Dinasti Umayyah (5); Lahirnya Ide Untuk Mengangkat Yazid Sebagai Khalifah

in Sejarah

Last updated on March 28th, 2018 07:10 am

Ide untuk mengangkat Yazid sebagai khalifah disadari sepenuhnya oleh Muawiyah dan pengikutnya sebagai suatu yang tidak mudah, bahkan nyaris mustahil secara politik apalagi agama. Seperti berencana mendirikan benang basah. Tapi mereka tetap memaksakan untuk melakukannya. Rangkaian rencana ini, pada ujungnya kelak akan menuai bencana besar dalam sejarah kaum Muslimin yang dampaknya tetap terasa hingga sekarang.”

 —Ο—

 

Setelah Muawiyah menerima perjanjian damai dari Hasan bin Ali, dimulailah rencana pewarisan tahta khalifah kepada putranya Yazid bin Muawiyah. Satu tindakan yang sebenarnya mencederai isi perjanjian itu sendiri. Terkait bagaimana proses pewarisan tahta tersebut, dan latar belakang yang mempengaruhinya, para sejarawan memiliki beberapa sudut pandang. Tapi yang jelas, dari semua narasi yang disampaikan para sejarawan ini, tampak sekali adanya usaha dari Muawiyah secara sistematis dan terencana untuk memastikan lancarnya suksesi ini.

Menurut Akbar Shah Najeebabadi, dalam The History Of Islam, usulan pertama untuk mengangkat Yazid sebagai khalifah setelah Muawiyah muncul dari Mughira bin Shoba. Ini terjadi pada tahun 50 H, atau berselang 9 tahun dari perjanjian damai antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali. Ketika itu, areal kekuasaan kaum Muslimin sudah membentang hingga ke Sudan dan Maroko di Afrika, dan sebentar lagi akan menyebrangi Gibraltar. Di Timur, kekuatan kaum Muslimin sudah mulai menguasai juga Pakistan dan sebagian besar kawasan Asia Tengah.[1] Salah satu alasannya, Muawiyah khawatir bila capaiannya ini bisa rusak bila kepemimpinan setelahnya tidak jatuh ke tangan yang tepat.

Terkait dengan ekspesidi militer yang dilancarkan Muawiyah, sebagian kalangan banyak yang menyayangkannya. Mengingat rangkaian ekspedisi militer terebut lebih mirip seperti kolonialisasi daripada “Jihad”. Meski di pusat kota Damaskus kehidupan berjalan seperti biasa, namun di wilayah-wilayah taklukan ini rakyat menjerit. Mereka diperas dan diperlakukan tidak adil oleh para aparatur dinasti Umayyah. Persoalannya lagi, sejak dari perang Shiffin, Muawiyah memang kerap menggunakan jasa tentara bayaran, dan ini membutuhkan dana yang sangat besat untuk mengaji mereka. Di Afrika Utara, terjadi perlawanan sengit dari suku Barber yang merupakan penduduk asli Afrika Utara terhadap agresi kaum Muslimin ini. Alih-alih masuk Islam secara damai, mereka bahkan berhasil membangun satu konsolidasi nasional berdasarkan nilai kesukuan untuk melawan imperialism Islam.[2]

Sebagai dampak lanjutan dari lahirnya paham ashobiyah di kalangan Bani Umayyah, tipe penaklukan yang dilakukan bani Umayyah juga menjadi bergeser jauh dari nilai yang dicontohkan Rasulullah SAW. Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, mengutip Osborn yang menggambarkan hal ini. Menurut Osborn, “semangat kesukuan yang munculkan Muawiyah telah menjadikan bangsa Asia seperti Persia, Afrika Utara, dan Spanyol tidak pernah terangkat kedudukannya setara dengan bangsa Arab. Mereka mendapat kejayaan, tapi di tengah kejayaan yang diperoleh itu, mereka menyimpan semangat mereka: rasa persaingan, hasrat, dan kecemburuan antar suku padang pasir. Mereka berperang semata-mata untuk memperluas wilayah kekuasaan, seperti halnya peperangan yang dilakukan orang Arab sebelum kedatangan Islam”.[3]

Dengan kata lain, di samping berhasil mengubah kerangka politik dan sistem pemerintahan kaum Muslimin, Muawiyah juga sudah menggeser perspektif jihad yang sebelumnya lebih bersifat difensif menjadi sangat agresif. Dan semua ini bersumber dari lahirnya kembali semangat kesukuan (ashobiyah) yang oleh Rasulullah SAW sudah dihapuskan.

