Puncak tasawuf sebenarnya adalah realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap kehambaan kepada Allah. Dalam mencapai kehambaan itu, sebagian sufi (seperti Al-Ghazali) menekankan ketakutan, sementara sebagian lain (seperti Jalaluddin Rumi) menekankan kecintaan.
Salah satu persoalan yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah tujuan penciptaan alam semesta, terutama tujuan penciptaan manusia. Persoalan inilah yang melahirkan filsafat dan cara berpikir filosofis dalam pentas sejarah manusia. Terhadap persoalan ini, berbagai aliran menawarkan jawaban yang berbeda-beda, sesuai dengan dasar pijakannya masing-masing.
Kaum materialis, dengan berbagai kembangan dan turunannya, merumuskan tujuan penciptaan alam dalam batasan ruang dan waktu. Bagi mereka, sebagaimana alam semesta ini terbatas pada apa yang terindra dan terukur, demikian pula dengan tujuan penciptaannya. Kebahagiaan, kesejahteraan, kekayaan, dan keberhasilan, semuanya terkait dengan konteks now-and-here. Hal-hal di luar itu dianggap nonsens, tidak bermakna atau setidaknya tidak dapat diungkapkan. Para ilmuwan dan pemikir yang menyangkal kehadiran wilayah imaterial-Ilahi di alam semesta cenderung untuk terpesona oleh gagasan penciptaan alam secara kebetulan.[1]
Bertolak dari pandangan tersebut, sejumlah pertanyaan sulit muncul: Mengapa ada alam semesta? Mengapa alam semesta seperti ini? Mengapa benda-benda berbentuk demikian? Menghadapi berbagai pertanyaan itu, seorang materialis akan merasakan keresahan eksistensial yang mendalam. Dan pada gilirannya ia akan tergiring untuk memilih jalan hidup yang absurdis dan nihilis. Mengutip ungkapan Ian Barbour;
“Tidaklah mengejutkan bahwa beberapa saintis dan filosof yang terkesan dengan peran kebetulan (dalam penciptaan alam semesta) mengarah ke penolakan terhadap teisme (kepercayaan kepada Tuhan). Mereka memandang kehidupan sebagai hasil kebetulan, dan mereka berasumsi bahwa kebetulan dan teisme tidak dapat dipertemukan. Sementara respons terhadap desain Ilahi (dalam pandangan kaum yang bertuhan) adalah berupa syukur dan terima kasih, respons terhadap kebetulan adalah perasaan berupa kesia-siaan dan keterasingan kosmik.”[2]
Seolah membenarkan perkataan Ian Barbour, Richard Dawkins, seorang ilmuwan materialis yang mengarang buku berjudul River out of Eden, menulis, “Dalam alam semesta yang buta terhadap gaya fisika dan replikasi genetis, sebagian orang sengsara, dan sebagian lain bahagia. Anda tidak sulit menemukan irama atau nalar atas fakta ini. Tidak ada keadilan. Alam semesta yang kita amati benar-benar mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan tanpa desain, tanpa tujuan, tanpa kejahatan, dan tanpa kebaikan. Tidak ada watak yang lain kecuali tak peduli, buta, dan tak berperasaan… DNA tidak peduli. Begitulah DNA. Dan kita menari mengikuti musiknya.”[3]
Berbeda dengan itu, kalangan bertuhan (teist) meyakini adanya tujuan umum yang terkait dengan penciptaan segala sesuatu dan tujuan khusus yang terkait dengan tiap-tiap ciptaan. Tujuan umum penciptaan ialah pemaparan dan pengungkapan faydh (pancaran sinar) Ilahi, sedangkan tujuan khususnya ialah penyempurnaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.* Dalam surah Al-Imran ayat 191, orang-orang yang bertuhan menyatakan:
“Segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.”
