Dinasti Umayyah (17): Karakter Sulaiman dan Wasiat Sang Khalifah

in Sejarah

Last updated on March 15th, 2018 06:10 am

Sulaiman bin Abdul Malik dijuluki sebagai ‘kunci kebaikan”. Alasannya karena ia berhasil mewariskan tahta khalifah pada orang yang tepat, yaitu Umar bin Abdul Aziz.

—Ο—

 

Sebagaimana layaknya sebuah peristiwa, sejarah menyajikan banyak perspektif. Dalam konteks Sulaiman bin Abdul Malik, setidaknya tersaji dua perspektif yang bisa dikatakan saling bertentangan terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Sulaiman.

Perspektif pertama menilai, bahwa kebijakan Sulaiman yang mengganti hampir semua gubernur yang sebelumnya setia pada Al Walid adalah awal mula kemunduran Dinasti Umayyah. Bagaimanapun, para gubernur ini adalah orang-orang yang sukses meluaskan wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah, dan memberikan kontribusi materiil yang besar selama masa pemerintahan Al Walid yang disebut sebagai puncak masa keemasan Dinasti Umayyah. Ditambah lagi, pada periode ini, Sulaiman mengeluarkan kebijakan untuk melepaskan semua tahanan politik di Irak dan Iran yang umumnya adalah para pendukung Ahl Bait Rasulullah Saw.

Pada masa pemerintahan Hajjaj bin Yusuf mereka di ringkus dan diperlakukan tidak adil hanya karena kekhawatiran bahwa mereka akan memberontak pada Dinasti Umayyah. Sebagian masyarakat Irak dan Iran yang berhasil meloloskan diri, mendapat perlindungan dari Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Tapi atas usulan dari Hajjaj, Umar bin Abdul Aziz dipecat dari posisinya karena berlaku lemah pada musuh-musuh bani Umayyah.[1] Pada masa pemerintahan Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz justru dijadikan tangan kanannya dan penasehat utama Sulaiman. Hal-hal inilah yang oleh sebagian perspektif dianggap titik kelemahan Sulaiman bin Abdul Malik, dan dianggap sebagai titik balik yang menandai awal kemunduran Dinasti Umayyah.

Tapi berbanding terbalik dengan perspektif pertama, perspektif kedua justru menganggap “Sulaiman sebagai kunci kebaikan”.[2] Alasannya adalah fakta sejarah yang sama dengan sebelumnya, Sulaiman membebaskan para tahanan politik dan memperlakukan mereka dengan baik, serta mengangkat Umar bin Abdul Aziz – seorang negarawan yang sholeh – sebagai penasehat utamanya. Beberapa sosok pengganti para gubernur Al Walid juga merupakan orang-orang yang lebih akomodatif dengan aspirasi masyarakat, salah satunya adalah Wakki At-Tamimi – yang sebelumnya membunuh Qutaibah – keterpilihannya memang diingini oleh masyarakat di Khurasan.

Sejumlah kebijakan ini sempat membalikkan persepsi masyarakat tentang tabiat Dinasti Umayyah yang sebelumnya rusak, menjadi mulai diterima di berbagai kawasan. Dalam hal peribadatan, para pejabat di lingkungan Dinasti Umayyah dikenal sebagai orang-orang yang suka mengakhirkan sholat. Tapi oleh Sulaiman itu semua dibalik, ia menetapkan kebijakan untuk mengerjakan sholat di awal waktu – yang memang sudah seharusnya seperti itu.[3] Tapi dari semua penilaian para sejawanan tentang Sulaiman bin Abdul Malik, semua sependapat bahwa keputusannya untuk mewariskan kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah keputusan yang tepat. Ini juga yang menjadikan ia dianggap sebagai “kunci kebaikan”.

Dikisahkan oleh Tabari, bahwa ketika menjelang wafatnya Sulaiman sempat mempertimbangkan untuk mengangkat putranya yang masih kecil sebagai khalifah untuk menggantikannya. Ia bertanya tentang perkara ini pada penasehatnya bernama Raja’ bin Haywah, dan Raja’ tidak sependapat dengan usulan tersebut. Kemudian Sulaiman bertanya lagi, “bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?” – putranya yang saat itu sedang mengemban misi melakukan ekspedisi militer ke Kontantinopel. Raja’ juga tidak sepakat, karena tidak ada yang tahu nasibnya, apakah ketika itu Dawud masih hidup ataukah sudah mati.[4]

Akhirnya Sulaiman meminta pendapat Raja’ tentang Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Raja’ mengatakan bahwa Umar adalah sosok yang sangat tepat. Tapi Sulaiman sempat ragu, karena Umar bukan berasal dari keturunan Abdul Malik. Dikhawatirkan keputusan tersebut akan menuai protes dari keluarga Abdul Malik, mengingat saat itu masih ada putra Abdul Malik lainnya, yaitu Hisham bin Abdul Malik dan Yazid bin Abdul Malik. Kedua-duanya sedang harap-harap cemas menunggu giliran menduduki kursi khalifah dinasti Umayyah.

