Diskursus Sufi (4): Syariat Menurut Para Sufi

in Tasawuf

Last updated on March 26th, 2019 10:39 am

Bagi sufi sejati, syariat adalah thariqah yang sesungguhnya. Untuk mencapai haqiqah atau hakikat, unsur keseimbangan antara cinta dan amarah, benci dan sayang, derita dan senang yang terdapat dalam syariat tidak bisa ditinggalkan.

Gambar ilustrasi. Sumber:
NanaSuryana.Com


Kehadiran Ilahi (Divine Presence) mempunyai dua sisi penampakan atau manifestasi; Jalal (keagungan) dan Jamal (keindahan). Sang Penyiksa, Pemarah, Pemberi ancaman, Pembalas, Penghancur, dan Pembuat makar (Khair al-makirin) adalah bagian dari manifestasi sifat-sifat Jalaliyyah  yang menunjukkan keagungan dan kebesaran Allah. Sementara itu, sifat Pengasih-penyayang, Lathif (lembut), Penyabar, Pemberi ampun, dan Penerima doa adalah bagian dari manifestasi sifat-sifat Jamaliyyah yang menunjukkan keindahan dan kelembutan Allah.

Menurut para sufi, kedua sisi ini sebenarnya tak terpisahkan. Keduanya sama-sama bersumber dari Zat Mahasuci yang tunggal. Akan tetapi, keindahan Allah kerap tersembunyi di balik keagungan-Nya, dan demikian pula sebaliknya. Dan keseimbangan kedua sisi kehadiran Ilahi ini adalah hakikat dari keadilan Ilahi menurut pandangan para sufi.

Dalam buku Jamal al-Mar’ah wa Jalaluha (Keindahan dan Keagungan Perempuan), Syaikh Abdullah Jawadi Amuli memberikan contoh “keseimbangan” ini dengan ayat-ayat tentang qishash dan difa’ (pertahanan diri). Dalam semua ayat itu, menurut Amuli, Allah menegaskan bahwa keagungan Ilahi itu tak lain ialah sisi lain dari kasih sayang dan keindahan-Nya.[1]

Sebagai ilustrasi, Allah berfirman:

“Pada qishash itu terdapat kehidupan bagi mereka yang berakal.”

(QS. Al-Baqarah: 179)

Dengan ayat ini Allah hendak mengatakan bahwa pelaksanaan qishash (yang merupakan manifestasi dari sifat murka Allah) sebenarnya justru untuk memelihara kehidupan umat manusia (yang merupakan manifestasi dari sifat rahmat Allah).

Eksekusi fisikal pada ruang dan waktu yang amat terbatas ini sebenarnya mengandung revitalisasi moral, mental, spiritual, dan sosial bagi segenap manusia pada rentang ruang dan waktu yang tidak terbatas. Individu yang mati tereksekusi akan menjadi sekoci penyelamat kesinambungan kehidupan sosial. Kematian spasio-temporal individu yang membawa berkah begitu banyak ini merupakan manifestasi kasih sayang dan Keindahan Ilahi yang tiada berhingga. Amarah Allah atas terbunuhnya manusia tak berdosa ini justru membawa rahmat yang terus menerus.

Hal yang sama juga ditunjukkan pada ayat yang berkonteks perintah berperang melawan agresi musuh. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian untuk sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian (berperang melawan musuh-musuh Allah), dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendindingi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal: 24)

Meski tampak sebagai manifestasi Keagungan Allah, bertempur melawan para agresor itu bakal diikuti dengan kedamaian di atas prinsip kebenaran, persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan individual dan sosial yang merupakan manifestasi Keindahan dan Kelembutan Allah.

Bagi para sufi, semua perintah Allah akan selalu membawa “kehidupan” bagi manusia. Kehidupan yang tidak saja bersifat material dan fisikal, melainkan lebih utama lagi ialah kehidupan yang bersifat moral dan spiritual. Ayat yang turun pada konteks pengorbanan dan perlawanan di jalan kebenaran itu menandaskan bahwa mengikuti perintah jihad akan menjamin kehidupan manusia. Setelah melaksanakan perintah pengorbanan dan peperangan di medan tempur menghadapi kezaliman, kehidupan dan rezeki yang berlimpah akan datang tanpa henti.

Allah berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu binasa; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Ali Imran: 169-170)

“Hukum keseimbangan” antara amarah dan rahmat, keagungan dan keindahan, penderitaan dan kesenangan tidak hanya berlaku pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan berlaku pada semua bagian dan perintah syariat. Karenanya, menurut para sufi, semua iradah (kehendak) terselubung dalam karahah (kebencian) dan semua isytiaq (kerinduan) terselubung dalam istiya’ (keengganan).