Menurut pandangan kaum bertuhan, alam raya diciptakan oleh dan didasarkan pada Al-Haqq. Secara bahasa, al-haqq berarti tsabat (kekukuhan dan keteguhan). Secara istilah, pengertian al-haqq tetap mengungkapkan hakikat kekukuhan dan keteguhan. Berikut beberapa pengertian al-haqq dalam tataguna bahasa Arab: 1) Dalam kaitan dengan Allah Swt., al-Haqq berarti Wujud yang Niscaya-ada; 2) Dalam kaitan dengan kepercayaan, al-haqq berarti kepercayaan yang lurus dan benar, lawan dari kepercayaan yang batil dan menyimpang; 3) Dalam kaitan dengan perkataan, al-haqq berarti kejujuran yang sesuai dengan kenyataan; 4) Dalam kaitan dengan tindakan, al-haqq berarti tindakan yang bernilai dan bertujuan bijaksana; dan 5) Adakalanya al-haqq digunakan dalam arti hak konvensional (right), seperti dalam konteks hak asasi manusia, hak milik, hak guna, hak pakai, hak rakyat atas penguasa dan sebagainya. Semua hak konvensional hanya ada dalam ruang sosial manusia.
Lawan dari kata al-haqq dalam pengertian keempat ialah ‘abats (kesia-siaan). Sehubungan dengan itu Allah berfirman:
“Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia (‘abatsan) dan bahwa kalian tidak akan kembali kepada Kami.” (QS. Al-Mu`minun: 115).
Ketika berbicara tentang penciptaan, Allah berfirman:
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan lelangit dan bumi dengan Al-Haqq.” (QS. Al-An’am: 73)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah hendak menggugah kesadaran manusia agar merenungkan penciptaan dirinya: benarkah semua ini hanya ‘abats, tidak punya maksud tertentu? Apakah kalian menyangka bahwa kehidupan ini akan berakhir di sini, dan tidak akan “dikembalikan” ke sisi Allah? Apakah kalian menyangka bahwa penciptaan alam ini hanyalah bersifat lahiriah dan fisik semata?
Dalam ayat lain Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya tidaklah Kami menciptakan langit-langit dan bumi dan segala apa yang ada di antaranya dengan main-main. Tidaklah kami menjadikannya kecuali dengan Al-Haqq…”(QS. Ad-Dukhan: 38-39).
Menjawab tujuan penciptaan manusia dan jin, Allah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56).
Penyembahan dan ibadah yang tercantum dalam ayat di atas tentunya mempunyai makna yang bertingkat-tingkat, dan setiap orang boleh memaknainya sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pengalamannya. Dalam bahasa saintis, ibadah ini berarti kegiatan berevolusi secara alamiah. Mengikuti pandangan ini, penyembahan berarti gerak evolusioner manusia dari ketakteraturan (chaos) dan potensialitas murni menuju kepada Tuhan sebagai Perancang aturan dan Penyampai informasi.[4] Neils Gregersen menunjukkan bahwa pandangan semacam ini konsisten dengan perintah Tuhan dalam Kitab Kejadian (Genesis):
“Hendaklan air mengeluarkan sekawanan makhluk hidup…Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata, dan segala jenis binatang liar…Beranak cuculah dan bertambah banyaklah.”[5]
Seperti dengan mudah dapat kita lihat, ketidakteraturan atau potensi tidak-terukur merupakan penggerak seluruh makhluk berpegang dan bergelayut kepada Sang Pencpta. Betapapun makhluk atau hamba tidak akan mampu mendekat, tetapi fitrah semua makhluk ialah untuk tergerak mendekati Allah. Segala sesuatu, dengan caranya sendiri-sendiri, akan menghampiri Pusat Wujud agar senantiasa dapat terhubungkan dengan-Nya.
Namun demikian, hamba harus selalu sadar akan keterbatasan dirinya. Dalam menempuh lika-liku jalan menuju Pusat, hamba harus selalu menghayati sifat-hakikinya sebagai hamba, dan tidak lupa akan hakikat itu. Begitulah maksud kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib berikut:
“Siapa saja yang, dengan cara apa pun, memusatkan seluruh perhatiannya dan memutar otaknya, untuk mengetahui bagaimana cara-Mu menegakkan ‘arsy-Mu, bagaimana Kauciptakan segala ciptaan-Mu, bagaimana Kaubentangkan bumi-Mu di atas gelombang air…, siapa saja yang berusaha mengetahui itu semua, pandangannya pasti akan kembali dengan kegagalan, dalam keadaan letih lesu, akalnya tercengang terpesona, pendengarannya kebingungan dan pikirannya terheran-heran.”[6]
Kata-kata Sayyidina Ali tentang pandangan yang kembali dalam kepayahan dan keletihan ini sesungguhnya merujuk pada ayat berikut:
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.” (QS Al-Mulk: 4).
