Dinasti Umayyah (3); Langkah Monumental Muawiyah

in Sejarah

Last updated on February 5th, 2018 02:01 am

Hasil perundingan Perang Shiffin, adalah momentum raksasa bagi Muawiyah untuk melambungkan namanya, dari hanya seorang gubernur di daerah yang sangat jauh, menjadi oposisi yang setara popularitasnya dengan kedudukan Khalifah Ali bin Abi Thalib.”

—Ο—

 

Kisah bermula ketika Khalifah Utsman bin Affan tewas dalam sebuah pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Muhammad, putra Khalifah Abu Bakar.  Kematian Utsman yang berasal dari bani Umayyah, telah memberikan dalih bagi Muawiyah untuk membangkitkan ikatan ashobiyah di kalangan bani Umayyah. Menurut Phillip K. Hitti, di Masjid Damaskus, Muawiyah menunjukkan pada masyarakat baju Khalifah Utsman yang penuh dengan bercak darah, serta potongan jari istrinya Na’ilah yang putus karena berusaha membela suaminya. Seketika emosi audien terpancing, dan Muawiyah menyatakan akan menuntut balas atas kematian Utsman.[1]

Namun bukan perkara mudah menuntut balas kematian Utsman, mengingat ia tewas dalam sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat. Yang justru membingungkan kemudian, Muawiyah justru melancarkan pemberontakan kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat dari urutan Khalifahu Rasyidin. Padahal, Ali adalah orang terakhir yang mempertahakan nyawa Utsman bin Affan dari pemberontakan yang akhirnya menewaskan Khalifah Utsman. Bahkan menurut Syed Ameer Ali, hampir saja Ali mengorbankan putranya sendiri dalam upaya melindungi Utsman.[2]

Momentum untuk menggalang pemberontakan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib terjadi ketika Ali memecat semua gubernur korup, yang pernah diangkat oleh Utsman. Hal ini melahirkan kekecewaan dari pihak yang dipecat tersebut, yang secara piawai dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk menghimpun kekuatan sebesar mungkin, tidak hanya terbatas pada lingkup bani Umayyah.  Muawiyah kemudian melancarkan pemberontakan di Syiria. Dan ini hanya terjadi sesaat setelah pemberontakan yang dilakukan oleh Zubair dan Thalhah dikecewa karena keinginannya untuk menjadi gubernur di Kufah dan Basrah ditolak oleh Ali.

Pada 28 Juli 657 M, dua pasukan kaum Muslimin dalam jumlah besar saling berhadap-hadapan di padang Shiffin. Ini adalah perang saudara terbesar dalam sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW. Pasukan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh Malik Al Ashtar, berhadapan dengan pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan yang dipimpin oleh Amr bin Ash. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perang Shiffin.

Dalam pertempuran ini, pasukan Muawiyah berkali-kali dikalahkan. Semakin lama, kondisi mereka semakin memburuk. Dan ketika sudah sangat terdesak, Muawiyah lantas memerintahkan kepada anak buahnya untuk menancapkan mushaf Al Quran dengan ujung tombak lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan berteriak “antara kalian dan kami ada Al Quran!.” Teriakan ini kemudian disambut oleh teriakan lainnya dari pasukan Muawiyah, “Muslimin, kita semua berperang atas dasar iman. Mari patuhilah Al Quran dan buatlah perdamaian”.[3]

Melihat hal ini, pasukan Ali bin Thalib kebingungan. Meski Ali berkali-kali mengatakan pada pasukannya bahwa itu hanyalah muslihat Muawiyah, namun sebagian besar mereka menolak melanjutkan perang dan memilih perundingan. Mereka bahkan mengancam akan membelot bila Ali tetap memutuskan melanjutkan pertempuran. Persoalannya, jika mereka membelot dan berbalik menyerang pasukan Ali bin Thalib, maka perpecahan di dalam tubuh kaum Muslimin akan semakin luas, dan ini tidak diinginkan oleh Ali.[4] Melihat kondisi sudah tidak memungkinkan untuk menyadarkan kelompok ini, akhirnya Malik Al Ashtar pun dipanggil dan perang dihentikan, dan kemenangan yang sudah ada dipelupuk matapun musnah sudah.

