Dinasti Umayyah (15): Dinamika Politik di Masa Al Walid bin Abdul Malik

in Sejarah

Last updated on March 13th, 2018 07:42 am

Meski di era keemasan, dinamika politik di masa Al Walid tidak kalah pelik. Di tengah kemajuan yang sedang berlangsung, intrik politik tetap mewarnai bongkar pasang gubernur dan suksesi khalifah selanjutnya.

—Ο—

 

Hampir semua sejarawan sepakat, bahwa pemerintahan Al Walid adalah puncak masa keemasan dinasti Umayyah. Di masa ini berbagai ekspedisi militer ke segala penjuru berhasil dengan gemilang. Pada periode inilah untuk pertama kalinya dunia mengenal bangsa Arab sebagai sebuah elit kekaisaran di muka bumi. Nama kekaisaran ini bergema mulai dari China di timur hingga ke tepian samudera Atlantik di barat. Berton-ton upeti berdatangan ke Damaskus, dan pembangunan pun di mulai. Masjid-masjid renovasi dan didirikan, jalan-jalan diperbaiki, jalur-jalur pelayaran di Mediterania aman terkendali, dan taraf hidup masyarakat pun, khususnya di Damaskus, meningkat.

Sebagaimana sudah diurai pada edisi sebelumnya, kesuksesan Al Walid ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan para gubernur dan bawahannya yang cemerlang. Di wilayah Timur ada Hajjaj bin Yusuf, di Barat ada Musa bin Nusayr, dan di jantung kehidupan Islam, atau wilayah Hijaz, ada Umar bin Abdul Aziz. Berbeda dengan kolega-koleganya sesama gubernur yang lebih menonjolkan prestasinya melalui serangkain penaklukkan, Umar lebih mengedepankan soft power politic. Sebagai sosok yang diamanahi mengelola tanah suci, Umar menghadapi tantangan yang tak kalah pelik. Ia harus berhadapan dengan serangkain luka politik dari masa lalu, hasil konflik antar para sahabat utama. Dan sebagian besar atau mungkin semua rentetan luka itu, disebabkan oleh para pendahulu Umar sendiri. Tapi sebagaimana yang diceritakan oleh Tabari, bahwa Umar bisa dikatakan berhasil membangun rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok yang bertikai kala itu.

Umar bin Abdul Aziz adalah sepupu dari Al Walid. Ayahnya adalah Abdul Aziz, adik dari Abdul Malik bin Marwan. Seyogyanya, pengganti Abdul Malik adalah Abdul Aziz. Tapi karena Abdul Aziz keburu wafat, maka kedudukan tersebut diwariskan pada Al Walid. Umar bin Abdul Azizi terkenal sebagai bangsawan yang shaleh. Ia menjabat sebagai gubernur Madinah pada tahun 87 H, atau setahun setelah Al Walid dinobatkan sebagai khalifah. Ketika itu usianya 25 tahun.[1]

Ia datang bersama caravan yang berisi 30 unta, dan berhenti di Dar Marwan. Ketika mendengar penduduk Madinah mendengar kedatangannya, mereka langsung berdatangan  menyambutnya. Kemudian ia memanggil 10 orang berpengaruh untuk menduduki posisi sebagai dewan syuro di Madinah. Kesepuluh orang tersebut antara lain; ‘Urwah bin al-Zubayr, ‘Ubaydallah bin ‘Abdallah bin ‘Utbah, Abu Bakr bin ‘Abd al-Rahman, Abu Bakr bin Sulayman bin Abi Hathmah, Sulayman bin Yasar, al-Qasim bin Muhammad, Salim bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Amin bin Rabi’ah, and Kharijah bin Zayd.[2]

Maka hadirlah kesepuluh orang tersebut di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar mempersilahkan mereka duduk, ia lalu berpidato, setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, ia berkata, ”aku memanggil kalian untuk sesuatu yang kalian akan mendapatkan perhargaan atasnya, yaitu kalian akan membantu untuk memutuskan apa yang benar. Aku tidak akan membuat satupun keputusan tanpa meminta pendapat kalian, atau setidaknya pendapat tersebut yang akan digunakan. Apabila kalian melihat ada yang melampaui batas, atau melihat sebuah ketidakadilan dalam pemerintahan ku yang sampai pada kalian, aku mohon kalian melaporkannya kepadaku.” Mendengar ini mereka menjawab, “semoga Allah memberimu kebaikan”, dan mereka semua bubar.[3]

Penduduk Madinah merasakan perbedaan yang positif sejak dipimpin oleh Umar. Mereka mengirimkan surat kepada Al Walid yang isinya ucapan teriman kasih karena Al Walid sudah menunjukkan Umar menjadi gubernur di Madinah. Sejak dipimpin oleh Umar, Madinah menjadi tempat yang layak dikunjungi. Ia merenovasi Masjid Nabawi dan memuliakan ummul mukminin dengan merenovasi juga rumah-rumah mereka. Dan salah satu yang cukup monumental, adalah perlakukannya kepada kelompok Syiah, atau pengikut Ali bin Abi Thalib. Selama turun temurun, para pemimpin dinasti Umayyah memperlakukan kelompok Syiah sangat diskriminatif. Baru di bawah kepemimpinan Umar lah kelompok ini diperlakukan secara baik dan tanpa deskriminatif. Tapi sayangnya, karena sikapnya yang seperti ini, usia jabatannya hanya berlangsung 4 tahun, setelah itu kedudukkan di copot oleh Al Walid.

