Diskursus Sufi (1): Pengantar (1)

in Tasawuf

Last updated on March 15th, 2019 06:34 am


“Demi Allah, seandainya kau wahai dunia, adalah manusia yang tampak nyata, berjiwa berperasaan, niscaya akan kulaksanakan hukuman Allah atas dirimu, sebagai pembalasan bagi hamba-hamba yang telah kau kelabui dengan angan-angan kosong. Atau bangsa-bangsa yang kau jerumuskan ke dalam jurang-jurang kehancuran. Atau raja-raja yang kau halau ke dalam kebinasaan dan kau masukkan ke pusat-pusat bala` dan kesulitan, tanpa kesempatan untuk dapat kembali lagi.” (Sayyidina Ali bin Abi Thalib)

Gambar ilustrasi. Sumber:
Muslim.Or.Id

Film Kehidupan

Tasawuf atau sufisme adalah sebuah cakrawala yang sebetulnya juga berlandaskan pada suatu pola berpikir yang logis. Ada rangkaian argumen dan dasar berpikir yang melatarbelakanginya. Hampir seperti umumnya mazhab pemikiran, tasawuf juga berpijak pada argumentasi. Bedanya, tasawuf tidak hanya bersimpuh di hadapan rasio, ia juga mengembangkan pola-pola dan landasan-landasan argumentasi yang lain. Bukan tempatnya di sini saya menjelaskan semua itu. Apa yang ingin saya sampaikan berikut ini sebenarnya hanyalah ajaran kaum sufi berlandaskan pada pola berpikir mereka.

Berbeda dengan orang kebanyakan, para sufi memandang kematian sebagai permulaan, bukan penghabisan. Ketika berbicara mengenai kehidupan, orang awam pastilah beranjak dari masa kelahiran manusia ke dunia dan berakhir pada saat manusia itu meninggalkannya. Awal dan akhir kehidupan ditandai dengan sesuatu yang fisikal; kelahiran dan kematian yang biologis. Sebaliknya, kaum sufi melihat kehidupan sebagai keadaan yang tidak senantiasa terikat dengan lingkaran ruang dan waktu. Karena itu, orang sufi berbicara tentang kemungkinan orang mati (secara spiritual) pada saat ia hidup (secara fisikal) dan sebaliknya.

Orang sufi mendamba kematian, sementara orang awam berangan-angan agar bisa hidup seribu tahun lamanya. Allah berfirman,

Dan sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat oleh tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berlaku aniaya… Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.” (QS Al-Baqarah: 95-96).

Sementara awam melihat kehidupan dunia sebagai fokus pencarian, sufi melihatnya sebagai penjara, dan kematian sebagai pembebasan. Surah ke-50, ayat ke-22 menjadi dasar penalaran kaum sufi tersebut. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa pada hari kiamat kelak penutup (ghitha’) manusia yang tidak lain adalah unsur wadag ini akan disingkapkan oleh Allah.

Lalu mengapa kehidupan ini disebut sebagai penutup? Sehubungan dengan ini, para sufi memberikan ilustrasi menarik berikut: Anggaplah bahwa dalam hidup ini ada orang yang lahir di sebuah bioskop dengan layar yang melingkari setengah gedung. Sejak terlahir, mata orang ini sudah dihadapkan ke arah layar yang terus memutar film demi film. Karena satu dan lain alasan, dia tidak bisa menengok ke kanan maupun ke kiri, apalagi ke belakang.

Bayangkan, apa yang akan terjadi pada anak itu setelah 40 tahun keadaan ini berlalu padanya? Akan sulit mengatakan pada anak itu bahwa semua film yang diproyeksikan ke layar di hadapannya itu tak lebih dari suatu khayalan belaka, bukan kenyataan yang sesungguhnya. Sebaliknya: anak itu akan mengatakan bahwa semua film yang tampil di layar itu adalah kenyataan yang sebenar-benarnya.

Nah, kebanyakan manusia melihat kehidupan dunia ini sebagaimana orang yang terlahir di bioskop itu mempersepsi tayangan-tayangan film yang diproyeksikan ke layar di hadapannya. Sedangkan sufi tidak demikian. Dia tahu bahwa semua gejala yang tampak ini hanyalah rekaan dan buatan. Ada operator yang bekerja di belakang sebuah proyektor untuk memutar semua film itu. Dan bahwa semua film itu pada akhirnya akan tamat juga dengan suatu kematian.

Kematian adalah akhir dari pemutaran film-film rekaan itu. Pada saat kematian menjemput, kita akan tahu bahwa kita sedang berada di sebuah bioskop, tempat orang menonton film untuk menghibur diri. Kita juga akan tahu, selain operator yang bekerja memproyeksikan film ke layar, ada pula sutradara, produser, aktor, dan lain sebagainya yang membuat film tersebut menjadi nyata.

Nasib anak-anak yang terlahir di bioskop dalam keadaan menghadap ke arah layar hingga dia mati adalah nasib orang-orang yang tertipu oleh kehidupan dunia. Karena, bioskop itu adalah alam semesta dan film itu adalah gambaran kita sendiri tentang  berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Dalam konteks inilah, kita bisa menemukan makna terdalam dari ajaran Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang mengatakan:

“Wahai dunia! Pergilah ke mana saja yang kau kehendaki. Aku telah melepaskan diri dari cengkeramanmu, menghindar dari perangkapmu, dan menjauh dari jurang kehancuranmu. Di manakah kini orang-orang yang pernah kau tipu dengan permainanmu? Di manakah bangsa-bangsa yang telah kau perdaya dengan hiasan-hiasanmu? Di sana mereka! Tergadai dalam kuburan sebagai pengisi liang-liang lahad!”

“Demi Allah, seandainya kau wahai dunia, adalah manusia yang tampak nyata, berjiwa berperasaan, niscaya akan kulaksanakan hukuman Allah atas dirimu, sebagai pembalasan bagi hamba-hamba yang telah kau kelabui dengan angan-angan kosong. Atau bangsa-bangsa yang kau jerumuskan ke dalam jurang-jurang kehancuran. Atau raja-raja yang kau halau ke dalam kebinasaan dan kau masukkan ke pusat-pusat bala` dan kesulitan, tanpa kesempatan untuk dapat kembali lagi.”

“Sungguh, barangsiapa menginjakkan kakinya di jalanmu pasti akan tergelincir. Dan barangsiapa yang berlayar di samuderamu pasti akan tenggelam. Adapun  mereka yang berkelit dari jeratan tali-talimu pasti akan berjaya. Dan orang yang selamat darimu takkan peduli betapa pun sempit kediamannya (di dalam kubur). Baginya dunia hanya sebagai hari yang telah hampir berlalu.”

“Berbahagialah jiwa yang telah menunaikan kewajiban terhadap Tuhannya, dan bersabar dalam penderitaannya. Menolak lelap matanya di malam hari, sehingga apabila kantuk telah menguasainya, dia jadikan tanah sebagai tempatnya berbaring dan tangannya sebagai bantal. Merasa betah di tengah-tengah sekelompok hamba-hamba Allah yang senantiasa terjaga di malam hari karena resah memikirkan tempat mereka dikembalikan kelak. Tubuh-tubuh mereka jauh dari pembaringan, bibir-bibir mereka bergumam menyebut nama Tuhannya, sehingga dosa-dosa mereka lenyap oleh istigfar yang berkepanjangan… Mereka itulah Hizbullah. Dan sesungguhnya Hizbullah adalah orang-orang yang beroleh kejayaan. (QS Al-Mujadilah: 22)”.[1] (MK)

Bersambung…

Catatan kaki:


[1] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 95-96.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*