Diskursus Sufi (7): Pengetahuan Kalbu

in Tasawuf

Last updated on April 3rd, 2019 06:26 am

Pengetahuan kalbu merupakan puncak pengetahuan manusia. Ia menjadi paling mulia dan sempurna, karena objeknya adalah realitas nonbendawi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan tidak tunduk pada kaidah-kaidah logika. Nilai pengetahuan ini terletak pada rasa (dzauq) dan keyakinan (al-yaqin) yang juga sering disebut dengan syuhud atau kasyf (penyingkapan atau penyaksian).

Gambar ilustrasi. Sumber: miifotos.com

Sebagai sarana terbaik manusia, pengetahuan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan gelap dan terang, getir dan manisnya kehidupan. Pengetahuan sendiri terangkai dari tiga unsur: orang yang mengetahui atau subjek pengetahuan; sesuatu yang (hendak) diketahui atau objek pengetahuan; dan hasil dari interaksi keduanya yang disebut dengan ‘ilm atau ma’rifah atau pengetahuan. Ada tiga cara untuk mengetahui sesuatu, yang masing-masing cara itu berkaitan dengan sarana atau alat pengetahuan yang berbeda-beda: indra, akal, dan hati.

Menurut para sufi, pengetahuan yang diperoleh melalui sarana indra atau pengetahuan indrawi (sensual knowledge) berada pada tingkatan paling rendah, lantaran objeknya yang sangat terbatas, relatif (related to a thing) dan sementara (temporary). Begitu banyak realitas objektif yang tak dapat dijangkau oleh indra manusia, termasuk objek-objek bendawi seperti molekul, bakteri, elektron dan lain sebagainya. Pengetahuan ini takkan sanggup mengantarkan manusia kepada tujuan penciptaan maupun kebahagiaan yang sejati.

Kedua, pengetahuan dengan sarana akal atau pengetahuan rasional yang berada pada tingkat menengah. Mengingat pengetahuan jenis ini menuntut penalaran, analisis, perangkat-prangkat logika serta kecerdasan dan wawasan, sedikit manusia yang mampu memperolehnya. Meski objek pengetahuan rasional mencakup materi dan nonmateri, ia tetap mesti dianggap menengah karena bersifat tempelan atau representasional (hushuly). Nilai pengetahuan ini terletak pada kesesuainnya dengan fakta yang menjadi objek pengetahuannya.

Ketiga, pengetahuan dengan sarana kalbu atau pengetahuan emosional yang merupakan puncak pengetahuan manusia. Semua manusia dari segala lapisan dapat memperoleh pengetahuan jenis ini. Ia menjadi paling mulia dan sempurna, karena objeknya adalah realitas nonbendawi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan tidak tunduk pada kaidah-kaidah logika. Nilai pengetahuan emosional terletak pada rasa (dzauq) dan keyakinan (al-yaqin) yang juga sering disebut dengan syuhud atau kasyf (penyingkapan atau penyaksian).

Hati dalam bahasa Arab disebut dengan qalb, yang berarti “sesuatu yang berputar atau berbalik.” Emosi berasal dari bahasa Latin movere, yang berarti “menggerakkan atau bergerak.” Ditambah dengan awalan “e-”, emosi menjadi bermakna “sesuatu yang bergerak menjauh.” Dengan demikian, baik kalbu maupun emosi sama-sama menyiratkan arti gerakan dan menjadi sumber dorongan untuk bertindak. Karena itu, agaknya sah-sah saja bila kita memadankan kalbu dan emosi.

Dalam tulisannya yang menghebohkan, Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, menyebutkan sederet gejala yang ditimbulkan oleh apa yang disebut emosi:

(1) amarah yang membuat manusia menjadi beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal, terganggu, rasa pahit, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali juga tindak kekerasan dan kebencian patologis;

(2) kesedihan yang membuat manusia menjadi pedih, muram, melankolis, mengasihani diri, putus asa, dan kalau sakit, ia menimbulkan depresi berat;

(3) rasa takut yang membuat manusia menjadi cemas, gugup, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, fobia dan panik;

