Dinasti Umayyah (6); Meratakan Jalan untuk Yazid

in Sejarah

Last updated on March 28th, 2018 07:16 am

Ahnaf bin Qais berkata, “anda sudah tau penduduk Irak tidak menyukai anda. Mereka sudah membenci anda. Tapi mereka tidak pernah membenci Ali dan Hasan sejak mereka mencintai keduanya. Anda harus ingat bahwa anda tidak punya alasan di hadapan Allah kalau tetap menampilkan Yazid di atas Hasan dan Husein, dan anda sudah tahu siapa mereka…”

 —Ο—

 

Setelah menyempurnakan niatnya, pada tahun 50 H, Muawiyah mulai melancarkan manuver politik ke segala penjuru. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mencetuskan rencana ini ke ruang publik. Ia lalu memerintahkan Dahhak bin Qais – seorang pendukung setia Muawiyah yang sudah mengabdi padanya sejak lama – untuk menyampaikan ini ke publik dengan cara yang sangat halus.

Lalu dalam satu kesempatan, setelah Muawiyah selesai pidato, Dahhak meminta izin pada Muawiyah untuk menyampaikan sesuatu hal yang menurutnya penting kepada hadirin. Setelah diizinkan oleh Muawiyah, Ia lalu memulai pidatonya dengan memuji Allah dan memohon kebaikan bagi Muawiyah. Lalu ia mulai memuji-muji Muawiyah, dan kemudian menyatakan kecemasannya, bahwa bagaimanapun, Muawiyah adalah manusia biasa. Satu saat ia akan pergi meninggal dunia, oleh karenanya sudah saatnya sekarang masyarakat memikirkan tentang penggantinya. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa hanya Yazid bin Muawiyah yang paling tepat menggantikan kedudukan ayahnya. Setelah itu pidatonya berisi puji-pujian kepada Yazid. Dan diakhiri dengan permintaan kepada hadirin untuk ikut mendukung pendapatnya.[1]

Riwayat di atas agak sedikit berbeda dengan pandangan Akbar Shah Najeebabadi. Deklarasi pertama terhadap Yazid dimulai pertama kali ketika Muawiyah memanggil semua gubernur di wilayah kekuasaannya. Menurutnya, sejak memulai pidatonya, Muawiyah sudah terlebih dahulu menyampaikan niatnya secara langsung kepada delegasi yang hadir.  Adapun Dahhak adalah orang pertama yang bangkit dan menguatkan pendapat Muawiyah. Sebagain hadirin pada awalnya ada yang ragu, namun alasan Muawiyah adalah karena kekuasaan Islam membutuhkan sosok pemimpin yang muda. Dengan alasan ini, hampir semua orang yang hadir menyetujui usul dan Muawiyah, kecuali satu orang, yaitu Ahnaf bin Qais yang berasal dari Mesir.[2]

Awalnya Ahnaf hanya diam menyaksikan satu persatu delegasi berpidato yang isinya mendukung keputusan Muawiyah. Hingga sampai orang terakhir, iapun tidak mengucapkan apa-apa. Akan tetapi, Muawiyah merasa berkepentingan meminta pendapat Ahnaf terkait masalah ini. mengingat ia adalah orang yang berpengaruh dan memiliki kedudukan yang tinggi di tengah-tengah kabilahnya. Ia berasal dari Banu Murrah (Tamim) dan sangat dibanggakan sosoknya oleh kabilahnya. Ketika ia menyatakan memeluk agama Islam, banyak dari kalangan bani Tamim kemudian masuk Islam. Pada zaman Umar, ia adalah salah satu tokoh penting dalam ekspedisi penaklukkan Persia. Demikian pula pada zaman Ali bin Abi Thalib, ia berada di pihak Ali dalam inseden Unta, meskipun pada waktu itu sebagian besar bani Tamim lebih memilih bersikap netral. Namun setelah peristiwa tersebut, Ahnaf adalah orang yang langsung menyatakan kesetiaannya kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan berada di pihak Ali pada Perang Shiffin. Ini sebabnya, dukungan dari Ahnaf bagi Muawiyah sangat penting dalam rangka meratakan jalan bagi misinya.

Karena diminta langsung oleh Muawiyah, akhirnya Ahnaf berbicara. Mulanya isi tanggapan Ahnaf positif. Tapi lama kelamaan kalimat-kalimatnya mulai membias, dan akhirnya menentang dengan terang-terangan rencana Muawiyah tersebut. Ia secara blak-blakan menyatakan bahwa keputusan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap isi perjanjian dengan Hasan bin Ali, dan kaum Muslimin jelas menolak ini.