Allah berfirman: “Diperintahkan atas kalian semua untuk berperang dan hal itu tidak menyenangkan kalian. Mungkin saja kalian membenci sesuatu yang sebenarnya baik buat kalian. (QS Al-Baqarah: 216)

Ayat ini ingin menekankan bahwa perang yang tampak menimbulkan kerusakan, justru menyimpan kebaikan bagi umat manusia. Mengemban berbagai kesulitan dalam mengarungi kehidupan keluarga memang tampak tidak menyenangkan, tapi di dalamnya terkandung kebaikan dan kebahagiaan yang tiada tara. Allah berfirman:

“…Kemudian, bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin saja kalian tidak menyukai sesuatu (namun) Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak sekali.” (QS An-Nisa: 19)

Atas dasar itu, kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an menyatakan: “Sesungguhnya Allah ingin mensucikan kalian,” saat memerintahkan wudu, mandi dan tayamum. Ini bermakna bahwa perintah wudu secara zahir (yang tampak) tersebut berdampak pada penyucian rohani yang melestarikan keindahan kalbu. Allah berfirman:

Allah tidak ingin menyulitkan kalian, tapi Dia ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya pada kalian supaya kalian bersyukur.” (QS Al-Maidah: 6)

Demikian juga halnya dengan zakat. Secara material dan hitung-hitungan ekonomis, zakat adalah pengurangan harta. Tetapi, secara spiritual, ia adalah sumber perkembangan dan pertumbuhan harta. Allah berfirman,

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS Al-Baqarah: 276)

Dalam ayat lain, Allah berfirman, “…Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kalian maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang mendapatkan kelipatgandaan.” (QS Ar-Rum: 39).

Pendek kata, menurut para arif dan sufi, seluruh taklif (perintah) Ilahi yang memberatkan dan menyusahkan itu adalah manifestasi Keagungan Ilahi yang menyimpan ihya’ (penghidupan) sebagai manifestasi Keindahan-Nya. Karena yang hakiki menurut para sufi itu adalah apa yang di sisi Allah, maka apa yang tidak mulia di sisi-Nya adalah tidak mulia sebenar-benarnya.

Anggapan para sufi-palsu (pseudosufi) bahwa meninggalkan syariat dapat mempercepat pencapaian haqiqah dengan demikian terbantah sudah. Karena, bagi sufi sejati, syariat adalah thariqah yang sesungguhnya. Untuk mencapai haqiqah atau hakikat, unsur keseimbangan antara cinta dan amarah, benci dan sayang, derita dan senang yang terdapat dalam syariat tidak bisa ditinggalkan.

Lebih dari itu, para penempuh jalan spiritual (salik) akan merasakan kebahagiaan puncak dalam penghambaan mereka kepada Sang Kekasih. Penyair sufi terkenal dari Persia, Sa’di, menulis,

Ganj wa mar, gul wa khar, gham wa syady, bohaman.”

(Harta karun dan ular, bunga dan duri, kebahagiaan dan kesedihan,

adalah tak terpisahkan).[2]

Penyair sufi lain melantunkan,

Gelak tawa adalah kabar kebaikan dan rahmatnya

Tangisan adalah keluhan murkanya

Dua nada alam yang bertentangan ini

(Sama-sama merupakan) nyanyian satu Penawan hati.[3]

Gagasan serupa terkandung dalam syair berikut,

Ibarat pancaran sinar cahaya,

                terpisah dari mentari padahal tidak terpisah

Begitu pulalah alam raya,

                tanda Allah padahal bukan Allah

Lihatlah pantulan kalian di sebuah kaca cermin,

                bakal tampak (gambar) kalian padahal bukan kalian

Ke arah mana pun kalian mengamati,

                pasti akan terkuak (kehadiran) Penyaksi nan tersembunyi

Bagaimana bisa orang bertanya,

                di manakah Dia ada dan di mana Dia tiada?

Darwis, sang raja di negeri orang-orang miskin

Tampak bagai pengemis di mata orang kebanyakan

Padahal, dia bukan pengemis dalam kenyataan

Ketiadaan ini (kehidupan dunia¾Penulis) muncul bagai keberadaan

yang punya ciri keabadian dalam pandangan daku dan kalian

nyatanya ia benar-benar tidak punya keabadian. (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syaikh Abdullah Jawadi Amuli, Jamal al-Mar’ah wa Jalaluha (Keindahan dan Keagungan Perempuan), Beirut: Dar Al-Huda 1412 H. Bab 1.

[2] Murtadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, (Mizan, 2002), hal. 129.

[3] Ibid. hal. 130

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*