Selama ada takwa, ketenangan dan keheningan dalam jiwa dapat terpelihara. Dan dalam suasana yang hening itulah seruan akal bisa bergema dengan jelas. Sebaliknya, jiwa yang gaduh oleh bentakan hawa nafsu yang telah terjerat rayuan setan tidak akan bisa mendengarkan ajakan akal ke jalan yang benar.
Setelah secukupnya kita membahas makna takwa, kaitannya dengan kehendak dan akal sebagai dua dasar kemanusiaan serta sisi negatif dan positifnya, marilah sekarang kita membincangkan nilai dan pengaruh takwa terhadap kehidupan manusia, secara individual maupun sosial, di dunia maupun akhirat. Guna mendapatkan gambaran umum mengenai berbagai nilai, pengaruh dan hasil takwa bagi kehiduapan manusia, saya akan menjelaskannya butir demi butir.
Pertama, dalam Al-Quran surah 8 (Al-Anfal) ayat 29, Allah mengungkapkan tiga pengaruh takwa pada manusia: timbulnya furqan; tertutupnya kejelekan; dan pengampunan (maghfirah). Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan dan menghapuskan segala kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli makrifat mengemukakan bahwa furqan adalah kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan; ketajaman akal dalam memilah kebenaran dari kebatilan. Mengutip Abdul Razzaq Al-Qasyani: “Al-furqan adalah pengetahuan terperinci yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan.”[1] Dengan demikian, furqan berkaitan dengan kemampuan akal dan pikiran manusia.
Untuk menguraikan korelasi takwa dan ketajaman akal, mula-mula kita perlu membagi akal menjadi dua: teoretis (nazhari) dan praktis (‘amali). Akal teoretis berfungsi menjawab pertanyaan apa hakikat dan esensi sesuatu, sementara akal praktis berfungsi menjawab apa yang seharusnya dilakukan. Akal teoretis menghasilkan filsafat, logika, matematika, fisika dan sebagainya, sementara akal praktis menghasilkan ilmu akhlak, etika, ilmu hukum, estetika dan kesenian.
Wilayah akal teoretis adalah penalaran dan pemikiran, sementara wilayah akal praktis adalah kecenderungan, perasaan dan perbuatan. Akal praktis menguraikan soal-soal yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan, kebajikan dan kemungkaran, keuntungan dan kerugian, kewajiban dan hak, keharusan dan larangan dan lain sebagainya.
Dalam sabda Nabi dan ucapan orang-orang suci terdapat perbandingan terbalik antara sifat-sifat buruk seperti cinta dunia, kesombongan, ketamakan, keras kepala, dan fanatisme (taashshub). Demikian pula sebaliknya: kemampuan akal berbanding lurus dengan kukuhnya sifat-sifat baik dalam jiwa manusia. Dengan demikian, semakin kukuh takwa dalam diri manusia, semakin tajam kemampuan akal praktis membedakan kebenaran dari kebatilan dan kebaikan dari kejelekan.
Kenyataan itu secara sederhana bisa dijelaskan dengan mengutip prinsip akal-sehat yang dikemukakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Ada tiga jenis teman dan ada tiga jenis musuh. Temanmu sendiri, sahabat temanmu dan lawan musuhmu. Adapun musuhmu ialah musuhmu, musuh temanmu dan teman musuhmu.” Teman musuh disebut musuh karena ia membantu musuh melancarkan serangannya, sementara lawan musuh disebut teman karena ia melemahkan pengaruh dan kekuatan musuh.[2]
Selain tentunya berlaku dalam konteks hubungan-hubungan sosial, prinsip ini juga berlaku dalam konteks pertarungan batin yang abadi antara kekuatan baik dan buruk dalam jiwa dan ruh manusia. Pertarungan batin antara kekuatan jahat dan baik dalam jiwa ini disebut dengan jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu) dan menjadi tema utama dalam khazanah tasawuf Islam selama berabad-abad. Oleh sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa manusia mempunyai tiga kawan dan tiga musuh dalam pertarungan batin yang terjadi di dalam jiwanya. Teman pertama manusia adalah akal yang mengantar manusia menuju kebenaran. Teman keduanya ialah kawan-kawan akal seperti Syariat, Sunnah Nabi dan ajaran para manusia suci. Dan teman terakhir manusia ialah semua sifat baik dan sikap terpuji seperti takwa, kesabaran, kerendahan hati, tawakal, azam, keberanian, kehormatan dan sebagainya.