Akhirnya Sulaiman membuat trik yang cukup terkenal dalam sejarah. Ia menulis dua buah nama yang ditulis masing-masing dalam amplop yang tertutup rapat. Di hadapan keluarga besar Bani Umayyah ia menyerahkan surat tersebut pada Raja’ bin Haywah. Ia mengatakan bahwa di dalam amplop tersebut terdapat nama-nama orang yang akan menjadi khalifah menggantikannya. Ia meminta sumpah dari mereka semua untuk mematuhi nama siapapun yang keluar dari amplop tersebut. Menentang perintah ini bisa diartikan sebagai penghianatan, dan itu berarti kematian bagi pelakukanya. Akhirnya semua mematuhi dan mengaku setia pada semua keputusan yang sudah ditetapkan oleh khalifah Sulaiman.

Namun menurut pengakuan Raja’, tak lama berselang datanglah Hisham bin Abdul Malik kepadanya dan berkata, “tolong beritahuan padaku isi surat tersebut, aku khawatir khalifah memasukkan namaku di dalamnya. Sehingga aku bisa membuat perencanaan matang sebelumnya”. Tapi Raja’ menjawab bahwa ia tidak mengetahui apapun tentang isi surat tersebut, dan ia tidak berani membukanya. Setelah itu Hisham berlalu. Kemudian datanglah Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, “izinkan aku mengetahui isi surat tersebut, aku khawatir namaku ada di dalamnya, biar aku bisa mengelak dari keputasan tersebut sebelum terlambat.” Tapi jawaban Raja’ sama dengan jawabannya pada Hisham. Dan Umarpun berlalu. Keduanya, baik Hisham maupun Umar ingin mengetahui isi surat tersebut, tapi dengan dua motif yang berbeda. Yang satu berharap menjadi khalifah, sedang yang satunya ingin menghindar dari tanggungjawab tersebut.[5]

Pada hari Jumat, bulan Safar 99 H, Sulaiman bin Abdul Malik wafat. Tepat seminggu sebelumnya ia sibuk memilih-milih pakaian. Berbagai jenis jubah ia kenakan namun tak ada yang memuaskan hatinya. Hingga ia melihat sebuah jubah hijau yang dikirimkan oleh Yazid bin Muhallab dari Irak, dan mengenakannya. Ia begitu senang setelah mengenakannya. Ketika itu ia segera menghadap ke cermin dan mulai mengagumi dirinya dengan berkata, “Demi Tuhan, aku adalah raja di puncak kejantannya”. Setelah itu ia melaksanakan sholat jumat. Sepulangnya dari sholat, ia langsung jatuh sakit, dan seminggu kemudian meninggal dunia.[6]

Ketika menjelang wafat, ia hanya didamping oleh Raja’ bin Haywah. Raja’ menuntunnya mengucapkan dua kalimah syahadat, kemudian menyelimutinya dengan jubah hijau kesayangannya. Raja masih merahasiakan tentang berita kematian Sulaiman pada semua orang, termasuk istri khalifah, sampai ia mengumpulkan semua keluarga besar bani Umayyah. Setelah semua berkumpul, dia lalu meminta sumpah sekali lagi dari semua yang hadir agar mematuhi nama siapapun yang keluar dari surat wasiat khalifah. Sebagian ada yang menolak, namun Raja’ tetap bersikeras agar semua yang hadir mengucapkan kembali sumpah setia mereka, dan akhirnya semua kembali bersumpah setia.

Setelah yakin dengan sumpah yang mereka ucapkan, Raja’ mulai mengabarkan, bahwa saat ini khalifah Sulaiman sudah wafat, dan ia mulai membacakan isi surat wasiat Sulaiman,

Dengan nama Allah  yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Ini adalah surat dari hamba Allah, Sulaiman pemimpin kaum Muslimin, kepada Umar bin Abdul Aziz. Aku sudah menunjuk anda sebagai penggantiku untuk menjadi khalifah, dan anda akan digantikan oleh Yazid bin Abdul Malik. Wahai manusia, dengarkanlah dia dan patuhilah; takutlah pada Allah dan hindari perselisihan, agar musuh tidak mengambil keuntungan dari kalian.[7]

Mendengar ini, secara bersamaan Umar bin Abdul Aziz dan Hisham bin Abdul Malik mengucapkan, “Innalillahi wa innailaihi rajiun”. Satu ucapan yang sama, tapi dengan dua alasan yang berbeda. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (18): Umar bin Abdul Aziz Khulafah Rasyidin Kelima

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (16): Sulaiman bin Abdul Malik Memecat Para Gubernur Al Walid

Catatan kaki:

[1] Sebagaimana sudah kita kisahkan pada edisi sebelumnya (edisi ke-15), mereka yang berhasil lolos dari Irak dan Iran datang memohon perlindungan pada Umar bin Abdul Aziz. Dan mereka diperlakukan baik oleh Umar. Setelah mendengar apa yang dilakukan Hajjaj bin Yusuf pada mereka, Umar melaporkan kezhaliman Hajjaj  pada Al Walid. Tapi laporannya bocor dan diketahui oleh Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj mengirim surat tandingan pada Al Walid yang isinya mengusulkan pada Al Walid untuk memecat Sulaiman karena sudah bersikap lemah pada musuh-musuh bani Umayyah.  Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-umayyah-15-dinamika-politik-di-masa-al-walid-bin-abdul-malik/,

[2] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid, Translated by David Stephan Powers, State University of New York Press, 1990, hal. 62

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 192

[4] Lihat, The History of al-Tabari, Op Cit, hal. 70

[5] Ibid, hal. 72

[6] Ibid, hal. 70

[7] Ibid, hal. 71

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*