Dinasti Umayyah (19): Merancang Jalan Kehancuran

in Sejarah

Last updated on March 21st, 2018 10:03 am

Hanya 40 hari saja warisan Umar bin Abdul Aziz bertahan. Setelah itu semua kembali seperti semula. Kepercayaan masyarakat yang sudah diraih oleh Umar bin Abdul Aziz, seketika menguap. Pemberontakan dan perang terjadi dimana-mana.

—Ο—

  

Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, sebagaimana wasiat dari Sulaiman bin Abdul Malik, Yazid bin Abdul Malik (Yazid II) yang naik tahta menggantikannya. Sebelum wafat, Umar menyampaikan nasehat pada Yazid yang isinya kurang lebih, “aku mengetahui bahwa aku akan ditanyai oleh Tuhan alam semesta tentang kepemimpinan ku di dunia ini. Tidak ada kemungkinan bagiku untuk menghindar dariNya. Aku memohon padaNya agar mengampuniku demi kemuliaanNya, melindungiku dari azab api neraka, dan memperkenankan ku masuk surga. Kau (Yazid bin Abdul Malik) harus takut kepada Allah, dan membuka dirimu untuk menusia. Kaupun tak akan hidup lama di dunia ini setelah aku wafat.” Demikianlah nasehat Umar bin Abdul Aziz untukl sepupunya.

Akbar Shah Najeebabadi mengatakan dalam bukunya, ketika pertama kali naik tahta pada tahun 101 H, Yazid II berkata, “aku membutuhkan Allah lebih daripada Umar bin Abdul Aziz”. Tapi hanya 40 hari ia sanggup memegang komitmen ini. Keluarga besar Bani Umayyah sempat khawatir ketika menyaksikan pada awalnya tidak ada yang berubah dari kebijakan pusat Dinasti Umayyah. Mereka kemudian mendatangkan 40 alim ulama, yang berjanggut dan sudah memutih pula rambutnya. Mereka maju ke hadapan Yazid II, lalu mereka bersaksi bahwa apapun yang khalifah lakukan, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban, dan tidak pula akan dihukum.[1]

Usaha keluarga Bani Umayyah berhasil. Mendengar ini, Yazid II benar-benar terpengaruh. Perlahan tapi pasti kebijakannya mulai melenceng, dan akhirnya melenceng jauh sekali. Ia mulai suka menenggak minuman keras, dan menghabiskan waktunya dengan para penari serta larut memainkan instrument musik. Dalam kondisi seperti ini, ia tak ubahnya seperti boneka di tangan keluarga Umayyah. Mereka bahkan berhasil mengubah undang-undang yang sudah ditegakkan Umar bin Abdul Aziz berbalik kembali seperti dulu. Hak-hak istimewa Bani Umayyah kembali, termasuk juga property mereka yang sebelum sudah disita oleh Umar.

Di tempat yang berbeda, Bani Abbas melihat peluang emas dari situasi tersebut. Khalifah sedang mabuk dan terbuai oleh kenikmatan dunia. Sedang para pembantunya – para keluarga Umayyah yang lain – sedang sibuk mengumpulkan kembali harta kekayaan dan mengembalikan hak-hak istimewa mereka yang sempat diubah oleh kebijakan Umar bin Abdul Aziz. Bani Abbas, dengan mengatasnamakan hak keluarga Hasyim, mulai memungut modal sosial dan politik mereka, untuk merancang sebuah revolusi.

Di era Yazid II, ekspedisi militer ke berbagai wilayah kembali digaungkan. Pertempuran pun pecah dimana-mana. Dan perjanjian yang sudah diteguhkan oleh Umar bin Abdul Aziz diubah. Salah satunya perjanjian gencatan senjata dengan kaum Khawarij. Sebelumnya, pada masa Umar, kelompok Khawarij rencananya akan diajak dialog tentang agama dan pendirian politik mereka. Tapi Umar keburu meninggal dunia. Pada masa Yazid II serombongan pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Muhammad bin Jarir mendatangi kaum Khawarij ini dan peperanganpun tak dapat dihindarkan.[2] Perjanjian lainnya, adalah penetapan pajak terhadap masyarakat Yaman. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, pajak masyarakat Yaman diringankan, atau dibuat proporsional. Tapi di masa Yazid II, aturan pajak dikembalikan seperti semula, sebelum era Umar bin Abdul Aziz. Masyarakat kembali diperas dengan jumlah pajak yang tinggi.[3] Bagi sebagian sejarawan, Yazid II dinilai haus darah. Salah satu tindakannya yang paling disesali banyak pihak adalah perlakukan tentara Yazid II terhadap Yazid bin Muhallab.