Cerita tentang mencopotan kedudukan Umar sebagai gubernur Madinah ini bermula ketika begitu banyak kelompok Syiah dari Irak datang mengungsi ke kota Madinah. Di Irak, mereka diperlakukan dengan keras oleh Hajjaj bin Yusuf. Maka ketika mendengar munculnya seorang gubernur yang adil di Madinah mereka memohon perlindungan ke sana. Mendengar keluhan mereka, Umar bin Abdul Aziz akhirnya menulis surat kepada Al Walid. Ia menginformasikan semua perbuatan Hajjaj kepada kelompok ini. Tapi isi surat itu bocor dan diketahui oleh Hajjaj bin Yusuf. Iapun akhirnya menulis surat yang sejenis kepada Al Walid. Ia mengatakan dalam suratnya bahwa, perlakukan kerasnya kepada kelompok Syiah tersebut semata-mata untuk mengamankan posisi dan legitimasi dinasti Umayyah. Justru sebaliknya, Hajjaj berbalik mengecam sikap Umar yang dinilainya terlalu lunak kepada kelompok tersebut. Sikap Umar tersebut menurut Hajjaj bisa melemahkan posisi dinasti Umayyah.

Dalam hal ini, Umar bin Abdul Aziz memang salah langkah. Bagaimanapun, Hajjaj bin Yusuf memang memiliki posisi tersendiri bagi Al Walid. Ia tidak bisa menegasikan peran sentral Hajjaj dalam mengokohkan pondasi kekuasaan dinasti Umayyah. Maka setelah membaca surat dari Hajjaj, Al Walid membalas surat tersebut dengan berkata, “ajukan aku beberapa nama”, kemudian Hajjaj mengajukan dua nama, ‘Uthman bin Hayyan dan Khalid bin ‘Abdullah. Setelah mendapatkan rekomendasi nama dari Hajjaj, maka Umar pun langsung di copot. Al walid kemudian menunjukkan ‘Uthman bin Hayyan sebagai gubernur Mekkah, dan Khalid bin ‘Abdullah menjadi gubernur Madinah.

Tapi bagaimanapun kuatnya, Hajjaj bin Yusuf hanya seorang abdi. Dalam skema perebutan kekuasan Khalifah, ia tidak berdaya. Sebagaimana sudah diamanatkan oleh Abdul Malik, bahwa khalifah pengganti Al Walid adalah Sulaiman bin Abdul Malik. Hubungan Sulaiman dengan Hajjaj tidaklah baik. Maka ketika Hajjaj mendengar kabar bahwa Al Walid menderita sakit, ia langsung berdoa agar ia lebih baik diwafatkan sebelum Sulaiman naik tahta.[4] Dan doanya terkabul. Dia wafat hanya beberapa bulan sebelum Sulaiman naik tahta.

Terkait dengan naiknya Sulaiman bin Abdul Malik, sebagaimana juga yang terjadi pada masa Abdul Malik dan Abdul Aziz, Al Walid juga sebenarnya sempat berusaha menggeser posisi Sulaiman dari posisi putra mahkota dan menggantinya dengan Abdul Aziz bin Al Walid, putra tertuanya. Beberapa upaya sudah dilakukan oleh Al Walid, tapi Sulaiman adalah orang yang cerdik. Ia selalu bisa menghindar sebelum ia tidak mampu menolak. Sebelum wafat, Al Walid berencana memanggil Sulaiman ke Damaskus, untuk kemudian mencopot kedudukannya sebagai putra mahkota setelahnya. Ketika dipanggil oleh Al Walid, Sulaiman sengaja menunda-nunda waktu, dan akhirnya ikhtiarnya tercapai. Al Walid wafat pada tahun 96 H, sebelum Sulaiman sempat menghadapnya. Maka naiklah Sulaiman bin Abdul Malik menjadi Khalifah setelah Al Walid.[5] Sebagaimana yang dikatakan oleh Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikelnya terkait kisah ini, “Kekuasaan memang meninabobokan, bahkan sesama saudara pun berebutan bila sudah bicara soal kekuasaan. Begitulah yang terjadi dalam buku-buku sejarah.”[6] (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (16): Sulaiman bin Abdul Malik Memecat Para Gubernur Al Walid

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (14): Era Keemasan

Catatan kaki:

[1] Menurut riwayat Waqidi yang dikutip Tabari, Umar bin Abdul Aziz lahir pada tahun 62 H atau bertepatan dengan tahun 681/682M. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXIII., The Zenith of the Marwanid House, Translated by Martin Hinds, State University of New York Press, 1990, hal. 132

[2] Ibid, hal. 133

[3] Ibid

[4] Ibid, hal. 220

[5] Ibid, hal. 222-223

[6] Lihat, https://geotimes.co.id/kolom/politik/kekuasaan-itu-meninabobokan-tentang-khalifah-abdul-malik-dan-al-walid/, diakses 7 Maret 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*