Dinasti Umayyah (4); Muawiyah Naik Tahta

in Sejarah

Last updated on February 5th, 2018 08:54 am

“Beberapa isi pokok perjanjian antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah antara lain; “Hasan bersedia mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan beberapa syarat. Di antaranya adalah: Muawiyah tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dulunya mendukung Hasan, seperti masyarakat Irak dan Suriah, serta Muawiyah mau memaafkan dan menjamin keselamatan mereka; kursi kekhalifahan setelah Muawiyah harus diserahkan kepada pilihan umat, bukan diwariskan kepada keturunannya.”

—Ο—

 

Setelah hasil perundingan yang kontroversial antara Abu Musa dengan Amr bin Ash, situasi politik internal kaum Muslimin makin tidak menentu. Perpecahanpun semakin sengit terjadi. Begitu banyak intrik, muslihat, hingga pertempuran dalam skala kecil maupun besar terjadi diantara para pemuka kaum Muslim kala itu. Apa yang terjadi setelah peritiwa tersebut, telah melahirkan perpecahan yang besar di kalangan kaum Muslimin, yang eksesnya tetap terasa hingga hari ini. Demikian pula, begitu banyak perspektif dan informasi yang simpang siur terkait peristiwa pada periode ini. Informasi dan perspektif tentang rangkaian peritiwa yang terjadi pada periode ini tak jarang saling menegasikan satu sama lain.

Terkait hal tersebut, untuk menghindari perdebatan, kita hanya mencatat bebarapa peristiwa penting yang terjadi, sebelum akhirnya Muawiyah berhasil menaiki tahta Khalifah. Peristiwa tersebut tersebut antara lain, wafatnya Ali bin Abi Thalib, dan naiknya Hasan bin Ali sebagai Khalifah kelima. Beliau dipilih oleh para pendukung Ali bin Abi Thalib di Kufah dan sekitarnya. Namun tak mau ketinggalan, sesaat setelah mendengar berita duka tentang wafatnya Ali, Muawiyah langsung mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah di Yerusalem pada tahun 660 M.[1]

Meski di Damaskus jumlah kaum Muslimin masih minoritas, namun ia mendapat dukung dari Mesir dan Pelestina, kedua wilayah yang dulu di taklukkan oleh Amr bin Ash, yang sekarang menjadi pendukung utama Muawiyah. Adapun di Mekkah dan Madinah, masyarakat tetap berusaha netral dan menjaga jarak dari konflik ini. Tapi menurut Philip K Hitti, masyarakat Mekkah khususnya, sebenarnya memiliki kecenderungan memihak pada Damaskus. Mereka ini umumnya adalah kelompok yang masuk Islam paling akhir, yaitu ketika Kota Mekkah sudah dikepung dan ditaklukan oleh kaum Muslimin. Masuknya mereka ke agama Islam, lebih karena pertimbangan strategis, bukan karena kesadaran spiritual.[2]

Sebagaimana Muawiyah, mereka juga masih memandang situasi politik Islam dari perspektif kesukuan (ashobiyah). Sehingga mereka melihat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah representasi dari kepemimpin bani Hasyim atas mereka – terlebih setelah wafatnya Ali, masyarakat Irak dan Iran secara aklamasi memilih Hasan bin Ali sebagai penggatinya.

Namun Hasan bin Ali memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Soal kebijaksanaan Hasan bin Ali, tidak ada satupun kelompok yang meragukannya. Meski secara kalkulatif jumlah pendukungnya jauh lebih banyak dari Muawiyah, namun ia mempertimbangkan kemaslahatan kaum Muslimin seluruhnya.

Berusaha untuk tidak memperuncing permusuhan yang berlandaskan isu kesukuan ini – yang berpotensi besar membelokkan makna kepemimpinan dalam tradisi kaum Muslimin – akhirnya beliau memutuskan untuk mengikat perjanjian damai dengan Muawiyah. Perjanjian damai ini dibuat hanya berselang 3 bulan sejak dilantiknya Hasan bin Ali sebagai Khalifah oleh kaum Muslimin.

Beberapa isi pokok perjanjian tersebut antara lain; “Hasan bersedia mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan beberapa syarat. Di antara syarat-syarat yang diajukan Hasan adalah: Muawiyah tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dulunya mendukung Hasan, seperti masyarakat Irak dan Suriah, serta Muawiyah mau memaafkan dan menjamin keselamatan mereka; kursi kekhalifahan setelah Muawiyah harus diserahkan kepada pilihan umat, bukan diwariskan kepada keturunannya; pajak dari Ahwaz, salah satu distrik di Persia, diperuntukkan bagi Hasan; dan Muawiyah harus membayar kompensasi sebesar lima juta dirham dari bendahara Kufah, memberi satu juta dirham setiap tahun untuk Hasan, dan dua juta dirham untuk saudaranya, Husein.”[3]

Syarat-syarat tersebut disetujui oleh Muawiyah, dan pada tahun 41 H./661 M., Muawiyah datang ke Kuffah guna menandatangani perjanjian damai sekaligus menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Hasan. Tahun itu kemudian dinamakan sebagai ”tahun persatuan” (‘am al-jama’ah), karena tidak ada lagi dualisme kepemimpinan seperti sebelumnya. Perjanjian damai ini dinilai oleh Muawiyyah sebagai bentuk pengakuan atas kekhalifahannya.[4]

Muawiyah kemudian memindah ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Ia juga mengganti sistem pemerintahan dari demokratis ke monarki. Sebagaimana diketahui, sejak masa Abu Bakar hingga periode Ali ra., para khalifah dipilih langsung oleh rakyat dan menjalani kehidupan seperti seorang biasa. Mereka tinggal di rumah sederhana, memenuhi kebutuhan hidup sendiri seperti pergi belanja ke pasar, memperbaiki rumah atau peralatan keluarga, persis seperti yang dijalani orang kebanyakan. Sejak kepemimpinan dipegang oleh Muawiyah, ia meniru sistem pemerintahan ala kerajaan. Muawiyah hidup layaknya raja, membangun istana di dalam benteng, memiliki banyak pembantu, bergelimang kemewahan, berpengawal lengkap dengan kekuasaan mutlak. Muawiyah pun menyebut dirinya sebagai “khalifatulLah” (“wakil” Allah di bumi) –suatu istilah yang kemudian dipakai oleh para khalifah periode-periode berikutnya.[5] (AL)

Bersambung….

Dinasti Umayyah (5); Lahirnya Ide Untuk Mengangkat Yazid Sebagai Khalifah

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (3); Langkah Monumental Muawiyah

Catatan kaki:

[1] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal.

[2] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 189

[3] Lihat, http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Penakluk/Daulah%20Bani%20Umayyah.htm, diakses 25 Januari 2018

[4] Ibid

[5] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*