Diskursus Sufi (10): Murah Hati dan Kikir

in Tasawuf

Last updated on April 12th, 2019 06:24 am

Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang murah hati yang bodoh lebih dicintai oleh Allah daripada ahli ibadah yang kikir.

Gambar ilustrasi. Sumber:
beritagar.id

Dalam Ar-Risalah, Al-Qusyairi mengatakan bahwa para sufi tidak membeda-bedakan antara kedermawanan (sakha’) dan kemurahan hati (jud), sebab esensi keduanya adalah sama, yaitu kerelaan mengorbankan sesuatu, tanpa diiringi rasa kehilangan atau pun kesusahan. Dan karena menyangkut kerelaan berkorban, maka kedua tindakan ini menjadi latihan spiritual yang penting bagi para murid (peminat jalan spiritual).[1]

Kerelaan berkorban akan melatih diri untuk melepaskan unsur-unsur lempung dari jiwa, sehingga jiwa dapat dengan leluasa melenggang menapaki tahap-tahap transendensi dan kesempurnaan spiritual. Nabi saw bersabda:

Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang murah hati yang bodoh lebih dicintai oleh Allah daripada ahli ibadah yang kikir.[2]

Dalam perspektif sufi, “kedekatan” ini bermakna metafisikal. Orang yang rela mengorbankan materi demi sesuatu yang nonmaterial telah mulai mengaktualkan potensi rohani di dalam jiwanya. Dan karena roh adalah hakikat manusia yang bersifat Ilahi (Lihat: QS Al-Hijr: 29 atau Shad: 72), maka orang seperti ini pastilah “dekat” dengan keilahian, “dekat” dengan kemanusiaan dan kesurgawian.

Sebagian sufi meletakkan sakha` (kemauan berinfak) di tahap paling awal, disusul kemudian dengan jud (kemurahan hati) dan terakhir adalah itsar. Demikian ini karena sakha` berarti memberi sebagian dan menyimpan sebagian yang lain, jud berarti memberi bagian yang lebih besar dan menyisakan sedikit untuk diri sendiri, sedangkan itsar berarti memberikan semua yang dimiliki tanpa memperhitungkan diri sendiri. Berkenaan dengan itsar, Allah Mahasuci berfirman:

Mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka berada dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Dalam kaitan ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:

Orang yang paling mulia di dunia adalah orang yang murah hati, dan orang yang paling mulia di akhirat adalah orang yang bertakwa.

Seolah menjelaskan mengapa orang murah hati menjadi mulia di dunia, Sayyidina Ali berkata:

Kemurahan hati adalah tameng penutup, sedangkan akal adalah pedang yang amat tajam. Oleh sebab itu, tutupilah kekurangsempurnaan pekertimu dengan kemurahan hatimu, dan perangilah hawa nafsumu dengan akalmu.[3]

Dalam ajaran para sufi, kemurahan hati dan kedermawanan dilawankan dengan sifat kikir (bukhl). Kekikiran terjadi akibat ketertipuan dan kehilangan diri. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah mengibaratkan orang kikir dengan orang yang kehilangan jati dirinya, lantaran dia telah mengubah eksistensi dirinya menjadi materi dan harta. Bila sedikit dari materi itu berkurang, maka jiwanya pun seakan ikut berkurang. Terasa olehnya bahwa kekurangan materi yang sedikit itu bagai kehilangan yang hakiki, yang bersentuhan langsung dengan eksistensi dirinya. Saking karamnya si kikir itu dalam kepemilikan harta bendanya, dia pun berkehendak mengorbankan dirinya demi materi dan tidak sebaliknya. Dengan sukarela, orang kikir akan mengorbankan seluruh hidupnya, kehormatannya, diri dan keluarganya demi materi.

Namun demikian, ironisnya, mengikuti kata-kata Sayyidina Ali, “Dia terus menjalani kemiskinan yang berusaha dihindarinya dan melupakan kekayaan yang sebenarnya justru dicarinya.” Ironi ini, menurut Muthahari, terjadi bila kita artikan kemiskinan sebagai tidak memiliki apa-apa, materi maupun nonmateri, maka orang kikir adalah orang miskin yang sesungguhnya. Dengan bersikap kikir, seseorang akan tercegah dari kenikmatan material, penghargaan sosial (social credit), sekaligus dari kekayaan spiritual. Dia akan merasakan kerugian yang sebenar-benarnya. Karena itu para sufi meletakkan kekikiran sebagai stadium menengah dari penyakit cinta dunia.

Dalam konteks yang sama, Sayyidina Ali pernah bertutur: “Wahai anak Adam, bila kau menyimpan sesuatu yang melebihi kebutuhanmu, maka sesungguhnya kau telah menjadi juru simpan bagi orang lain.” Karena, seperti kata beliau lagi, “Setiap orang mempunyai dua sekutu dalam hartanya: ahli warisnya dan pelbagai bencana yang pasti akan menimpanya.

Kemurahan hati, juga kekikiran, tidak memandang status sosial-ekonomi seseorang. Dengan hanya berempati, bersimpati, mengucapkan nasihat, memberi tabik, melempar senyum, menjenguk orang sakit, menyambung tali persaudaraan yang terputus, dan semisalnya, seseorang telah berlaku murah hati. Demikian ini karena masing-masing tindakan tersebut memerlukan pengorbanan, apakah pengorbanan pikiran, sentimen, waktu, tenaga dan sebagainya.

Mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip dua perkataan dari Sayyidina Ali yang memang sangat banyak menyinggung soal ini. (1) “Janganlah sekali-kali malu memberi walaupun sedikit, sebab tidak memberi sama sekali pasti lebih sedikit nilainya.” (2) “Kedermawanan yang sebenarnya ialah yang dilakukan secara spontan. Adapun jika didahului oleh permintaan, maka yang demikian itu hanyalah penutup rasa malu atau upaya penyelamatan diri dari celaan dan perasaan berdosa.” (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Al-Qushairi, The Principles of Sufism, Mizan Press, Berkeley, 1990, hal. 248.

[2] Ibid.

[3] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 131.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*