Kematian Manusia : Sebuah Karikatur (2)

in Studi Islam

Last updated on March 18th, 2019 05:16 pm

Humanisme Renaisans memicu terjadinya pemujaan tak terkendali pada individu. Alam dieksploitasi untuk memuaskan syahwat manusia. Posisi sakral kebijaksanaan digantikan oleh matematika, dan nalar kuantitatif mengeliminir makna-makna kualitatif.”

—Ο—

Renaisans

Menurut Jostein Gaarder, Renaisans menyuguhkan pandangan baru ihwal manusia: humanisme. Berbeda dengan humanisme Abad Pertengahan yang memberi tekanan pada hakikat manusia sebagai pendosa, humanisme Renaisans menganggap manusia sebagai mahkluk yang sangat unggul dan berharga.[1]

Humanisme Renaisans menitikberatkan kesadaran individual: manusia bukan hanya homosocial; melainkan juga individu-individu yang unik. Gagasan ini lantas memompa pemujaan yang tak terkendali pada keunggulan ‘tak terbatas’ individu manusia.[2]

Tak pelak lagi, ini mendorong manusia untuk meneguhkan hasrat-hasratnya. Manusia ada bukan semata-mata demi, dengan, dan beserta Tuhan. Manusia bukan budak Tuhan. Manusia harus disadarkan agar ia bisa menjadi Ubermensch; manusia mesti bertindak demi keuntungan duniawinya sendiri-sendiri.[3] Dan karena tuhan sebagai suatu batasan “telah mati”, maka kinilah saatnya pengumbaran dan pemanjaan diri.[4] Moralitas? Hanyalah mitos yang direkayasa untuk membendung fantasi dan mengurung manusia dalam suatu penjara yang sempit.[5]

Para humanis ini bertindak seakan-akan seluruh dunia telah dibangunkan dari mimpi-buruk yang amat panjang. Itulah yang mendorong mereka membuat istilah Dark Ages (Abad-abad Kegelapan) untuk menyebut abad-abad antara zaman Yunani kuno dan zaman mereka sendiri. Timbul perkembangan yang tiada tara dalam kehidupan material dan jasmani. Ilmu pengetahuan pragmatis-praktis-teknis berkembang secara pesat.

Selain tentang manusia, humanisme Renaisans juga menyodorkan pandangan baru mengenai alam dan kehidupan di dalamnya. Kehidupan ini bukanlah persiapan untuk kehidupan setelahnya. Karena toh “tidak diperhitungkan”, maka alam boleh dan harus dieksploitasi untuk memuaskan syahwat manusia.[6]

Francis Bacon (1561-1626) menandaskan, untuk mendapatkan segenap manfaat alam, nilai pragmatis dan teknis dari ilmu pengetahuan harus ditonjolkan. Sesuatu yang mulanya suci dan luhur ini pun lantas berbalik menjadi pendukung kekuasaan dan kejayaan kelompok tertentu. Bacon menyebut pandangan ini dengan instrumen baru, Novum Organum (1620). Dan instrumen baru inilah yang secara formal-logis melambari tendensi yang mewabah pada waktu itu. Seluruh perkembangan teknis (teknologis) yang terjadi kemudian mensyaratkan kehadiran sains dalam konteks ini. Dan ini semakin menjauhkan manusia dari tradisi.[7]

Metode yang memang sejalan dengan zeitgeist ini, mendorong para ilmuwan untuk lebih bertumpu pada matematika dan pengukuran. Posisi sakral yang sebelumnya diduduki oleh kebijaksanaan, kini diberikan kepada matematika.[8] Semua data dan pengalaman harus bisa dijabarkan dalam rumusan matematis yang rigorous.

Ukurlah apa yang dapat diukur dan buatlah agar dapat diukur sesuatu yang tidak dapat diukur,”kata Galileo Galilei. Galileo juga mengatakan bahwa buku alam ditulis dengan bahasa matematika. Metode matematika kuantitatif ini menggiring orang kepada Revolusi Industrial, manakala pertimbangan kuantitatif (banyak-sedikit, besar-kecil, untung-rugi) menggusur pertimbangan kualitatif (benar-salah, baik-buruk, indah-jelek). Bersamaan ditemukannya pelbagai terobosan teknis, posisi tak tergugat dari metode empiris semakin mantap.

Namun demikian, karena alam pada dasarnya tidak kuantitatif, maka sejak masa itu pula manusia bergerak di jalan yang menyimpang dari tao alam. Dan, makin cepat perjalanan ditempuh, makin menyimpang pula manusia dari realitas alam yang sesunggguhnya.[9] (MK)

Bersambung ke:

Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (3)

Sebelumnya :

Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (1)

Catatan kaki:

[1] Jostein Gaarder, Shopie’s World, merujuk pada terjemahan Indonesiannya ‘Dunia Sophie’, Mizan, 1996.

[2] Ajaran Freidreich Wilhelm Nietzsche mengenai Ubermensch  adalah contoh ekspresif dari humanisme Renaisans. Lebih lanjut, lihat: F. W. Nietzsche, Maka Berbicaralah Zarathustra, terjemahan Damin Toda, Nusa Indah, 2000, hlm. 30-38.

[3] Ibid. hlm. 146. Di akhir buku kesatu, Nietzsche menulis begini: “Matilah semua Allah: kita inginkan kini, agar hiduplah Sang Purna Manusia (Ubermensch)!”

[4] F. W. Nietzsche, Senjakala, Yayasan Bentang Budaya, 2000, hlm. 74 Teks aslinya berbunyi begini: “Sampai saat ini konsep ‘Tuhan’ telah menjadi keberatan terbesar terhadap eksistensi … Kita tolak Tuhan; dalam menolak Tuhan kita menolak pertanggungjawaban: hanya dengan melakukan itu kita peroleh kembali dunia.”

[5] Nietzsche menyatakan bahwa fakta-fakta moral dan religius adalah nonsense, lihat: Senjakala, hlm. 63-75-76.

[6] S.H. Nasr, The Encounter of Man and nature, Cambridge, Massachusetts, 1968, hlm. 97.

[7] Pengertian tradisi di sini tentunya tidak terbatas pada adat-istiadat, melainkan juga mencakup semua ajaran kearifan dalam konteks profetik. Untuk kajian menarik mengenai makna tradisi ini, lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, 1996, hlm. 22-24. Ihwal kosmologi Islam, lihat: S. H. Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and methods Used for its Study by the Ikhwan al-Shafa, al-Biruni, and Ibn Sina, Thames & Hudson, London, 1978.

[8] Matematika di sini berarti model berpikir kuantitatif-analitis yang mencakup aritmatika, aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, probabilitas, statistika, dan teori dan logika himpunan.

[9] Dalam The Tao of Islam (Mizan 1996), Sachiko Murata menjelaskan pandangan Islam tentang alam secara amat mengesankan. Tulisnya: “Dalam pandangan Muslim, tidak dapat menjadi Muslim dan sekaligus melihat kosmos “secara obyektif” dan “secara ilmiah”, sebab itu akan mengisyaratkan adanya jarak dan ketidakpedulian, seakan-akan alam raya itu bisu, tanpa membawa pesan moral atau spiritual sama sekali.” hlm. 169.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*