“Bila pada masa-masa sebelumnya pemberontaka lahir dari motif politik untuk merebut kekuasaan. Tapi kali ini, pemberontakan yang berlangsung adalah ekspresi dan sistem pertahanan diri melawan kolonialisme dan penindasan.”
—Ο—
Namanya Abu Walid Hisham bin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam. Ia lahir pada tahun 72 H, diangkat sebagai khalifah ke sepuluh Bani Umayyah pada tahun 105 H. Ia naik tahta menggantikan saudara tirinya, Yazid bin Abdul Malik yang wafat karena dirundung patah hati. Hisham merupakan salah satu penguasa Bani Umayyah yang sanggup bertahan cukup lama, hingga mencapai hampir 20 tahun.
Sebagaimana banyak jenis kekuasaan lainnya, Kekhalifahan Hisham pun bisa dinilai dari banyak perspektif. Satu sisi, ada yang mengganggap bahwa masa pemerintahan Hisyam adalah salah satu puncak masa keemasan Dinasti Umayyah. Hal ini ditandai dengan serangkaian kemenangan yang dihasilkannya menghadapi serangkaian pemberontakan yang terjadi dan berhasilnya serangkaian ekspedisi militer. Tapi di sisi lain, munculnya banyak pemberontakan itu sendiri merupakan sebuah indikator yang menjelaskan bahwa pemerintahannya sedang memeram bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.
Berbeda dengan saudaranya, Hisham bin Abdul Malik sebenarnya tidak haus darah. Tapi ia mewarisi setumpuk persoalan dari Yazid II. Hingga mau tak kaum iapun harus meladeni sejumlah pertempuran di berbagai front. Sebagaian pendapat menyatakan bahwa Hisyam sebenarnya mencoba untuk bersikap moderat dan tidak memancing kegaduhan. Ia berusaha mengembalikan suasana keadilan di masa Umar bin Abdul Aziz. Tapi bagaimanapun, Hisham bukanlah Umar. Contoh paling sederhana, Umar secara tegas melarang para Khotib mencaci maki Ali bin Abi Thalib ketika khotbah Jumat. Tapi Hisham tidak mampu melarang kaumnya, ia hanya mampu sebatas menahan dirinya untuk tidak mencaci Ali saja. Dan salah satu hal yang membuat Hisyam demikian lemah dibanding Umar bin Abdul Aziz, ia tidak mampu melepaskan diri dari belenggu keluarga Umayyah. Bahkan di masa Hisham, nepotisme berlangsung demikian massif.
Dalam History of Tabari Vol. XXV, dijelaskan pada periode Hisham pemberontakan satu persatu muncul. Gejala umum yang terjadi dari serangkaian pemberontakan tersebut adalah menguatnya paham kesukuan di kalangan masyarakat yang dikuasai, dan mengerasnya fregmentasi politik antara Arab dan non-Arab. Anehnya, Bani Umayyah seolah tidak menyadari bahwa sumber dari segala sumber masalah yang mereka hadapi adalah diri mereka sendiri. Bertahun-tahun Hisham dan keluarga Umayyah berusaha mengembalikan situasi yang berlangsung di zaman Umar bin Abdul Aziz, tapi selama durasi itu pula ia disibukkan dengan masalah pemberontakan di berbagai kawasan di seluruh wilayah. Padahal situasi tersebut lahir sebagai respon atas maraknya praktek nepotisme dalam tubuh Dinasti Umayyah di era Hisham bin Abdul Malik. Wilayah-wilayah yang jauh diperlakukan seperti koloni, dan masyarakat non-Arab diperlakukan berbeda status politiknya.[1]
Nadirsyah Hosen, dalam salah satu artikelnya tentang khalifah ke sepuluh Bani Umayyah ini mengisahkan bagaimana Hisham tanpa pertimbangan objektif sedikitpun mengangkat pamannya dari pihak ibu yang bernama Ibrahim bin Hisyam bin Ismail sebagai gubernur di Madinah dan memilihnya sebagai Amirul Hajj (pemimpin jamaah haji). Sosok pilihan Hisham ini menurut Nadirsyah sangat tidak kompeten, bahkan kebodohannya dalam hal agama dipertontonkan di hadapan jamaah haji yang datang dari berbagai negeri. Yang lebih parahnya, ia menyandarkan kredibilitas kata-katanya dari nasabnya, yang ketika diurai secara rinci oleh Nasidrsyah, ternyata berasal dari sosok yang oleh Al-Quran divonis sebagai penghuni neraka Saqar.[2]
Pada musim haji tahun 109 H, Ibrahim bin Hisham berpidato di depan khalayak dengan membanggakan nasabnya, “Tanyalah apa saja kepadaku, aku akan bisa menjawabnya karena aku lebih tahu dari kalian. Akulah keturunan seorang yang tersendiri dan sangat unik (al-wahid).” Maksudnya adalah sosok yang Allah SWT ciptakan sediri sebagaimana yang disebut dalam Al Quran, Surat al-Mudatssir ayat 11, “Biarlah Aku bertindak terhadap orang yang aku ciptakan sendiri (wahidan)”.[3] Menurut Imam al-Qurtubi, Imam Suyuthi, dan Imam Ibn Katsir rangkaian ayat 11-26 Surat al-Mudatssir ditujukan kepada al-Walid bin al-Mughirah, yang tidak lain adalah kakek dari Ibrahim bin Hisham. Ia adalah salah satu tokoh Quraisy yang sangat memusuhi dakwah Rasulullah Saw. Dan di Ayat 26 Surat al-Mudatssir, Allah SWT tegas mengatakan “Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam (neraka) Saqar.”[4]
Sebagai respon dari praktek nepotisme yang kronis di tubuh Dinasti Umayyah adalah lahirnya sejumlah pemberontakan di berbagai wilayah, mulai dari India, Asia Tengah, Persia, hingga Eropa dan Afrika Utara. Tahta khalifah pada masa Hisham bin Abdul Malik seperti dikepung dari segala penjuru. Tapi harus diakui, bahwa Hisham memang tangguh. Beberapa pemberontakan yang terjadi seperti di India, Spanyol dan Afrika Utara bisa dipadamkan oleh angkatan perang Hisham. Tapi yang khas dari tipologi pemberontakan yang dihadapi pada era Hisham, adalah motifnya.
