Dinasti Umayyah (18): Umar bin Abdul Aziz Khulafah Rasyidin Kelima

in Sejarah

Last updated on March 20th, 2018 05:39 am

Dari seluruh deretan daftar khalifah bani Umayyah, Umar seperti jenis yang berbeda. Ia telah berhasil memberikan secercah harapan bahwa keadilan masih mungkin untuk ditegakkan di dunia Islam.

 —Ο—

 

Kaum Muslimin hampir semua sepakat bahwa yang disebut sebagai Khulafah Rasyidin ada empat. Mereka adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Inilah pemimpin kaum Muslimin yang dianggap adil dan bijaksana. Tapi ada satu nama yang derajat keadilan dan kebijaksanaannya dianggap menyamai para pendahulunya, sehingga kerap dianggap sebagai Khulafah Rasyidin kelima, dialah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah yang ke delapan.

Ia didulat menjadi khalifah pada bulan bulan Safar 99 H, di Dabiq, salah satu tempat di Suriah. Ketika mendengar ternyata namanya yang muncul dalam surat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, ia langsung menangis dan terpaku di tempat duduknya, sambil mengucapkan “innalillahi..”. Mengetahui bahwa sejak lama Umar memang menolak jabatan tersebut, Raja’ bin Haywah yang membacakan wasiat tersebut bergegas mendatangi Umar dan menggangkat tangannya untuk dibai’at, kemudian Raja’ menarik paksa Umar ke atas mimbar. Surat wasiat Sulaiman demikian mengikat. Yang menolaknya berarti mati. Hisham bin Abdul Malik – ketika mendengar nama Umar yang muncul – berkata, bahwa ia tidak akan mematuhi Umar sebagai khalifah. Mendengar ini, Raja’ langsung menjawab, “kalau begitu, aku akan memenggal leher mu!”. Dan Hisham langsung terdiam. Ketika berada di atas mimbar, Umar meminta Hisham sebagai orang yang pertama kali membai’atnya, dan Hisham pun datang membai’atnya, kemudian diikuti oleh seluruh yang hadir.[1]

Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan Bin Hakam bin Abul Ash bin Umayyah. Ibunya adalah cicit dari Umar bin Khattab, khulafah rasyidin kedua. Kisah tentang nasab Umar bin Abdul Aziz dari pihak ibunya sangat terkenal di kalangan kaum Muslimin.

Alkisah, pada suatu malam, Umar bin Khattab sedang melakukan inspeksi di sekitar wilayah kekuasaannya. Kemudian di sebuah rumah seorang penjual susu yang miskin ia mendengar sebuah dialog antara ibu dan anak perempuannya. Kata sang ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”. Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”. Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”. Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.[2]

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini seorang pemimpin hebat yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”. Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang akhirnya melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.[3]

Terkait tempat kelahirannya, ada yang mengatakan di Mesir (ketika ayahnya menjabat sebagai gubernur), ada juga yang mengatakan di Madinah. Tapi semua sepakat bahwa Umar tumbuh besar di Madinah. Berbeda dengan banyak khalifah dinasti Umayyah lainnya, Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang tumbuh dibawah asuhan ilmu. Ia bertemu dengan beberapa tokoh dari golongan para tabi’in yang masih hidup dan belajar langsung dari mereka. Tidak hanya dikenal sebagai ahli dalam berbagai macam pengetahuan agama, Umar juga terkenal akan keshalehannya. Dari seluruh deretan daftar khalifah bani Umayyah, Umar memang jenis berbeda. Sehingga pada saat ini menduduki tahta, semua orang seperti terkesima dengan apa yang terjadi.

Segera setelah dinobatkan sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung melepaskan semua pakaian-pakaian mahalnya, dan menggantinya dengan pakaian murah. Kepada istrinya ia memerintahkan untuk melepaskan semua perhiasannya dan meletakkan di baitul mal. Ketika Umar selesai memimpin upacara pemakaman Sulaiman bin Abdul Malik, anak buahnya langsung bergegas mempersilakan dirinya menggunakan kereta kencana yang merupakan kendaraan resmi khalifah. Tapi Umar menolaknya, dan memilih menunggangi keledai miliknya. Dan ketika anak buahnya memintanya untuk menempati istana Damaskus, ia menolak, “di sana masih ada Ayyub bin Sulaiman dan keluarganya. Aku tidak akan menempatinya selama mereka masih ada di sana”. Umar pun memilih tinggal di tendanya.