Ayat di atas hendak menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara sedemikian teratur dan sempurnanya sehingga tampak begitu misterius, tak teratur, chaotic. Misteri dan chaos inilah yang menggetarkan hati dan meluruhkan jiwa manusia, membuatnya terdiam dan terkesima, sehingga dia menjadi tertunduk diam dan tersungkur malu di hadapan Allah. Dalam keadaan seperti itu, manusia akan terus berupaya meneguhkan jatidirinya sebagai hamba, ‘abd, yang papa, lemah, bodoh dan sebagainya.
Menurut para sufi, dalam menapaki jalan menuju Allah, manusia akan menemukan Sifat-sifat Jalaliyyah (Keagungan) dan Jamaliyyah (Keindahan) Allah. Kedua kategori Sifat Ilahi ini akan melahirkan keseimbangkan antara ketakjuban dan keakraban, ketakutan dan harapan sang hamba kepada Allah. Ini berimplikasi bahwa hamba harus selalu membangun hubungannya dengan Allah secara seimbang. Hamba harus takut kepada Allah, tetapi tidak berputus-asa kepada-Nya.
Demikianlah, puncak tasawuf sebenarnya adalah realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap kehambaan kepada Allah. Dalam mencapai kehambaan itu, sebagian sufi (seperti Al-Ghazali) menekankan ketakutan, sementara sebagian lain (seperti Jalaluddin Rumi) menekankan kecintaan. Penekanan ini, lagi-lagi, sangat terkait dengan tingkat pemahaman dan pengalaman kita menuju kepada Allah. Oleh sebab itu, tasawuf Islam mengajarkan kepasrahan (islam) kepada Allah. Dan dalam keadaan pasrah inilah hamba akan merasa damai (salam) ketika menemukan sisi menakutkan dan sisi yang melahirkan cinta kepada Allah. Kepasrahan adalah syarat mutlak bagi manusia untuk dapat mempertahankan perilaku baik di dunia dan hati damai (qalbun salim) saat berjumpa dengan Allah (QS Asy-Syu’araa: 89). Itulah sebabnya Al-Quran menyebut Islam (kepasrahan dan penyerahan) sebagai agama yang dianut semua nabi. Allah berfirman:
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kalian sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh (muslim) kepada-Nya.’”
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah (hanyalah) Islam.” (QS Ali Imran: 19)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk ornag-orang yang merugi.” (QS Ali Imran: 85).
Islam tidak saja berarti kepasrahan (taslim), melainkan juga berarti kedamaian (salam), sebagaimana keimanan (iman) mengandung arti rasa aman dan tenteram (amn). Dengan demikian, kepasrahan dalam Islam tidak hanya akan melahirkan ketundukan dan kepasifan dalam diri seseorang, tetapi juga akan melahirkan keimanan yang menenteramkan dan menyejahterakan.[7] (MK)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Artikel mengenai evolusi pemahaman kaum materialis tentang alam semestas dan kegagalan mereka memaknai kehidupan dari waktu-ke waktu dapat diakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/kematian-manusia-sebuah-karikatur/
[2] Lihat, Ian Barbour, Juru Bicara Tuhan, Mizan, 2002, hal. 141.
[3] Lihat, Richard Dawkins, River out of Eden, Basic Books, New York, 1995, hal. 133.
* Para ahli makrifat mendefinisikan Keadilan Ilahi sebagai “I’tha` kulli dzi musta’iddin bima yasta’iddu lahu (memberi sesuatu sesuai dengan kapasitas dan potensinya)”, berbeda dengan keadilan manusia yang didefinisikan sebagai: “I’tha` kulli dzi haqqin haqqahu (memberikan hak kepada yang berhak).”
[4] Lebih jauh, lihat Ian Barbour, Op Cit, Bab 6.
[5] Ibid. hal. 297.
[6] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 26.
[7] Untuk lebih jauh mengenai buah dan pengaruh keyakinan agama pada seseorang. Lihat, Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, (Lentera, 2002), khususnya pada Bab 3. d0