ulama untuk bekerja bersama pemerintahan duniawi. Syekh Ibrahim Qatifi, al-Muqaddas al-Ardabili (wafat 993 H/1585 M), Sadr al-Muta’allihin al-Syirazi, dan Syekh Hasan al-‘Amili (wafat 1011 H/1692) merupakan tokoh-tokoh terkemuka yang mencela interaksi ulama dengan pemerintah Safawi. [8] (PH)

Bersambung ke:

Dinasti Safawi (4): Pertempuran Chaldiran

Sebelumnya:

Dinasti Safawi Persia (2): Pedang dan Pena

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 197.

[2] “Safavid Dynasty”, dari laman http://en.wikishia.net/view/Safavid_Dynasty, diakses 14 Juni 2018.

[3] Eamon Gearon, Loc. Cit.

[4] “Safavid Dynasty”, Ibid.

[5] “Fatwa Ayatollah Seyyed Ali Khamenei: Haram Melakukan Penistaan Terhadap Simbol-Simbol yang Diagungkan Ahlus Sunnah (Sunni)”, dari laman http://agama-islam.com/fatwa-rahbar/, diakses 14 Juni 2018.

[6] “Safavid Dynasty”, Ibid.

[7] Eamon Gearon, Loc. Cit.

[8] “Safavid Dynasty”, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*