Pengetahuan manusia akan keberadaan Tuhannya adalah kesadaran fitri. Meski kerap kali kesadaran itu “tergantikan” oleh tuhan-tuhan palsu, tapi fitrah manusia menuntut kembali pada hakikatnya sebagai hamba yang hanya merunduk rendah di hadapan Tuhan sejati. Dan sebelum kehambaan (‘ubudiyyah) dan penghambaan (‘ibadah) kepada Tuhan dan Pemilik Sejati itu tercapai, manusia akan senantiasa berada dalam keadaan sesat, sakit, lalai, keluar dari keasliannya, hina dina dan sebagainya.
Pada surah Ar-Rum (30) ayat 30 Allah berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada ad-din selurus-lurusnya, fithrah Allah yang dengannya Dia menciptakan (f-th-r) manusia, tiada perubahan pada fithrah Allah, itulah ad-din yang kukuh meskipun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.”
Ayat di atas menyebut tiga idiom yang saling berkaitan. Idiom pertama ialah wajh (wajah). Dalam Al-Futuhaat al-Makkiyyah, Bab Taharah, dalam soal yang berkaitan dengan membasuh wjaah, Ibn Arabi mengatakan;
“Wajh (wajah) seseorang – atau benda – sesungguhnya berarti hakikat, zat dan jati dirinya. Karenanya, dapatlah orang mengatakan: wajah suatu benda, wajah suatu masalah atau wajah suatu hukum untuk merujuk pada hakikat, zat dan inti dari apa-apa yang disebutkan. Allah SWT berfirman, “Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri memandangi Tuhan mereka. Dan ada pula wajah-wajah mereka yang muram durja. Mereka menduga akan datangnya malapetaka” (QS Al-Qiyamah: 22-25). Jelas bahwa wajah yang berada di bagian depan “manusia” tidak bisa “menduga”, karena tindak menduga-sangka hanya bisa dilakukan oleh jiwa manusia.”[1]
Idiom kedua ialah ad-din. Menurut Ar-Raghib Al-Ishfahani, ad-din dipakai untuk menunjukkan arti ketaatan dan kepatuhan. Kaitannya dengan agama (millah) ialah pada sisi ketaatan yang terdapat di dalamnya. Sebagian arti kata ad-din dalam Al-Quran merujuk kepada arti asalnya dan sebagian lain merujuk kepada ketaatan dalam beragama, khususnya ketaatan dalam beragama Islam.[2]
Idiom ketiga ialah fithrah (fitrah). Fitrah berasal dari tiga akar huruf ف ط ر yang berarti membentangkan atau menghamparkan sesuatu. Bila dikaitkan dengan Tuhan, maka kata ini berarti menciptakan sesuatu dengan pola dasar tertentu. Dengan demikian, ungkapan “fitrah Allah pada manusia” dalam surah Ar-Rum ayat ke-30 di atas berarti pola dasar yang dengannya Tuhan menciptakan manusia.
Ayat ke-30 surah Ar-Rum itu, pertama-tama, berbicara kepada jati diri kita dengan kata-kata: “Hadapkanlah wajahmu!” Itulah ungkapan yang dalam bahasa Arab dipakai untuk menarik perhatian dan membangkitkan kesadaran. Selanjutnya, ayat itu berbicara mengenai ad-din, yakni ketaatan dan kepatuhan abadi manusia yang juga barangkali mengacu kepada perjanjian primordial antara manusia dan Tuhannya yang tertera dalam ayat 172-173 surah Al-A’raf. Kemudian ayat itu mengaitkan ad-din dengan fitrah yang dengannya Allah menciptakan manusia. Dan terakhir ayat itu menyimpulkan bahwa penghadapan wajah kepada ketaatan itu merupakan fitrah (baca: keadaan sejati) yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Ada dua ciri khas fitrah manusia. Pertama, ia bukan merupakan hasil upaya atau rekayasa. Sebaliknya, ia ada pada kedalaman manusia secara primordial dan intrinsik. Kedua, fitrah ada pada segenap individu manusia, terlepas dari segala perbedaan yang ada pada mereka. Syaikh Taqi Mishbah Yazdi menyebutkan dua manifestasi fitrah: pertama pada tataran pengetahuan dan kesadaran; dan kedua pada tataran keinginan dan kecenderungan.[3]
Selanjutnya, fitrah manusia mengantarkannya kepada kehambaan dan penghambaan. Sejenak saja manusia menengok pada dirinya, ia akan menemukan hakikat kehambaan seperti terungkap pada kekurangan, ketergantungan, kefakiran, kehinaan dan kesementaraan yang menyelubungi hidupnya. Dan hakikat itulah yang akan mengarahkannya kepada kesadaran dan penghayatan mengenai Pencipta alam. Sedikit teguran dan gugahan sudah memadai untuk menyadarkan seorang manusia akan keberadaan dan kehadiran Ilahi di alam semesta. Bagi para sufi, ada dua jenis teguran: yang diupayakan oleh manusia itu sendiri dengan perenungan dan pengendalian diri; dan yang dilakukan langsung oleh Tuhan melalui berbagai kejadian dan peristiwa.
