Mozaik Peradaban Islam

Dinasti Safawi Persia (2): Pedang dan Pena

in Monumental

Last updated on June 14th, 2018 02:25 pm

“Ismail adalah bocah yang jenius, dia peka melihat potensi orang di sekitarnya, yaitu Qizilbash Turki (suku prajurit) dan Birokrat Persia. Inilah kunci kesuksesan Safawi, mengkombinasikan antara pedang dan pena.”

–O–

Shah Ismail I tidak serta merta begitu saja dapat menjadi seorang raja dari wilayah yang begitu luas, dan bukan karena kisah-kisah ajaib pula (meskipun dia mengaku sebagai seorang Mahdi). Di balik semua itu, Ismail adalah bocah yang jenius, sebagai seorang pendiri kerajaan dia cukup peka melihat potensi sumber daya manusia yang berada di sekitarnya.

Ismail menggabungkan dua keterampilan khusus dari dua kelompok masyarakat, yaitu Qizilbash, kelompok prajurit Turki nomaden; dan kelompok birokrat Persia yang handal. Qizilbash berasal dari kata Turki Ustmani, yang secara harfiah berarti “kepala merah”, yang mengacu kepada sorban berwarna merah yang digunakan oleh para tentara Syiah Safawi ini.

Di kemudian hari, kombinasi dua kelompok ini dikenal sebagai “orang-orang pemberi pedang dan pena”. Mereka memberikan pelayanan yang sempurna bagi Ismail dengan menyediakan kekuatan dan keamanan militer, dan juga memberikannya birokasi yang menjadi mesin penggerak pemerintahan.[1]

Orang-orang Qizilbash dikenal sebagai prajurit yang terampil. Mereka bisa menempatkan 70.000 penunggang kuda bersenjata di lapangan pada satu waktu. Qizilbash, di kemudian hari meskipun tidak selalu selaras dengan para shah yang berkuasa, tampaknya selalu memiliki peran sentral dalam perebutan kekuasaan yang terus-menerus terjadi selama berabad-abad ke depan.

Kemampuan organisasi militer mereka yang tangguh seringkali dimanfaatkan oleh berbagai shah dan memainkan peran penting dalam ekspansi kekaisaran. Ketika tidak berperang, Qizilbash menjadi pengawal pribadi para shah atau menjadi pasukan pengawal kerajaan. Kekuatan semacam ini digunakan untuk memadamkan pemberontakan di dalam kekaisaran.[2]

Ilustrasi Parajurit Qizilbash. Photo: Murat /Wikimedia

Tampaknya, kepribadian Ismail juga merupakan kombinasi dari dua hal itu: pedang dan pena. Salah satu kisah yang paling diingat tentang Ismail adalah ketika dia memenggal kepala lawan di medan perang, dan kemudian tengkorak kepala musuhnya itu dihias dengan permata dan difungsikan menjadi bejana minum kesukaannya.[3]

Ismail dibesarkan dengan dua bahasa, dia mampu berbicara dengan bahasa Azerbaijan — bahasa Turki — dan juga bahasa Persia. Selain itu, dia juga merupakan seorang penyair ulung dalam kedua bahasa tersebut. Ketika menulis puisi, dia menuliskan namanya dengan nama pena “Khatai”,[4] berikut ini adalah contoh puisi karya Ismail:

“Namaku adalah Shah Ismail. Aku adalah misteri Tuhan. Aku adalah pemimpin dari semua ghazi (prajurit muslim).

Ibuku adalah Fatimah, Ayahku adalah Ali; dan juga aku adalah guru dari (ajaran) Dua Belas Imam.

Aku telah memulihkan darah ayahku dari Yazid. Yakinlah bahwa pada hakikatnya aku Haydariyah (Haydar, nama ayah Ismail—pen).

Aku adalah Khidr dan Yesus, anak Maryam yang hidup. Aku adalah Iskandar dari zamanku.

Lihatlah kau, Yazid, musyrik dan ahli celaka, aku bebas dari Ka’bah orang munafik.

Di dalam diriku terdapat Kenabian dan misteri kesucian. Aku mengikuti jalan Muhammad Mustafa.

