Dinasti Utsmaniyah, Aura kebangkitan Turki Utsmani (1): Buah Kekalahan Dinasti Seljuk, Munculnya Dinasti Utsmaniyah

in Sejarah

Last updated on May 25th, 2018 06:19 am

Pada saat Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al Utsman (Raja besar keluarga Usman) pada tahun 699 H / 1299 M, ia memulai memperluas wilayahnya. Puncak ekspansi terjadi pada masa Mehmed (Muhammad) II yang dikenal dengan Al-Fatih

–O–

 

Sejarah peradaban Islam hingga saat ini telah berlalu lebih dari 14 abad lamanya. Seperti halnya sejarah peradaban pada umumnya, peradaban Islam pun mengalami masa pasang surut. Pada periode tertentu Islam mengalami kemajuan dan kejayaan, dan kemudian diperiode yang lain, Islam juga mengalami masa kemunduran bahkan hingga kehancurannya.[1] Dinasti Turki Utsmani merupakan kekhalifahan yang cukup besar  dalam Islam dan juga memiliki pengaruh yang cukup terlihat dalam perkembangan wilayah Islam di Asia, Afrika, dan Eropa.[2]

Ketika bangsa Mongol menyerang umat Islam, Sulaiman Syah yang merupakan pemimpin suku Kayi, yaitu suku yang berasal dari wilayah Asia Tengah. Mengajak warga sukunya untuk menghindari serbuan para tentara Mongol ke wilayah barat. Bangsa Mongol mulai menyerang dan menaklukan wilayah Islam yang berada di bawah kekuasaan dinasti Khwarazm Syah pada tahun 1219 M – 1220 M. Sulaiman Syah kemudian meminta perlindungan Jalal ad-Din yang merupakan pemimpin terakhir dinasti Khwarazm Syah di Transoksania, sebelum dikalahkan oleh tentara Mongol. Jalal ad-Din memberikan akses jalan untuk Sulaiman Syah beserta warga sukunya ke barat arah Asia kecil. Kemudian disanalah Sulaiman Syah dan sukunya menetap. Setelah ancaman tentara Mongol mereda, Sulaiman Syah berencana untuk berpindah ke wilayah Syam. Dalam usahnya pindah ke negeri Syam, Sungai Euphrat tiba-tiba mengalami air pasang dan banjir besar di tahun 1228 M yang menewaskan para petinggi suku Kayi.[3]

Setelah kejadian banjir tersebut, mereka terbagi menjadi dua kelompok, pertama adalah kelompok yang ingin kembali pulang ke negeri asalnya, kemudian yang kedua adalah kelompok yang akan meneruskan pengembaraan ke wilayah Asia kecil. Kelompok yang kedua ini berjumlah sekitar 400 keluarga dengan dipimpin oleh Erthogril (Arthogrol) anak dari Sulaiman Syah. Mereka kemudian mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II dari Turki Seljuk Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil.[4]

Pada saat itu Sultan Seljuk sedang berperang melawan Bizantium, dan bangsa Romawi yang memiliki kekuasaan di Bizantium berhasil dikalahkan dengan adanya tambahan bantuan dari Erthogril. Kemenangan itu membuat Erthogril mendapatkan hadiah berupa wilayah Dorylaeum (Iskishahar) yang berbatasan dengan Bizantium. Di daerah tersebut kemudian Erthogril memperluas wilayahnya dengan merongrong dan merebut wilayah Bizantium. Erthogril menjadikan Soghud sebagai pusat kekuasaannya. Dinasti Seljuk sendiri sebetulnya sedang mengalami kemunduran pada saat itu.[5]

Setelah Erthogril wafat, dengan persetujuan Sultan Alauddin II, Kedudukan Erthogril digantinkan oleh putranya yang bernama Utsman. Serangan pasukan Mongol terhadap Bahgdan dan Seljuk menyebabkan dinasti Seljuk terpecah-pecah menjadi sejumlah kerajaan kecil. Dinasti Seljuk kemudian tumbang dalam kekalahan melawan pasukan Mongol. Saat kondisi tersebut terjadi, Utsman kemudian mengklaim kemerdekaan secara penuh atas wilayah yang dipimpinnya, sekaligus memproklamasikan berdirinya kerajaan Turki Utsmani dengan pemimpin pertamanya ialah dirinya sendiri yang sering disebut juga Utsman I. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, kekuatan militer Utsman kemudian menjadi pertahanan bagi para sultan yang memimpin dinasti-dinasti kecil dari ancaman serangan pasukan Mongol.[6]

Kerajaan Utsmani sebagaimana kerajaan Romawi dan kekhalifahan Abbasiyah pada umumnya, lebih sering menekankan pada aspek kekuatan militer dan mengembangkan prinsip dinasti dalam organisasinya. Personifikasinya diwakili oleh sosok seorang Khalifah-Sultan. Pada saat Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al Utsman (Raja besar keluarga Usman) pada tahun 699 H / 1299 M, ia memulai memperluas wilayahnya. Puncak ekspansi terjadi pada masa Mehmed (Muhammad) II yang dikenal dengan Al-Fatih dengan kisah terkenalnya yang berhasil merebut Konstantinopel pada tahun 1453 M yang saat itu merupakan Ibu Kota kerajaan Romawi Timur (Bizantium) yang kemudian dirubah namanya menjadi Istanbul.[7]

lukisan pasukan angkatan darat kerajaan Utsmani disalah satu tembok di Turki. Sumber gambar http://emlitwicki.org/img_1002/

Terdapat lima faktor utama penyebab kesuksesan Dinasti Utsmani dalam hal perluasan wilayah, yang pertama adalah karena pada saat itu mereka mampu membuat strategi dan cita-cita mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), kedua, gaya hidup yang sederhana dan memiliki cita-cita yang maju, ketiga, mereka memiliki semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam, ke empat, letak Istanbul yang strategis diantara benua Eropa dan Asia di samping pernah menjadi pusat peradaban dunia, dan yang kelima, kondisi kerajaan disekitarnya yang sudah rapuh, hingga memudahkan Turki Utsmani untuk menahlukanya.[8]

Wilayah luas yang dimiliki Turki Utsmani dapat dilihat dari masa kejayaannya yang meliputi dataran Eropa dan Austria, Mesir dan Afrika Utara hingga ke Aljazair dan Asia hingga ke Persia. Selain itu wilayahnya pun meliputi Lautan Hindia, Laut Arabia, laut tengah, laut merah dan laut hitam.[9](SI)

Bersambung..

Dinasti Utsmaniyah, Aura kebangkitan Turki Utsmani (2): Periodesasi Penguasa Dinasti Utsmaniyah

Catatan Kaki:

[1] Lihat, Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Cv Pustaka Setia, 2008, hlm 248.

[2] Lihat, Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta, Amzah, 2010, hlm 193.

[3] Lihat, Syafiq A. Mugghni, Sejarah Kebudayaan Islam, cet. 1, Jakarta, Logos, hlm 51

[4] Ibid. Hlm 52.

[5] Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 12, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm 130.

[6] Lihat, Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Ilmu, 2013, hlm 185.

[7] Lihat, Mehmed II, https://id.wikipedia.org/wiki/Mehmed_II, diakses pada tanggal 7 April 2018.

[8] Lihat, Ensiklopedi Islam, Jilid IV, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995, hlm 62.

[9] Lihat, Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Jakarta, Logos, 1997, hlm 60.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*