Peta agresi dan wilayah kekuasaan Dinasty Umayyah. Sumber gambar: http://kisahmuslim.com

Artikel terkait:

Invasi Bangsa Arab ke Afrika Utara 639 M (2)

Aljazair (2): Masuknya Islam, Kebangkitan Serta Kekalahannya

 

Kembali pada rencana pengangkatan Yazid sebagai Khalifah menggantikan Muawiyah. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, di tahun yang sama (50 H), Mughira datang dari Kufah dan menceritakan tentang kekhawatirannya tentang situsi politik yang melanda kaum Muslimin pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan. Ia tidak ingin hal tersebut terulang lagi, dimana masing-masing kelompok berebut kursi kekhalifahan dan menyebabkan terjadinya perpecahan. Ia lalu mengusulkan Yazid bin Muawiyah sebagai orang paling tepat menggantikan kedudukan ayahnya.

Semula Muawiyah tampak ragu orang-orang akan memberikan bai’at kepada putranya, mengingat Yazid memang bukanlah sosok terbaik kala itu. Menurut Ali Audah, Yazid berbeda dengan Muawiyah. Ia lahir di lingkungan Istana bani Umayyah, jauh dari lingkungan peradaban Muslimin kala itu di Madinah. Ia tidak pernah bertemu apalagi berinteraksi dengan para sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat yang berakhlak mulai lainnya. Sebaliknya, Yazid diasuh dalam kemewahan istana sampai ia dewasa.[4]

Yazid tidak memiliki minat terhadap ilmu pengetahuan, tidak juga dikenal sebagai ahli ibadah. Kegemarannya adalah bersukaria, dan berburu. Bahkan ketika Muawiyah wafat, Yazid tidak ada di Istana, karena ia sedang berburu. Bagi masyarakat – yang Muawiyah sendiri tentu sadari – masih banyak sosok-sosok yang jauh lebih kompeten dari Yazid, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Husein bin Ali. Tapi lagi-lagi, tidak ada satupun penjelasan yang lebih masuk akal terkait keputusan ini, selain semangat ashobiyah dalam diri Muawiyah.

Meski, menurut beberapa riwayat, Muawiyah ragu dengan usulan Mughira, tapi kemudian Mughira berhasil meyakinkannya. Ia menjaminkan pada Muawiyah, bahwa tidak akan ada oposisi bagi Yazid yang akan menggagalkan rencananya. Rencananya, ia akan membujuk masyarakat Kufah, Ziyad bin Abi Sufyan akan memaksa masyarakat Basrah, dan Marwan bin Hakam bersama Sayeed bin Ash akan melakukan hal sama di Madinah dan Mekkah. Sedang di Syiria (Damaskus) sendiri, tidak akan ada satupun oposisi yang berani menentangnya.[5]

Jelas di sini. Ide untuk mengangkat Yazid sebagai khalifah disadari sepenuhnya oleh Muawiyah dan pengikutnya sebagai suatu yang tidak mudah, bahkan nyaris mustahil secara politik apalagi agama. Seperti berencana mendirikan benang basah. Tapi mereka tetap memaksakan untuk melakukannya. Rangkaian rencana ini, pada ujungnya kelak akan menuai bencana besar dalam sejarah kaum Muslimin yang dampaknya tetap terasa hingga sekarang. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (6); Meratakan Jalan untuk Yazid

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (4); Muawiyah Naik Tahta

Catatan kaki:

[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 37

[2] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 3

[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 344

[4] Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai kepada Hasan dan Husain, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 424-425

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*