Sekali waktu pernah Ja’far Ash-Shadiq diminta orang untuk menguraikan tentang Tuhan sehingga seakan dia melihat-Nya.
Imam bertanya: “Pernahkah kau berlayar?”
“Ya,” jawabnya.
“Pernahkah kapalmu diterjang ombak yang dahsyat?”
“Ya.”
“Apa pada waktu itu kau kehilangan harapan pada segala yang kau lihat dan kau merasa bahwa ajalmu telah tiba?”
“Ya.”
“ Lalu apa kau masih punya harapan untuk selamat?”
“Ya.”
“Nah, kalau kau telah kehilangan harapan pada semua sarana (penyelamatan), lalu pada siapa kau gantungkan harapanmu di detik-detik terakhir itu?”
Orang itu pun lantas tertegun dan teringat oleh keadaan yang menimpanya, yakni kesadaran fitri manusia akan keberadaan Tuhannya.
Kecenderungan kuat pada Tuhan ini memang bisa saja “tergantikan” oleh tuhan-tuhan palsu, sebagaimana dot bisa saja menggantikan puting ibu. Akan tetapi, sebagaimana bayi akan segera kembali menangis dan meraung hingga parau begitu ia sadar bahwa dot tidak bisa memuaskannya, demikian pula halnya dengan penghambaan manusia kepada tuhan-tuhan palsunya. Fitrah manusia menuntut untuk kembali kepada hakikatnya sebagai hamba yang hanya merunduk rendah di hadapan Tuhan sejati. Dan sebelum kehambaan (‘ubudiyyah) dan penghambaan (‘ibadah) kepada Tuhan dan Pemilik Sejati itu tercapai, manusia akan senantiasa berada dalam keadaan sesat, sakit, lalai, keluar dari keasliannya, hina dina dan sebagainya. Allah berfirman,
“Dan jangan kamu bikin-bikin tuhan selain Allah sehingga kamu menjadi hina dina. Dan Tuhanmu telah memerintahkanmu untuk tidak menyembah selain-Nya…” (QS 17:22-23)
Dalam pandangan para sufi, bagian pertama ayat ini menegaskan bahwa penghambaan pada berbagai manifestasi tuhan palsu hanya akan memerosokkannya kepada kehinaan dan kenistaan. Sedangkan bagian setelahnya mengungkapkan bahwa Allah telah menurunkan perintah dan putusan (qadha’) pada manusia, baik dalam konteks hukum kealaman (takwini) maupun syariat, agar tidak menyembah selain-Nya. Dan perintah Allah pastilah terlaksana berdasarkan firman-Nya,
“Sesungguhnya perintah-Nya bilamana Dia menghendaki sesuatu ialah dengan mengatakan kepadanya: “Jadilah!”, maka menjadilah ia.” (QS 36:83).
Dalam konteks yang sama Allah berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama selurus-lurusnya, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”(QS Al-Bayyinah [98]:5).
Senada dengan itu, dalam doa Nabi Khidir as. disebutkan, “Sesungguhnya Engkau telah memutuskan (qadha’) hamba-hamba-Mu agar mereka hanya menyembah-Mu, dan Engkau perintahkan mereka agar hanya berdoa kepada-Mu, lalu Engkau menjamin akan menerima dan menjawab semua itu.”[4] (MK)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, Ibn Arabi, Al-Futuhaat al-Makkiyyah, suntingan Utsman Yahya, (Kairo: Al-Hay`ah Al-Mishriyyah Al-‘Ammah li Al-Kitab), 1972, Bab Thaharah.
[2] Lihat, Raghib Al-Ishfahani, Mufradat li Alfadz Al-Quran, Dar Al-Fikr, 1409 H., entri takwa. , entri dal.
[3] Lihat, Taqi Mishbah Yazdi, Ma’arif Al-Quran, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qum, t.t., Juz I, hal. 65.
[4] Lihat, Musa Kazhim & Alfian Hamzah, Menyerap Energi Ketuhanan, Jakarta, Hikmah, 2009.