Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (1)

in Studi Islam

Last updated on March 18th, 2019 05:16 pm

Istilah “kematian manusia” mengacu pada problem filosofis-eksistensial. Ketika identitas-diri perlahan-lahan  meleleh, dan tak ada “nama” yang bisa menandai (signify) eksistensi mereka. Dalam ngarai anonimitas yang menakutkan itu, mereka karam dan lenyap.”

—Ο—

Pengantar

Alih-alih merupakan sesuatu yang stagnan dan statis, istilah “kematian manusia” ini justru mengacu pada proses yang terus berlangsung. Karena itu, gejala “kematian manusia” ini adalah problem manusia masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Problem seperti ini kita sebut sebagai problem filosofis-eksistensial yang tak kenal batasan ruang dan waktu. Namun demikian, dalam paparan singkat ini saya akan memberikan bingkai historis tentang sebab-musabab dan dampak-luas kematian manusia ini.

Pemberhalaan benda (materialisme), manusia (humanisme), kekuasaan (kolonialisme), modal (kapitalisme), kenikmatan (hedonisme), dan sebagainya merupakan landasan filosofis dan intelektul bagi munculnya kebudayaan modern. Di sisi lain, revolusi industri yang berdampak pada pola konsumsi dan distribusi adalah landasan historis bagi perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan ini pada masa-masa selanjutnya.

Untuk membuktikan hipotesis tersebut, beberapa episode sejarah barat sejak era Renaisans akan saya paparkan sekadarnya. Karikatur ini kemudian akan saya pakai sebagai acuan untuk memahami korelasi modernisme dan kematian manusia. Akan tetapi, karena “kematian”itu bukan statis, melainkan proses yang terus berlangsung, maka dimungkinkah adanya tingkatan dan derajat kematian, sehingga ia membentuk sebuah kematian spiral.

Tidak sulit untuk membuktikan bahwa materialisme adalah ruh kebudayaan (massa) modern. Sebagai ide, materialisme menolak dan mengingkari  Kehadiran Ilahi.[1] Dan lantaran Kehadiran Ilahi merupakan dasar ontologis bagi spiritualitas dan moralitas, maka pengingkaran ini berimplikasi pada peniadaan aspek spiritual dan moral manusia.[2] Humanisme yang berpanjikan “manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri” ini tidak bisa dilepaskan dari rangkaian tragedi sepanjang paruh kedua milenium kedua sejarah manusia.

Dengan mengingkari Realitas Ilahi, humanisme Renaisans melempangkan jalan hawa nafsu untuk mengendalikan hidup manusia.[3] Kapitalisme, industrialisme, rasisme, dan kolonialisme – yang muncul pada momen historis yang beruntun – adalah akibat alamiah dari pengingkaran tersebut.

Manakala semua potensi dipakai untuk memburu kenikmatan yang “disodorkan”, pelaku (subjek) kebudayaan akan kehilangan rasionya. Realitas tak lagi dapat dirajut menjadi gubahan yang bermakna. Gelombang kebingungan, skeptisisme, sinisisme, dan relativisme pun akan silih berganti menerpa sukma.

Dalam keadaan demikian, identitas-diri perlahan-lahan akan meleleh. Tak ada “nama” yang bisa menandai (signify) eksistensi mereka. Dalam ngarai anonimitas yang menakutkan itu, mereka karam dan lenyap. Meminjam ungkapan  Martin Heidegger, keberadaan the”I” mereka lenyap dalam kebisingan the”They”. Di saat itulah, jiwa manusia mengalami apa yang disebut dengan alienasi (keterasingan-diri).[4]

Alienasi membuat jiwa mudah terbabit dalam lingkaran setan krisis mental. Konstruksi kepribadian pun remuk-redam tak beraturan. Kekalutan yang luar biasa menyerbu. Fenomena alam makin lama makin tampak acak dan kontradiktif. Di dalam jiwa orang seperti ini, alam raya tampil bak cermin-retak yang absurd dan fatalistik.

Penderita kemudian mengalami ketakmampuan menganggit pelbagai peristiwa secara rasional dan utuh (holistic). Kekusutan, kegalauan, dan kesumpekan menghunjam ke relung-relung sukma. Jiwa yang makin tak berdaya itu pun lantas menghabisi eksistensinya sendiri.[5]

Sebagai pusat hasrat (driving force) yang sangat agresif dan ofensif, tidak susah bagi hawa nafsu untuk menguasai keseluruhan jiwa yang sudah non-eksis itu. Dalam kendali hawa nafsu, berbagai daya (faculty) akan diperalat untuk merealisasikan hasrat-hasrat yang ada. Dan karena hawa nafsu adalah potensi hasrat yang tidak terbatas, terutama bila daya khayal (imagination) juga menunjangnya, maka semua menjadi “bisa diatur”. Realitas sebagaimana adanya bisa sengaja ditabrak untuk mewujudkan realitas sebagaimana diinginkan.