Pada sisi lain, musuh pertama manusia (seperti kata Al-Quran) adalah setan. Musuh lainnya ialah teman setan, yaitu hawa nafsu. Hawa nafsu menjadi musuh manusia secara aksidental, mengingat ia kerap diperbudak oleh setan untuk menyimpangkan manusia ke jalan kesesatan melalui ketundukan pada dunia dan segala tipu-dayanya. Musuh manusia yang ketiga ialah teman-teman dari kedua musuh besar tersebut. Teman-teman kedua musuh tersebut tidak lain dari semua sifat buruk seperti cinta dunia, ketamakan, kekikiran, keras kepala, pengingkaran, was-was, taashshub (sikap membuta) dan sebagainya.
Dalam konteks ini, takwa adalah musuh setan dan hawa nafsu, dan karenanya menjadi teman akal. Seperti telah kita jelaskan, hakikat takwa ialah pemeliharan dan penjagaan. Selama ada takwa, ketenangan dan keheningan dalam jiwa dapat terpelihara. Dan dalam suasana yang hening itulah seruan akal bisa bergema dengan jelas. Sebaliknya, jiwa yang gaduh oleh bentakan hawa nafsu yang telah terjerat rayuan setan tidak akan bisa mendengarkan ajakan akal ke jalan yang benar.
Nah, di lain pihak, setan senantiasa memaksa hawa nafsu untuk membuat kegaduhan dan kesamaran. Dalam suasana gaduh dan samar-samar, jiwa bakal susah mendengarkan suara akal dan melihat sinaran cahayanya. Kekuatan penjagaan dan pemeliharaan takwa bisa menyelamatkan jiwa dari kegaduhan dan kesamaran yang ditimbulkan oleh hawa nafsu, sedemikian sehingga kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan (yang dalam ayat di atas disebut dengan furqan) bisa menjadi efektif dan optimal. Bahkan, makin kuat ketakwaan seseorang, makin kukuh pula fungsi furqan itu dalam jiwa. Penyair-sufi Iran, Sa’adi, mengisyaratkan korelasi tersebut dalam syairnya yang berbunyi:
“Hakikat kebahagiaan adalah keteraturan,
hawa nafsu adalah debu yang berhamburan.
Tidakkah engkau mengerti bahwa bila debu beterbangan,
engkau takkan bisa melihat meskipun engkau tidak buta.”
Akan halnya hubungan antara tumbuhnya takwa dan tertutupnya kejelekan serta pengampunan Allah sebagaimana dikatakan ayat di atas (QS Al-Anfal: 29), saya kira sudah sangat jelas. Seperti sudah dijelaskan pada artikel-artikel sebelumnya, takwa ibarat vaksin atau antibiotik yang menjaga manusia dari segenap kejelekan. Makin tinggi dosis takwa dalam diri kita, makin terhindar kita dari kejelakan sehingga kemampuan berbuat jelek itu sendiri seolah-olah mati. Konsekuensi logisnya kemudian tiada lain kecuali pengampunan Allah atas segala kekurangan dan kesalahan kita. (MK)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, Abdul Razzaq Al-Qasyani, Ishthilahat Al-Shufiyyah, suntingan Dr. Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, Intisyarat Bidar, Qom, 1370 H., cet. kedua, entri fa.
[2] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, (Bandung, Mizan, 1993). hal. 133.