Diskursus Sufi (2): Pengantar (2)

in Tasawuf

Last updated on March 18th, 2019 09:42 am

Dalam literatur sufi, Tuhan adalah puncak kesempurnaan. Semua yang sempurna dalam maknanya yang paling mutlak dan tak terbatas adalah esensi Tuhan. Manusia, di sisi lain, adalah replika Tuhan. Raison d’atre penciptaannya tak lain ialah menjadi manusia paripurna (insan kamil).

Gambar ilustrasi. Sumber:
aztlan.com.ar

Quantum Being

Pada paruh kedua abad 20, sejumlah pemikir Barat seperti Max Planck, Paul Dirac, Louis Viktor De Broglie, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Albert Einstein, dan lain-lain mencoba membangun sebuah paradigma baru menyangkut alam semesta. Fritjhof Capra bahkan sudah berani menyebut percobaan mereka ini sebagai “titik balik peradaban”. Dalam bukunya yang berjudul The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture, Capra menegaskan: “Ilmu fisika baru itu telah menyebabkan perubahan menyeluruh dalam konsep ruang, waktu, zat, objek serta sebab-akibat; dan karena konsep itu demikian mendasar, peralihannya menyebabkan kejutan besar.” [1]

Ahli fisika Erwin Schroedinger menjelaskannya melalui eksperimen yang disebut dengan Schrodinger’s Kitten (Kucing Schroedinger). Kucing Schroedinger ini lantas menjadi model klasik dalam fisika kuantum untuk menggambarkan bahwa dunia kuantum takkan nyata sampai ada yang menyatakannya. Dalam suatu percobaan yang dilakukannya, Schroedinger menemukan bahwa pengamatan dan keterlibatan aktif subjek untuk mengamati keadaan kucing dalam suatu kotak tertutup adalah penentu keadaan yang sesungguhnya. Tanpa keterlibatan aktif ini, segala sesuatu akan tetap menjadi potensi (chaos).

Teori ini menyentakkan kesadaran banyak orang, terutama para ilmuwan alam. Gambaran Newtonian tentang alam sebagai mesin raksasa yang angker dan tersusun dari materi dan partikel yang terpisah-pisah, pelan-pelan tergusur. Alam kini lebih diyakini sebagi sistem kompleks yang ramah, partisipatif, dan ditentukan oleh manusia itu sendiri. Fakta objektif tidak pernah bebas (independent) dari tindakan dan keterlibatan aktif kita. Fakta objektif tercipta dalam atau melalui medan kekuatan jiwa, pemahaman, persepsi, dan tindakan kita sendiri.

Teori mekanika kuantum menerbitkan kesadaran manusia untuk senantiasa bertindak menciptakan sesuatu di tengah chaos (keserbamungkinan yang tidak teramati dan terukur). Chaos adalah kompleksitas keseluruhan alam semesta yang sedemikian teraturnya, sehingga membentur kemampuan manusia yang terbatas. Alih-alih chaotic, chaos adalah kemungkinan keteraturan yang tak terjangkau oleh pemahaman kita.

Menurut para fisikawan kuantum, alam semesta bersifat partisipatif. Tindakan kitalah yang membentuk dan melahirkan realitas dan kepastian (order) dari rahim potensialitas dan kemungkinan (chaos). Dalam buku Order Out of Chaos, Ilya Prigogine dan Isabelle Stengers mengungkapkan: “Apapun yang kita sebut sebagai kenyataan, tidak lain dari keterlibatan aktif kita.”[2]

Dalam konteks itu, Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata:

“Orang yang berbuat baik lebih baik dari kebaikan itu sendiri; dan orang yang berbuat kejahatan lebih jahat daripada kejahatan itu sendiri.”[3]

Sayidina Ali seolah ingin mengatakan bahwa kejahatan adalah medan potensialitas dan kemungkinan (atau chaos dalam istilah kuantum) yang tidak nyata. Tanpa keterlibatan aktif kita, tanpa upaya kita menciptakannya lewati tindakan, medan itu akan tetap kosong. Demikian pula sebaliknya: kebaikan yang tidak melibatkan subjek pelaku adalah kebaikan yang tidak akan berpengaruh apa-apa. Kebaikan hanya akan menjadi potensi-potensi yang tidak berpengaruh terhadap keadaan kita yang sesungguhnya.

Dalam literatur sufi, Tuhan adalah puncak kesempurnaan. Semua yang sempurna dalam maknanya yang paling mutlak dan tak terbatas adalah esensi Tuhan. Manusia, di sisi lain, adalah replika Tuhan. Raison d’atre penciptaannya tak lain ialah menjadi manusia paripurna (insan kamil).[4] Tuhan mencipta segala sesuatu agar manusia bisa mengetahui mutlaknya kesempurnaan Ilahi. Dan kegiatan mengetahui ini, menurut para sufi, adalah melintasi keserbamungkinan (chaos) menuju kesempurnaan puncak (The Ultimate Order).

Seperti tergambar pada puisi Jalaluddin Rumi berikut, semua perjalanan menapaki jenjang-jenjang kesempurnaan ini mesti melewati kematian (yang mirip dengan makna chaos dalam teori fisika kuantum):

Dari alam mineral, aku mati dan lalu menjadi tetumbuhan;

Dari alam nabati, aku mati dan mencapai alam hewan;

Dari alam hewan, aku mati dan menjadi manusia;

Lalu, mengapa aku mesti takut? Kapan aku pernah jadi berkurang karena ‘mati’?” “Nanti aku akan mati sebagai manusia agar aku bisa membentangkan sayapku dan mengangkat kepalaku di antara para malaikat…

Sekali lagi, aku akan berkorban dari alam malakuti dan menjadi apa yang tak sanggup dibayangkan oleh imajinasi.” (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Fritjhof Capra, The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture, New York: Bantam Books, 1983. hal. 199.

[2] Lihat, Ilya Prigogine & Isabelle Stengers, Order Out of Chaos, New York: Bantam Books 1984. hal. 35.

[3] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 122. 

[4] Argumentasi filosofis tentang konsep manusia sempurna (insan kamil) sudah pernah diterbitkan oleh redaksi ganaislamika.com dalam sebuah artikel berseri dengan judul, “Metode Memahami Islam: Soal Cermin Diri dan Perspektif (3),” untuk membaca bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/metode-memahami-islam-soal-cermin-diri-dan-perspektif-3/. Lihat juga artikel terkait, “Muhammad Sang Cahaya”, https://ganaislamika.com/muhammad-sang-cahaya/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*