Aku telah menaklukan dunia pada titik pedangku. Aku adalah pelayan dari Murtada Ali.

Tuanku adalah Syafii, ayahku Haydar. Sungguh aku Ja’far yang berani.

Aku adalah seorang Husaini dan mengutuk Yazid. Aku adalah Khatai, pelayan dari para Shah.”[5]

 

Kerajaan Meritokrasi

Kerajaan Safawi yang baru berdiri menjadikan meritokrasi sebagai sistem seleksi bagi orang-orang pilihan mereka, dengan promosi jabatan bisa diberikan kepada siapapun yang dapat membuktikan kualitasnya. Pendekatan meritokrasi dalam pemerintahan ini tidak diragukan lagi merupakan pengaruh dari sistem khas yang dibawa oleh suku nomaden, di mana mereka meyakini bahwa kesuksesan bergantung kepada aturan dari orang terbaik, bukan dari orang yang memiliki hubungan baik.

Ismail menekankan pentingnya unsur-unsur kebudayaan Persia di negara Safawi. Ismail memiliki rencana besar untuk menggantikan tradisi mayoritas Sunni yang sudah ada selama berabad-abad. Sebagai gantinya, dia menetapkan visi mesianiknya tentang Islam Syiah, dengan dia sendiri menjadi pusatnya (menjadi al-Mahdi).

Iran pada hari ini dikenal sebagai negara Islam dengan populasi Syiah terbesar di dunia. Hal ini tidak terlepas dari peran Dinasti Safawi yang berkuasa selama 250 tahun. Pada masa pemerintahan Shah Ismail I, dia membuat sebuah kebijakan yang memaksa orang-orang Sunni untuk melakukan konversi ke Syiah.

Barangkali alasan paling penting di balik keputusan Ismail untuk mengubah Persia menjadi penganut “Islam Syiah Dua Belas Imam” adalah karena kepentingan praktis saja. Sebagai dinasti baru, dia membutuhkan identitas pembeda dari dua kekuatan utama Sunni pada waktu itu: Kekaisaran Ottoman di barat, dan Uzbek di utara dan timur laut.

Dengan membuat kerajaannya dikenal sebagai kerajaan Persia dan Syiah – yang secara alamiah bukan Sunni dan juga bukan Turki – Ismail mampu menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari rakyatnya. Ismail juga menghilangkan segala macam jenis ancaman dari Sunni, atau dari oposisi domestik apapun.

Di dalam aliran Syiah, sebenarnya ada beberapa cabang atau madzhab. Sebelum masa Shah Ismail I, dua cabang madzhab yang paling dominan adalah Syiah Ismailiyah dan Syiah Zaidiyah. Sementara itu, Syiah Dua Belas Imam yang dianut Shah Ismail I sendiri merupakan yang paling sedikit pengikutnya. Hari ini, berkat Ismail dan dinasti Safawi-nya, Syiah Dua Belas Imam adalah yang terbesar, dan paling menonjol, dari semua madzhab Syiah. Ini menyumbang 90 persen atau lebih dari semua Syiah di Iran, dan secara global, penganut Syiah Dua Belas Imam mencapai sekitar 80 persen.[6] (PH)

Bersambung ke:

Dinasti Safawi (3): Islam Syiah sebagai Agama Resmi Negara

Sebelumnya:

Dinasti Safawi Persia (1): Ismail, Bocah Pendiri Kekaisaran

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 194-195.

[2] “Qizilbash”, dari laman http://www.everyculture.com/Africa-Middle-East/Qizilbash.html, diakses 12 Juni 2018.

[3] Eamon Gearon, Ibid., hlm 195.

[4] “The Poetry Of Hatayi (Shah Ismâ’il I) (1487-1524)”, dari laman http://www.turkishculture.org/literature/literature/poetry/shah-ismail-745.htm

[5] World Heritage Encyclopedia, “Shah Ismail I”, dari laman http://self.gutenberg.org/articles/eng/shah_ismail_i, diakses 12 Juni 2018.

[6] Eamon Gearon, Ibid., hlm 196-197.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*