Tidak sampai di sana, kelompok ini juga – dengan cara yang sama – memaksakan Abu Musa Al Asyari menjadi duta perundingan sebagai perwakilan dari kelompok Ali. Keputusan memilih Abu Musa ini juga tidak dikehendaki Ali. Karena Abu Musa adalah sosok yang lemah untuk ditugasi misi seperti ini. Sedang di pihak Muawiyah, sosok yang diutus untuk berunding adalah Amr bin Ash, yang dikenal sebagai seorang politikus ulung di jazirah Arab. Kompetensi dua utusan dalam perundingan ini jelas tidak seimbang, bahkan berbanding terbalik.

Perundingan pun akhirnya dilaksanakan di tempat yang bernama Adhruh dekat Daumat Al Jandal yang lokasinya terletak di antara Kufah dan Damaskus. Perundingan ini berlangsung selama 6 bulan. Dan pada batas waktu yang ditentukan, semua orang-orang berpengaruh di kalangan kaum Muslimin datang ke tempat ini untuk mendengar hasil keputusan kedua belah pihak. Diantaranya terdapat nama-nama seperti Sa’ad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Zubair, dan banyak lagi tokoh kaum Muslimin yang datang dari Mekkah dan Madinah.[5]

Dalam literature sejarah, begitu banyak sudut pandang terkait proses perundingan ini. Namun, hampir semua sepakat bahwa diakhir perundingan ini, Abu Musa terlebih dahulu baik ke mimbar dan mengumumkan pemakzulan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, dan mengembalikan mandat Khalifah kepada kaum Muslim untuk memilih kembali.  Dalam buku The History Of Islam, Akbar Shah Najeebabadi mengatakan, bahwa sebelumnya baik Abu Musa maupun Amr bin Ash sebenarnya sepakat untuk mengembalikan mandat kekhalifahan tersebut kepada kaum Muslimin untuk memilih kembali Khalifah selain Ali dan Muawiyah.

Namun hal yang tidak terduga kemudian terjadi. Setelah Abu Musa mengumumkan pemakzulan Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash gantian menaiki mimbar dan mengumumkan bahwa, dengan dimakzulkannya Ali bin Thalib sebagai Khalifah, maka ia mendaulat Muawiyah sebagai penggantinya. Ia berkata, “anda sekalian sudah mendengarkan bahwa Abu Musa sudah memakzulkan sahabatnya sendiri, Ali bin Abi Thalib. Namun bagaimanapun, saya tidak memakzukkan Muawiyah dari posisinya, dan tetap mendukungnya sebagai orang yang paling pantas mewarisi hak kekhalifahan Utsman bin Affan yang sudah dibunuh secara zhalim.”[6]

Riuh rendah tanggapan hadirin terkait hasil perundingan ini. Hasil perundingan yang kontroversial ini tidak serta merta disepakati kedua belah pihak, khususnya oleh pihak Ali bin Abi Thalib. Tapi setidaknya, inilah langkah raksasa bagi Muawiyah yang berhasil melambungkan namanya, dari hanya seorang gubernur di daerah yang sangat jauh, menjadi oposisi yang setara popularitasnya dengan kedudukan Khalifah Ali bin Abi Thalib. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (4); Muawiyah Naik Tahta

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (2); Asal Usul

Catatan kaki:

[1] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 180

[2] [2] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 340

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 473

[4] Kelak, mereka yang memaksa melakukan perudingan inilah yang juga kelompok pertama yang menolak hasil perundingannya. Mereka lalu menuding Ali bin Abi Thalib meleceng dari agama, dan melakukan perberontakan terhadap sahabat utama Nabi Muhammad SAW yang dijuluki sebagai gerbang ilmu kenabian (Babul ‘ilmi) tersebut. kelak, mereka jugalah membunuh Ali bin Abi Thalib ketika sedang melaksanakan sholat di Masjid Kufah. Mereka inilah yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Khawarij, yang menjadi sumber malapetaka dalam sejarah Islam.

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, Hal. 481

[6] Ibid, Hal. 483

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*