Bila pada masa-masa sebelumnya pemberontaka lahir sebagai ekspresi politik untuk merebut kekuasaan. Tapi kali ini, pemberontakan yang berlangsung adalah ekspresi dan sistem pertahanan diri melawan kolonialisme dan penindasan. Contoh yang kasat masa adalah pemberontakan suku Barber di Afrika Utara. Pemberontakan ini membawa isu kesukuan Barber dan berhasil menghimpun perlawanan yang cukup merepotkan pasukan Dinasti Umayyah. Meski akhirnya pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan korban yang tak terhitung.
Motif lainnya, yaitu sentiment Arab dan Non Arab yang terus mengeras. Ketidakadilan terhadap non Arab memang sudah berlangsung sangat lama, bahkan sejak masa Muawiyah bin Abi Sufyan. Tapi kali ini, isu tersebut semakin mengental, dan berujung pada pemberontakan. Dua motif ini terbilang baru. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh Dinasti Umayyah. Padahal dua motif inilah yang menggiring lahirnya delegitimasi masyarakat secara de facto terhadap dinasti ini selanjutnya.
Satu pemberontakan yang juga berhasil dipadamkan oleh Hisham bin Abdul Malik, adalah perlawanan yang dipimpin oleh Zaid bin Ali bin Husein yang terjadi pada tahun 122 H. Ia adalah pendiri mahzab Syiah Zaidiyah yang cukup dekat dengan Sunni, dibandingkan Syiah lainnya. Pemberontakan yang dilancarkannya bahkan didukung oleh Imam Abu Hanifah, pendiri mahzab Sunni Hanafi. Tapi pemberontakan yang dilancarkannya gagal total. Dari 15.000 orang yang berbaiat padanya, hanya sekitar 300 orang saja yang menepati janji. Zaid terbunuh, dan kepalanya dipenggal oleh prajurit Hisham dan dibawa ke Damaskus. Belum cukup sampai disitu, jasad Zaid di gantung di gerbang kota Damaskus hingga bertahun-tahun.[5] Perbuatan ini telah melahirkan simpati masyarakat yang mendalam kepada Bani Hasyim. Dengan semakin besarnya kebencian masyarakat pada Bani Umayyah, dan meluasnya simpati mereka masa Bani Hasyim – Bani Abbas, yang mendaku sebagai pembela utama hak atas Bani Hasyim, semakin mantab menyusun formasi revolusi. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXV., The End Expansion, Translated by Khalid Yahya Blankinship, State University of New York Press, 1990.
[2] Lihat, Nadirsyah Hosen, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik: Nepotisme dan Peperangan yang Tak Terhindarkan, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-hisyam-bin-abdul-malik-nepotisme-dan-peperangan-yang-tak-terhindarkan/, diakses 17 Februari 2018
[3] Terkait dengan ayat ini, Nasdirsyah Hosen menjelaskan dalam artikelnya, sebagai berikut, “Diriwayatkan dan disahihkan oleh al-Hakim, yang bersumber dari Ibnu‘Abbas. Sanad hadits ini sahih menurut syarat al-Bukhari. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim bahwa al-Walid bin al-Mughirah datang kepada Nabi. Kemudian beliau membaca al-Qur’an kepadanya sehingga ia pun tertarik. Berita ini sampai kepada Abu Jahl, sehingga dia sengaja datang kepada al-Walid sambil berkata: “Hai Paman! Sesungguhnya kaummu akan mengumpulkan harta untuk diberikan kepadamu dengan maksud agar engkau mengganggu Muhammad.”
Al-Walid berkata: “Bukankah kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku yang paling kaya di antara mereka dan paling punya banyak anak?” Selanjutnya Abu Jahl berkata: “Kalau demikian, ucapkanlah sebuah perkataan yang menunjukkan bahwa engkau ingkar dan benci kepadanya (Muhammad).”
Al-Walid berkata: “Apa yang harus aku katakan? Demi Allah tidak ada seorang pun di antara kalian yang lebih tinggi syairnya, sajaknya, ataupun kasidahnya daripada gubahanku, bahkan syair-syair jin pun tidak ada yang mengungguli aku. Demi Allah, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada yang menyerupai ucapan Muhammad sedikit pun (maksudnya ayat al-Qur’an). Demi Allah, ucapannya manis, bagus, indah, gemilang dan cemerlang. Ucapannya tinggi, tak ada yang lebih tinggi daripadanya.”
Abu Jahl berkata: “Kaummu tidak akan senang sebelum engkau menunjukkan kebencianmu kepada Muhammad.” Al-Walid berkata: “Baiklah aku akan berfikir dahulu.” Setelah berfikir dia pun berkata: “Benar, ucapan Muhammad itu hanyalah sihir yang berkesan, yang memberi pengaruh jelek kepada yang lainnya.”
Maka, turunlah ayat ini (Al-Muddatstsir: 11: “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian” sebagai ancaman kepada al-Walid bin al-Mughirah. Ayat 26 tegas mengatakan “Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam (neraka) Saqar.”
[4] Ibid
[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 230