Diskursus Sufi (11): Takwa (1)

in Tasawuf

Last updated on April 17th, 2019 07:12 am

Ungkapan “ittaqullah” (bertakwalah kepada Allah), sering diterjemahkan menjadi “takutlah kepada Allah”. Padahal, para ahli bahasa mengatakan bahwa arti “takwa” adalah “menjaga” dan “memelihara”. Jadi arti yang lebih tepat dari ungkapan itu ialah “peliharalah dirimu dari pembalasan Allah”

Gambar ilustrasi. Sumber:
an-najah.net

Salah satu istilah yang lazim dipakai oleh para sufi dan ulama akhlak adalah kata taqwa (selanjutnya ditulis, takwa) . Dalam Al-Qur’an dan teks-teks hadis, baik sebagai kata kerja (fi’il) ataupun kata benda (ism), kata takwa telah disebut kira-kira sebanding dengan kata iman dan lebih banyak dari penyebutan kata shaum dan hajj, misalnya. Hal itu menunjukkan tinggi dan pentingnya kedudukan takwa dalam pandangan Islam.

Di dalam kitab Nahj Al-Balaghah terdapat satu khutbah panjang yang bernama Khuthbah Al-Muttaqin. Khutbah ini disampikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sebagai jawaban atas permintaan seseorang yang menginginkan penjelasan tentang sifat-sifat seorang yang bertakwa. Pada mulanya Imam menghindar untuk memberi jawaban dan hanya memberi tiga atau empat kalimat jawaban. Namun, orang yang bernama Hammam bin Syarih itu tidak merasa puas dengan jawaban singkat beliau dan berkeras meminta keterangan selanjutnya. Maka, berbicaralah Amirul Mukminin menyangkut karakterisitk spiritual, intelektual, moral dan tindak tanduk orang-orang yang bertakwa sampai lebih dari seratus sifat. Para sejarawan menulis bahwa khutbah Amirul Mukminin berakhir bersamaan dengan jatuh pingsannya Hammam.

Secara bahasa, kata takwa berasal dari akar kata waqa, yang berarti “menjaga” dan “memelihara”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, belum terlihat ada orang yang menerjemahkan takwa dengan arti “memelihara” atau “menjaga”. Pada umumnya, orang Indonesia memadankan “ketakwaan” dengan “sikap menjauhi larangan Allah”. Bila kata ini digunakan dalam bentuk kata kerja perintah, maka orang cenderung menerjemahkannya menjadi “takut”. Ungkapan ittaqullah, umpamanya, sering diterjemahkan menjadi “takutlah kepada Allah”. Padahal, para ahli bahasa mengatakan bahwa arti “takwa” adalah menjaga dan memelihara.

Penjagaan dan pemeliharaan diri dari satu hal boleh jadi memang erat kaitannya dengan rasa takut terhadap atau upaya menjauhi hal yang dapat merusak. Jadi, dapatlah dipahami mengapa pada beberapa tempat kata takwa secara implikatif diartikan “menjauhi” atau “takut”. Tetapi, kita harus sadar bahwa maksud pokok dari kata itu adalah “memelihara” dan “menjaga”. Apa yang membuat kita membatasi arti ittaqullah pada “takutlah kepada Allah”?! Arti yang lebih tepat dari ungkapan itu ialah “peliharalah dirimu dari pembalasan Allah”. Oleh karena itu, terjemahan yang tepat dari kata “takwa” bukan “menjauhi” atau “takut”, melainkan “menjaga dan memelihara diri”.

Raghib Al-Isfahani dalam kitabnya yang termasyhur, Al-Mufradat li Alfadz Al-Quran mengatakan, “Kata wiqayah berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang menyakitkan. Adapun takwa berarti menempatkan diri di dalam penjagaan dari sesuatu yang menakutkan. Kata takwa dalam pandangan syariat berarti menjaga diri dari hal-hal yang akan menyeret manusia kepada perbuatan dosa dan meninggalkan hal-hal yang dilarang dan diharamkan olehnya.” Bahkan, secara gamblang Raghib mengatakan bahwa arti “takwa” ialah menjaga dan memelihara diri, sementara penggunaan kata “takwa” dalam arti “takut” adalah penggunaan majazi atau metaforis.[1]

Berkenaan dengan rasa takut kepada Allah SWT, mungkin sebagian kita bertanya-tanya, apa maksud takut kepada Allah? Apakah Allah adalah Dzat yang menakutkan? Bukankah Allah adalah Dzat Mahasempurna dan layak dicintai? Dan mengapa mengapa manusia harus takut kepada Allah SWT? Dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, kita mengatakan bahwa memang Allah adalah Dzat yang mempunyai sifat-sifat baik yang tidak menyebabkan atau mendatangkan rasa takut. Takut kepada Allah SWT maksudnya ialah takut kepada hukum keadilan Allah. Di dalam suatu doa disebutkan:

Wahai Dzat yang tidak diharapkan dari-Nya kecuali karunia-Nya, dan juga tidak ditakuti dari-Nya kecuali keadilan-Nya.

Demikian juga dalam doa lain disebutkan:

Mahasuci Engkau yang tidak perlu ditakuti kecuali keadilan-Mu, dan tidak diharapkan kecuali karunai dan kebaikan-Mu.”

Keadilan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Manusia merasa takut kepada hukum keadilan karena ia sadar telah berbuat kesalahan atau melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu, para sufi mengajarkan bahwa seorang pelancong spiritual harus mempunyai keseimbangan dalam merasa cemas dan berharap (khawf dan raja’). Ia mesti senantiasa berharap dan cemas, berpikir positif sekaligus negatif secara seimbang. Maksudnya, seorang Muslim harus senantiasa takut dan khawatir terhadap pembangkangan hawa nafsu dan kecenderungan jahat dalam dirinya, supaya kendali urusan tidak terlepas dari genggaman akal dan keimanan. Tetapi, pada saat yang bersamaan, dia harus tetap merasa yakin dan berharap akan kebaikan dan ampunan Allah SWT dengan memohon perlindungan dari-Nya.

Imam Ali Zainal Abidin dalam doa yang diriwayatkan oleh Abu Hamzah Ats-Tsumali mengatakan:

Tuhanku, aku berdoa pada-Mu dengan penuh rasa gentar, cinta, harapan dan kecemasan. Tuhanku, aku takut bila melihat dosa-dosaku, Namun, jika aku melihat kedermawanan-Mu, aku menjadi penuh harapan.[2] (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Raghib Al-Ishfahani, Mufradat li Alfadz Al-Quran, Dar Al-Fikr, 1409 H., entri takwa. 

[2] Lihat, Doa Puncak Pengampunan dan Penghambaan, Yayasan Fatimah, 2001, hal. 16. lorful;

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*