Diskursus Sufi (8): Mukasyafah (Penyingkapan)

in Tasawuf

Last updated on April 5th, 2019 10:00 am

“Menyaksikan haqiqah” dan “mengalami penyingkapan” niscaya berimbas besar pada keadaan lahiriah dan batiniah seseorang. Itulah yang disebut oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai “tanda-tanda” ketakwaan.


Gambar ilustrasi. Sumber: http://forsansalaf.com


Seperti umumnya istilah-istilah kaum sufi, mukasyafah atau penyingkapan spiritual itu tampak oleh saya sebagai suatu keadaan yang tak terperikan. Kata para sufi, memang susah menjelaskan manisnya madu tanpa langsung mencecapnya. Dan memang, semua penggambaran atau penjelasan hanyalah bagian baru dari pengalaman yang sesungguhnya. Maka itu, pengalaman adalah puncak pengetahuan. Selain menghadirkan pengertian (concept) atau gambaran (idea) dalam benak, pengalaman juga menggetarkan dan mengguncangkan keseluruhan jiwa dan raga.

Salah satu keadaan yang dialami oleh para salik (pelancong spiritual) ialah kasyf atau mukasyafah. Keadaan itu terjadi saat Allah menguak berbagai tirai (hijab) yang menutupi mata dan pandangan, sehingga seolah-olah kita punya new-eyes (mata baru). Akibatnya, realitas alam semesta yang biasa tersekat oleh tirai syahwat, angan-angan, khayalan, keterbatasan dan berbagai tirai lainnya tiba-tiba saja hadir apa adanya. Dan ini akan membawa perubahan radikal pada cara pandang kita terhadap realitas. Untuk menggambarkan bagaimana proses perubahan pandang terjadi, saya akan mengutip ilustrasi Stephen J. Covey dalam bukunya yang amat monumental, The 7 Habits of Highly Effective People.

“Saya ingat sebuah perubahan paradigma kecil yang saya alami pada suatu Ahad pagi dalam kereta bawah tanah di New York. Orang-orang sedang duduk dengan tenang sebagian sedang membaca surat kabar, sebagian sedang melamun, sebagian lagi beristirahat dengan mata terpejam. Suasananya tenang dan damai. Lalu, tiba-tiba seorang bapak dan anak-anaknya masuk ke dalam gerbong. Anak-anak tersebut begitu berisik dan ribut sehingga membuat suasana berubah. Pria tersebut duduk di sebelah saya dan memejamkan matanya, agaknya tidak peduli akan situasi saat itu. Anak-anaknya berteriak-teriak, melemparkan barang-barang, bahkan merenggut koran yang sedang dibaca orang. Sangat mengganggu. Namun pria yang duduk di sebelah saya itu tidak berbuat apapun. Sulit untuk tidak merasa jengkel. Saya tak mengerti dia dapat begitu tenang membiarkan anak-anaknya berlarian liar seperti itu dan tidak berbuat apapun untuk mencegah mereka, sama sekali tidak bertanggung jawab. Sangat terlihat bagaimana semua orang di dalam gerbong juga merasa terganggu.

Akhirnya dengan rasa sabar dan pengekangan diri yang luar biasa, saya menoleh ke arahnya dan berkata, “Tuan, anak-anak anda benar-benar mengganggu banyak orang. Dapatkah anda mengendalikan mereka sedikit?” orang itu mengangkat dagunya seolah baru tersadar akan situasi di sekitarnya lalu berkata dengan sedih, “Oh, anda benar. Saya kira saya harus berbuat sesuatu. Kami baru saja dari rumah sakit di mana ibu mereka meninggal satu jam yang lalu. Saya tidak tahu harus berpikir apa dan saya kira mereka juga tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.”

Dapat anda bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu? Paradigma saya berubah. Tiba-tiba saya melihat segalanya secara berbeda. Dan karena saya melihat dengan cara berbeda, saya berpikir dengan cara berbeda, saya merasa dengan cara berbeda, saya berperilaku dengan cara berbeda. Kejengkelan saya seketika hilang. Saya tidak perlu lagi ragu untuk mengendalikan sikap atau perilaku saya: hati saya dipenuhi dengan kedukaan yang dirasakan pria itu. Perasaan simpati dan kasihan mengalir dengan deras. Dan segalanya berubah dalam seketika.”[1]

Sampai batas tertentu, saya kira kita semua pernah mengalami perubahan cara pandang yang dalam bahasa kaum sufi disebut dengan mukasyafah itu. Teman saya pernah mengalaminya saat dia menyadari bahwa sejawatnya di kantor yang tampak begitu lembut dan menawan ternyata adalah seorang waria. Bayangan-bayangannya mengenai kelembutan, kecantikan, keindahan, dan kewanitaan pun runtuh seketika. Sikap dan perilakunya terhadap “wanita” itu pun kontan berubah secara radikal. Dengan kesal dan jengah, dia menyampaikan kepada saya betapa mudahnya manusia tertipu dan terpikat oleh tampilan luar yang sering berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Untuk sedikit menghiburnya, saya katakan, “Pada batas tertentu, anda telah mengalamai mukasyafah.” Saya katakan padanya bahwa perubahan cara pandang dan hadirnya new-eyes (mata-baru) dalam diri kita akan segera mengubah perilaku dan sikap kita.

Jangan salahkan para sufi bila mereka mengutuk dunia, merasa jijik dan segan bergumul dan hidup di dalamnya, karena, dalam cara pandang dan mata baru mereka, dunia tak ubahnya “waria” yang tampil dalam dandanan dan wajah wanita yang menawan. Itulah makna firman Allah bahwa dunia adalah tempat senda gurau dan permainan (QS. 6:32).

Perumpamaan dunia,” kata Imam Ali, “seperti seekor ular. Meski lunak kulit dan pegangannya, namun mengandung bisa yang mematikan. Bocah yang bodoh akan tergiur untuk memegangnya, tapi seorang yang pandai berakal akan menghindarinya.[2]

Hal penting lainnya ialah betapa kuat dan besar pengaruh penyingkapan batin tersebut pada sikap dan perilaku seseorang. “Menyaksikan haqiqah” dan “mengalami penyingkapan” niscaya berimbas besar pada keadaan lahiriah dan batiniah seseorang. Itulah yang disebut oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai “tanda-tanda” ketakwaan. Apabila anda melihat atau mendengar ada orang yang mengklaim telah mengalami mukasyafah (penglihatan batin) tapi tanda-tanda kesufian tidak tampak pada dirinya, maka bisa anda pastikan bahwa dia sedang berdusta. Memang, tanda-tanda lahiriah saja tidak cukup. Yang lebih perlu lagi adalah tanda-tanda spiritual dan intelektual. Meski tampak bersahaja secara lahiriah, pengetahuan dan kebijaksanaan mestilah memancar pada sikap dan perilakunya. (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Stephen J. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People, Bantam Books, 1990, hal 54.

[2] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 120.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*