Ia mengingatkan Muawiyah, bahwa Hasan bin Ali memiliki pendukung yang sangat setia dan akan mati-matian membela Hasan. Mereka yang ada di Hijaz dan Irak tidak akan menyetujui keputusan ini selama masih ada Hasan. Dengan sangat keras Ahnaf berkata di depan Muawiyah dan delegasi yang hadir, “anda sudah tau penduduk Irak tidak menyukai anda. Mereka sudah membenci anda. Tapi mereka tidak pernah membenci Ali dan Hasan sejak mereka mencintai keduanya. Anda harus ingat bahwa anda tidak punya alasan di hadapan Allah kalau tetap menampilkan Yazid di atas Hasan dan Husein, dan anda sudah tahu siapa mereka…”[3]

Mendengar pidato ini, Dahhak marah dengan mengatakan bahwa penduduk Irak adalah orang-orang munafik, terpecah belah, dan bodoh. Ia tetap memaksakan hadirin agar tetap pada pendirian mereka sebelumnya, yaitu mendukung pencalonan Yazid sebagai Khalifah. Muawiyah hanya diam saja mendengar perdebatan ini, dan akhirnya menghentikan pertemuan tersebut.[4]

Setelah itu, dalam tahun 50 H tersebut, Muawiyah tidak lagi menyatakan niatnya dihadapan publik. Namun secara bertahap mendekati tokoh satu ke tokoh yang lain. Dan tak lama kemudian, di Madinah tersiar kabar bahwa Hasan bin Ali wafat. Berita yang beredar, beliau diracun oleh istrinya yang bernama Ja’dah putri Asy’ad bin Qais, sosok yang sangat membenci Ali bin Abi Thalib. Kegaduhanpun terjadi. Rumor yang beredar, bahwa ini adalah pembunuhan politik, dan tersangka utamanya tidak lain adalah Muawiyah.

Dalam sejarah, begitu banyak informasi yang simpang siur terkait peristiwa ini. Banyak yang meyakini keterlibatan Muawiyah secara langsung dalam pembunuhan ini, namun tidak sedikit juga yang membantahnya. Bahkan menurut Muhammad Rida, Ibn Khaldun pun meragukan keterlibatan Muawiyah. Karena bagaimanapun tidak ada orang yang sanggup membayangkan seorang khalifah kaum Muslimin dapat melakukan perbuatan sekeji dan sepengecut ini kepada seorang yang sangat mulia seperti Hasan bin Ali. Sedang bagi yang meyakininya, memang sangat sulit untuk membantah keterlibatan Muawiyah dalam peristiwa ini. Data yang mereka sebutkan memang demikian rinci, temasuk berapa jumlah uang yang dijanjikan oleh Muawiyah, hingga kesepakatan untuk meminang Ja’dah bagi Yazid bila Hasan bin Ali terbunuh.

Tapi terlepas dari semua itu, setelah wafatnya Hasan bin Ali, jalan politik Muawiyah semakin terbuka. Abdullah bin Abbas menceritakan, bahwa ketika berita tentang wafatnya Hasan bin Ali tersiar di Damaskus, ia sedang berada di sana. Ketika ia sedang berada di dalam Masjid, tiba-tiba ia mendengar Muawiyah mengucapkan takbir yang disambut takbir pula oleh para prajuritnya. Dan orang-orang yang di dalam Masjid-pun lalu bertakbir pula. Melihat peristiwa ini, Abdullah bin Abbas lalu mendatangai Muawiyah, dan Muawiyah berkata, “Ibn Abbas, anda tahu Hasan sudah meninggal?”, Ibn Abbas balik bertanya, “untuk ini anda bertakbir?”, Muawiyah menjawab dengan girang, “Iya”. Mendengar pernyataan ini, Ibn Abbas lalu mengecam keras sikap Muawiyah tersebut.[5] (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (7): Yazid Naik Tahta sebagai Khalifah Kedua Dinasti Umayyah

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (5); Lahirnya Ide Untuk Mengangkat Yazid Sebagai Khalifah

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai kepada Hasan dan Husain, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 425

[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 42

[3] Lihat, Ali Audah, Op Cit, hal. 426

[4] Lihat, Ibid, hal. 432.

[5] Ibid, hal. 429

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*