Yazid bin Muhallab adalah sosok yang cukup kontroversial. Seorang politikus tingkat madya, namun cukup merepotkan elit Dinasti Umayyah. Ia diangkat menjadi gubernur di Persia menggantikan posisi Hajjaj bin Yusuf pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Tapi pada masa Umar bin Abdul Aziz ia kedapatan berbuat curang memakan uang pajak. Uang hasil pungutannya tidak dimasukkan ke baitul mal, satu hal yang membuat Umar sangat marah. Umar lalu menjebloskannya ke dalam penjara. Ketika mengetahui Umar wafat, ia berhasil melarikan diri dari penjara, lalu menuju ke Basrah. Ia sempat menulis surat pada Umar yang isinya, “Bila saja engkau selamat dari kejahatan Bani Umayyah, aku tentu akan rela menerima hukuman darimu. Tapi karena Yazid yang menggantikamu ku khawatirkan akan melampaui batas terhadap ku, maka aku memilih melarikan diri”.[4]

Karena merasa khawatir Yazid II akan bertindak keras terhadapnya, ia lalu menggalang kekuatan di Basrah untuk melakukan pemberontakan. Ia berhasil mengusir gubernur Bashrah saat itu, dan menguasai wilayah tersebut sepenuhnya. Ketangguhannya cukup luar biasa. Beberapa kali pasukan yang dikirim oleh Yazid II kandas. Hingga akhirnya ia mengirim Maslamah bin Abdul Malik, saudaranya yang juga Jenderal perang ternama sejak masa khalifah Al Walid berkuasa. Kali ini, Yazid bin Muhallab benar-benar takluk. Ia tewas dalam pertempuran. Tidak cukup sampai di situ, seluruh keluarga dan anak keturunan Yazid bin Muhallab dibantai tak bersisa.

Yazid II jatuh cinta pada budak perempuan yang bernama Hababah. Ketika budak tersebut meninggal dunia, ia begitu terpukul, dan langsung jatuh sakit. Setelah tujuh hari mengurung diri, ia akhirnya meninggal dunia pada tahun 105 H, di usia 38 tahun. Pemerintahannya hanya berlangsung sekitar 4 tahun.[5] Sebagaimana yang tertulis dalam wasiat Umar bin Abdul Aziz kepadanya, bahwa Yazid II tidak akan lama lagi berada di dunia ini setelah Umar tiada, dan ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kelak di hadapan Allah SWT.

Sebelum meninggal, ia sempat menuliskan surat wasiat seperti yang dilakukan oleh Sulaiman bin Abdul Malik. Ia menulis dua buah nama penggantinya secara berturut-turut sebagai khalifah. Dalam surat tersebut ia memasukkan nama saudara tirinya, Hisham bin Abdul Malik di urutan pertama, dan Walid bin Yazid, putranya sendiri di urutan selanjutnya. Tapi berbeda dengan nama-nama yang ditulis oleh Sulaiman, yang diputuskan melalui pertimbangan untuk mendamaikan kemaslahatan masyarakat dan kepentingan Bani Umayyah. Kali ini, orang kedua setelah Hisham adalah putranya sendiri. Pertimbangan subjektif yang mengingatkan kita pada keputusan Muawiyah ketika memilih Yazid bin Muawiyah (Yazid I) sebagai penggantinya. Sebagaimana dulu keputusan Muawiyah menuai petaka bagi Bani Umayyah dan kaum Muslimin, keputusan kali ini memuluskan jalan bagi sejarah untuk menghapus dinasti Umayyah dari garis zaman. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (20); Bergesernya Motif Pemberontakan Rakyat

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (18): Umar bin Abdul Aziz Khulafah Rasyidin Kelima

Catatan kaki:

[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 213

[2] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid, Translated by David Stephan Powers, State University of New York Press, 1990, hal.

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 214

[4] Ibid, hal. 215

[5] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXIV., Op Cit, hal. 194-196

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*