Kemudian berita tentang kematian Sulaiman pun menyebar ke seluruh kawasan. Abdul Aziz bin Al Walid – sosok yang sedianya digadang-gadang menggantikan Al Walid, tapi rencana tersebut gagal dan Sulaiman akhirnya naik tahta – begitu mendengar berita wafatnya Sulaiman langsung bergegas menuju Damaskus. Dia tidak mengetahui bahwa Umar bin Abdul Aziz yang ternyata naik menggantikan Sulaiman menjadi khalifah. Ia datang bersama pasukannya. Di Damaskus ia diterima oleh Umar dengan tangan terbuka. Umar lalu berkata padanya, bahwa ia tidak menginginkan kekuasaan ini. Kalau Abdul Aziz ingin mengambilnya, maka ia tidak akan menghalangi jalannya.  Umar lebih memilih menghindar, dan pulang ke rumahnya. Tapi mendengar penyataan Umar ini, Abdul Aziz malah berkata, “Tidak ada orang selain mu yang aku harapkan mengisi kekuasaan ini.”[4]

Seperti terjadi revolusi, begitu Umar menjabat, semua kebijakan dari pusat kekuasaan Dinasti Umayyah berubah dan berbanding terbalik dengan sebelumnya. Beberapa gubernur yang dianggapnya curang atau korup segera ia berhentikan. Termasuk apabila kecurangan itu terjadi pada kelompok non-Muslim, seperti yang terjadi di beberapa kawasan di Eropa. Umar merombak banyak hal, termasuk permusuhan bani Umayyah terhadap Ahl Bait Rasulullah Saw. Salah satu contohnya adalah tradisi bani Umayyah yang mengharuskan para khotib mencaci maki Ali bin Abi Thalib ketika khotbah Shalat Jumat, Umar melarang kebiasaan buruk tersebut.[5] Dan Tanah Fadak yang semula di eksploitasi oleh bani Umayyah dikembalikan kepada bani Hasyim sebagai hak atas Sayidah Fatimah binti Rasulullah SAW.[6]

Rangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh Umar ini secara perlahan membuat gerah berbagai kelompok di kalangan bani Umayyah. Puncaknya adalah ketika Umar mencabut semua hak istimewa bani Umayyah atas masyarakat lainnya. Harta-harta yang mereka kumpulkan selama ini dengan cara yang bathil dirampas dan dikembalikan ke baitul mal. Demikian juga dengan tanah dan jabatan yang mereka miliki. Semua diatur ulang secara proporsional. Hal ini menuai protes dari banyak kalangan keluarga Umayyah yang selama bertahun-tahun mengenyam kemewahan sebagai ningrat kelas wahid di kalangan kaum Muslimin. Hingga akhirnya kesabaran mereka habis, dan mereka berkonspirasi untuk membunuh Khulafah Rasyidin kelima ini.[7]

Membunuh Umar bin Abdul Aziz sebenarnya bukan perkara yang sulit. Ia tidak memiliki sistem pengawalan yang ketat. Ia berjalan-jalan sendiri di pasar dan di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada satu mekanisme pengamanan khusus saat ia makan dan minum. Tapi pembunuhan ini harus terlaksana dengan mulus, tanpa melahirkan kegaduhan di tengah masyarakat. Akhirnya mereka milih metode membunuh Umar dengan cara diracun. Mereka memanggil budak Umar yang bernama Alas, dan berhasil mempengaruhinya untuk menaruh racun pada makanan Umar. Rencana itupun berhasil.

Ketika Umar menyadari bahwa dirinya sudah diberi racun oleh budaknya sendiri, Umar memanggil budaknya, dan berkata, “Alas, kau sudah meracuniku. Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?”, Alas menjawab, “mereka menghadiahi ku 1000 dinar dan menjanjikan kebebasan pada ku.” Lalu Umar memerintahkan agar uang tersebut dibawa kepadanya. Dan setelah Alas menyerahkan uang tersebut, Umar memerintahkan agar uang tersebut dimasukkan dalam baitul mal, kemudian dia memerintahkan agar Alas segera pergi sebagai orang yang merdeka.[8]

Umar bin Abdul Aziz akhirnya wafat pada 25 Rajab 101 H, setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan. Meski sebentar, tapi ia telah berhasil memberikan secercah harapan bahwa keadilan masih mungkin untuk ditegakkan di dunia Islam. Malang bagi Dinasti Umayyah, langkah-langkah progresif dan positif yang sudah dirintis oleh Umar bin Abdul Aziz tidak dilanjutkan. Sebaliknya, semua peninggalannya langsung berubah seketika setelah ia wafat dan Yazid bin Abdul Malik naik tahta. Sejarah mencatat, sejak itu Dinasti Umayyah mulai menghitung mundur saat-saat kepunahannya. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (19): Merancang Jalan Kehancuran

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (17): Karakter Sulaiman dan Wasiat Sang Khalifah

Catatan kaki:

[1] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid, Translated by David Stephan Powers, State University of New York Press, 1990, hal. 72-73

[2] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Abdul-Aziz, diakses 14 Maret 2018

[3] Ibid

[4]  Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXIV., Op Cit, hal. 74

[5] [5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 198

[6] Tanah Fadak adalah tanah milik Rasulullah Saw yang beliau berikan kepada Syaidah Fatimah Az Zahra. Tanah ini kemudian dikelolan, dan berdasarkan perintah Nabi Saw, hasilnya diberikan kepada kaum yang membutuhkan dari kalangan Bani Hasyim dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Ketika masa Dinasti Umayyah, tanah ini diambil oleh Marwan bin Hakam, dan Bani Hasyim tidak lagi mendapatkan bagiannya. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pengaturan atas tanah ini dikembalikan sebagaimana semula.

[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 209

[8] Ibid, hal. 210

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*