Dalam kendali hawa nafsu, akal (ratio) bertindak sebagai pembenar semua hasrat dan upaya pelampiasannya. Imajinasi, di sisi lain, akan bertindak mencari strategi, taktik, dan perangkat-perangkat “kreatif” lain yang ada dalam kapasitasnya untuk mensugesti jiwa bahwa semua hasrat – baik yang langsung berasal dari hawa nafsu maupun yang terangkai dari hawa nafsu, sensasi dan imajinasi – dapat diwujudkan.

Karakter paling menonjol dari kepribadian macam ini ialah obsesinya untuk mengubah semua “yang ada” menjadi fasilitator hasrat dan angan-angannya. Bisa dibayangkan betapa kepribadian seperti ini akan mati-matian menguasai segala sesuatu untuk memuaskan dahaga nafsunya.

Keadaan ini pastilah berujung kepada kehancuran daya analitis dan kritis penderita. Membangunkan dan menginsafkannya menjadi nyaris mustahil. Diri hakikinya berubah menjadi diri palsu yang raison d’etre-nya tak lain ialah mengikuti desakan hawa nafsu dan bujukan imajinasi.[6](MK)

Bersambung ke:

Kematian Manusia : Sebuah Karikatur (2)

Catatan kaki:

[1] Dalam Ushul-e Falsafe wa Mazhab-e Realism (Dasar-dasar Filsafat dan Mazhab Realisme) dan Dawafi’ Nahwal Maddiyyah (Faktor-faktor Penyokong Materialisme), Murtadha Muthahhari menganggap bahwa materialisme lebih sebagai tendensi ketimbang pandangan filosofis yang sistemik. Dalam kenyataannya, tokoh-tokoh materialisme modern memang lebih suka menggunakan agitasi dan memanfaatkan kedangkalan berpikir orang awam mengenai realitas ketimbang memberikan penjelasan-penjelasan filosofis yang mendalam. (Contoh  menarik yang baru saya temukan berkaitan dengan ini ialah kandungan Madilog-nya Tan Malaka). Karenanya, lagi-lagi menurut Muthahhari, materialisme tidak pernah berhasil tampil sebagai sebuah tesis yang utuh dalam sejarah manusia. Sebaliknya, ia lebih sebagai tren dan tendensi yang mengemuka karena berbagai kondisi circumstantial yang melingkupi Abad Pertengahan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Baqir al-Shadr dalam Our Philosophy, Iran, Ansarian Publications 1989, Khususnya hlm. 9-14.

[2] Untuk perenungan yang provokatif seputar masalah ini, lihat: Fyodor Dostoyevski, The Brotherd Karamazov, terjemahan constance Garnett, Penguin Books, London, 1974. Edisi digital dapat di-download dari www.cce.org.

[3] Sepanjang tulisan ini, hawa nafsu tidak merujuk kepada makna berahi seksualnya semata, melainkan kepada semua dorongan dan hasrat yang menyembul dari dalam diri manusia. Apakah itu yang bersifat seksual-biologis, maupun mental-psikis. Sebagai pusat driving force, hawa nafsu terutama disokong oleh pengalaman sensasional-sensorik dan pergumulan ragawi (corporated intimacy). Pada tahap yang lebih subtil, imajinasi berperan menambah daya hawa nafsu dengan membiaskan berbagai angan-angan (expectations) dan ambisi. Akan sangat menarik bila kita mengaitkan pengertian hawa nafsu di atas dengan berbagai firman Allah tentang sifat dunia yang penuh dengan kealpaan, permainan (impresi), perhiasan (ekspresi), dan gengsi (lahw, la’ib, zinah, tafakhur). Lebih lanjut, lihat : Mahdi Al-Ashify, Hawa Nafsu, YAPI-Bangil, 1997.

[4] Martin Heidegger, Time and Being, New York, Harper and Row, 1962.

[5] Untuk bacaan menarik seputar ini, rujuk: Jean-Paul Sartre, Nausea, London: Penguin Books, 1965.

[6] Untuk kajian filosofis-etis yang menarik ihwal diri-hakiki dan diri-palsu, lihart: Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak,  Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 189-206.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*