Mozaik Peradaban Islam

Kiprah Harun al-Rasyid dalam Zaman Keemasan Islam (2): Bantuan Keluarga Persia al-Baramikah (2)

in Sejarah

Last updated on May 14th, 2021 08:15 am

Kepala keluarga al-Baramikah yang beragama Buddha di depan khalifah Utsman masuk Islam. Dia berkata, “Hanya karena pilihan, dan mengetahui keunggulannya, tanpa rasa takut atau cemas, aku telah memasuki agama ini.”

Patung Buddha Bamiyan di Afghanistan. Foto: De Agostini Picture Library/Getty Images

Keluarga al-Baramikah dan Pergulatan Sejarah

Dahulu kala, di sebuah tempat yang kini berada di wilayah Asia Tengah, terdapat sebuah wilayah yang disebut Baktria. Ia berada di antara Pegunungan Hindu Kush dan Sungai Oxus (sekarang umumnya disebut Sungai Amu Darya). Belakangan ini, wilayah ini juga dinamai “Balkh”, diambil dari nama salah satu anak sungai Amu Darya.

Meskipun dulunya Baktria itu satu, namun di era modern kini wilayah tersebut terpecah-pecah menjadi banyak negara di Asia Tengah: Turkmenistan, Afghanistan, Uzbekistan, dan Tajikistan, ditambah sebagian dari apa yang sekarang disebut Pakistan. Dua kota Baktria yang masih dianggap penting hingga saat ini adalah Samarkand (di Uzbekistan) dan Kunduz (di Afghanistan utara).

Bukti arkeologi dan catatan Yunani awal menunjukkan bahwa wilayah timur Persia dan barat laut India telah menjadi rumah bagi kerajaan Baktria yang terorganisir setidaknya sejak 2.500 SM, dan mungkin lebih lama lagi. Filsuf besar Zoroaster atau Zarathustra dikatakan berasal dari Baktria.

Pada abad ke-6 SM, Kores Agung menaklukkan Baktria dan memasukan wilayah ini ke dalam Kekaisaran Persia atau Akhemenid. Ketika pada tahun 331 SM Raja Persia Darius III kalah dalam peperangan melawan Alexander Agung dari Yunani dalam Pertempuran Gaugamela (Arbela), Baktria mengalami kekacauan.

Karena perlawanan lokal yang kuat, tentara Yunani membutuhkan waktu dua tahun untuk memadamkan pemberontakan Baktria, tetapi kekuatan mereka sudah berada dalam titik yang paling lemah.[1]

Pada akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, dan juga meninggalnya Alexander Agung yang tidak meninggalkan keturunan, kerajaan Persia bangkit kembali, dan kali ini berada di bawah kekuasaan Keluarga Sasaniyah yang dipimpin oleh kaisar pertama mereka, Ardashir I. Oleh para sejarawan kekaisaran ini sering disebut sebagai Neo-Persia (Persia Baru).[2]

Ardashir begitu ambisius dan sangat cakap dalam memimpin. Di timur dia menginvasi India dan memungut upeti di Punjab, di utara dia mengalahkan Khurasan dan Balkh, dan dia menerima ketertundukan raja-raja Makran dan Asia Tengah.

Di barat dia mengalahkan tentara Romawi yang dipimpin Kaisar Severus Aleksander dan menduduki Armenia. Ardashir bukan hanya seorang penakluk tetapi juga seorang negarawan dan pembangun kekaisaran dan seseorang dengan wawasan yang luas.

Kekaisaran Sasaniyah yang didirikan oleh Ardashir semakin kuat dan terus berada dalam konflik tanpa akhir dengan Romawi, Turki, dan Hun.

Rentang hidup kekaisaran ini terus berlanjut hingga bertemu dengan masa ketika Nabi Muhammad saw dilahirkan dan berlanjut hingga ke era Khulafaur Rasyidin. Hingga akhirnya kekaisaran Persia Sasaniyah yang digdaya ini harus tunduk dan kalah kepada orang-orang Muslim Arab ketika di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab.[3]

Jarang diketahui, di tengah pergulatan sejarah yang begitu panjang dan dinamis itu, di Baktria terdapat sebuah keluarga yang eksistensinya tidak pernah punah, mereka adalah keluarga al-Baramikah (atau Barmakids).

Baktria, yang memiliki nama kuno Tokharistan, pada abad ke-7 dan ke-8 adalah sebuah wilayah di mana orang-orang terpelajar pada masa itu sangat tertarik kepada buku-buku berbahasa Sanskerta.

Gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan di Baktria ini dapat dilihat pada saat orang Arab menjatuhkan Persia. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan dari sumber-sumber sejarah dalam bahasa Cina, Arab, Sanskerta, ketika orang Arab datang Baktria adalah satu-satunya daerah di Peresia di mana agama Buddha sedang berkembang pesat.

Baktria juga kemudian menjadi satu-satunya wilayah yang dimasukkan ke dalam wilayah kekhalifahan Arab yang mana di tempat itu studi bahasa Sanskerta sama sekali tidak pernah padam.

Keluarga al-Baramikah adalah keluarga terdidik yang sebelumnya adalah para pejabat kerajaan Persia yang beragama Buddha, dan mereka memiliki pengetahuan, penguasaan, dan minat yang tinggi terhadap pembelajaran dalam bahasa Sanskerta.[4]

Ketika kekhalifahan Arab akhirnya menguasai seluruh wilayah Persia, keluarga al-Baramikah pindah ke Basrah yang berada di Irak bagian selatan.[5] Meski Persia sudah beralih kekuasaan ke kekhalifahan Arab, posisi keluarga ini sebagai tenaga administrasi kerajaan sebelumnya tidak dicopot.

Barmak, yang pada waktu itu merupakan pemimpin keluarga al-Baramikah suatu saat menemui khalifah pengganti Umar bin Khattab, yaitu Utsman bin Affan. Kepada Utsman dia menunjukkan dihqans (semacam bukti administrasi bahwa mereka adalah pemilik lahan tertentu) sebagai jaminan pengganti uang yang akan mereka serahkan kepada negara.

Di sana Barmak kemudian menunjukkan ketertarikannya kepada Islam, dan pada akhirnya dia masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdallah. Barmak kemudian kembali ke anak-anaknya, rumahnya, dan keluarganya, tapi mereka tidak dapat menerima keislamannya.

Menanggapi respon kaumnya, Barmak menjawab, “Hanya karena pilihan, dan mengetahui keunggulannya, tanpa rasa takut atau cemas, aku telah memasuki agama ini (Islam). Aku tidak akan kembali ke agama yang jelas-jelas cacat, yang aibnya telah disingkapkan.”[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Kallie Szczepanski, “Where Is Bactria?”, dari laman https://www.thoughtco.com/where-is-bactria-195314, diakses 11 Mei 2021.

[2] Encyclopædia Britannica, “Iran, ancient.” (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2014)

[3] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 5-6

[4] Kevin van Bladel, “The Bactrian Background of the Barmakids”, dalam Anna Akasoy, Charles Burnett, Ronit Yoeli –Tlalim (ed), Islam and Tibet Interactions along the Musk Routes (Ashgate Publishing Limited: England, 2011), hlm 45-46.

[5] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 20.

[6] Kevin van Bladel, Op.Cit., hlm 65-66.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*