(4) kenikmatan yang membuat manusia menjadi bahagia, gembira, santai, puas, riang, senang, terhibur, bangga, terangsang, takjub, terpesona, terpenuhi, girang dan mania;

(5) cinta yang melahirkan penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, kedekatan, keintiman, kebaktian, penghormatan, kasmaran dan kasih-sayang;

(6) terkejut yang membuat manusia menjadi terkesiap, terkesima, takjub dan terpana;

(7) jengkel yang membuat manusia menjadi hina, jijik, muak dan tidak suka;

(8) malu yang melahirkan rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan hati yang hancur lebur.[1]

Sekilas kita bisa mengerti emosi atau kalbu ini memang menampung banyak potensi dahsyat, bagus ataupun jahat. Al-Quran banyak berbicara mengenai kalbu yang tertutup dan terkunci rapat.[2] Dalam terkunci, manusia akan selalu cenderung menganiaya dan merusak di muka bumi. Oleh sebab itu, kita bisa memahami pembobotan yang diberikan oleh para sufi dalam hal membersihkan hati dari pelbagai penyakit. Dan tentu saja, orang yang hatinya bersih atau dalam bahasa Goleman “emosinya cerdas” akan sangat mudah menjadi sempurna dan mencerap cahaya Ilahi.

Para ahli tasawuf menyebutkan dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang ingin membersihkan kalbu. Pertama, membasmi pusat-pusat keburukan di dalam hati (takhalily) dan kedua, membangun pusat-pusat kebaikan di dalam hati (tahally). Para sufi menyebutkan tiga pusat dan sumber keburukan yang menjadi kendala bagi terbitnya cahaya dalam jiwa manusia: kezaliman, kekafiran, dan kefasikan.

Secara kebahasan, azh-zhulm (kezaliman) mempunyai arti sama dengan azh-zhalm (kegelapan), lawan dari cahaya yang terang. Secara etimologis, kezaliman diartikan sebagai “meletakkan sesuatu (bersifat material atau pun tidak) bukan pada tempat selazimnya.” Ada dua macam kezaliman: kezaliman konseptual, yaitu meletakkan keyakinan tidak pada tempatnya; dan kezaliman praktis, yaitu tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan.

Kezaliman praktis mempunyai dua dimensi: kezaliman terhadap diri sendiri (kezaliman individual) dan kezaliman terhadap orang lain (kezaliman sosial). Kezaliman individual adalah semua pelanggaran yang dilakukan manusia dalam hubungannya dengan kesucian dirinya. Itulah sebabnya mengapa Allah dalam Al-Qur’an mengajarkan kita untuk memohon ampun dengan cara mengakui bahwa kita telah menzalimi diri sendiri. Sedangkan kezaliman sosial adalah perbuatan yang merugikan orang lain, apakah yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya ataupun sebaliknya.

Secara kebahasaan, al-kufr berarti “menutupi”. Namun, dalam khazanah sufi, kufr diartikan sebagai “menolak dan menentang”. Dilihat dari sasarannya, kekafiran bisa dibagi menjadi dua: kekafiran positif (terpuji) yaitu penolakan terhadap kebatilan dan keburukan. Dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang-orang yang beriman kepada Allah dan berkufur atas thaghut (sesembahan selain Allah). Jenis lain kekafiran adalah kekafiran negatif (tercela), yaitu penolakan terhadap kebenaran dan kebaikan.

Kefasikan (al-fisq) didefinisikan sebagai “penyimpangan dari kebenaran dan kebaikan”. Karena itu, para sufi dan arif memasukkan maksiat dalam kategori penyimpangan psikologis atau abnormalitas. Tidak pernah seseorang melakukan maksiat dalam kesadaran yang penuh. Perbuatan maksiat terjadi akibat penyimpangan dan cacat mental, intelektual, dan emosional yang ada pada diri manusia.

Setelah membasmi pusat-pusat keburukan, barulah kemudian manusia membangun pusat-pusat kebaikan di dalam hatinya. Ada tiga pusat kebaikan yang perlu dibangun: ikhlas, tawakal dan sabar. (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Gramedia, 1996), Lampiran A.

[2] Lihat misalnya: QS. Al-Jatsiyah: 23 dan QS. Al-Hajj: 46.  

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*