Diskursus Sufi (14): Takwa (4)

in Tasawuf

Last updated on April 23rd, 2019 06:27 am

Jiwa ibarat mata manusia dalam melihat realitas, dan takwa adalah selaput yang menjaganya dari segala debu dan polusi. Tanpa selaput itu, kotoran dan debu akan mengenai mata dan mata akan menampilkan gambar-gambar yang buram dan kabur. Dari gambar-gambar itu kemudian kita melihat dunia yang, tak pelak lagi, penuh dengan kekacauan dan kesulitan.

Gambar ilustrasi berjudul Worldview. Sumber: changepointchurch.com

Pengaruh takwa yang kedua ialah terbukanya jalan keluar dan terbentangnya kemudahan dalam menghadapi berbagai urusan dan kesulitan. Pada surah Ath-Thalaq (65) ayat kedua, Allah berfirman:

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan membukakan jalan keluar baginya.

Memperkuat maksud ayat di atas, pada dua ayat setelahnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memudahkan urusannya.

Kedua ayat tersebut secara gamblang menegaskan terbukanya jalan keluar dan kemudahan menghadapi kesulitan sebagai pengaruh lain dari ketakwaan manusia kepada Allah.

Lantas, apa sesungguhnya hubungan takwa yang merupakan keistimewaan jiwa dan kebajikan moral dengan kemudahan menghadapi berbagai urusan dan kesulitan? Apa peran jiwa dalam menyelesaikan urusan dan memudahkan kesulitan manusia? Apa saja jenis urusan dan kesulitan manusia? Dan apa jenis urusan dan kesulitan jiwa berbeda dengan jenis urusan dan kesulitan lainnya?

Untuk menjawabnya, pertama sekali perlulah kiranya kita mengetahui adanya dua jenis urusan dan kesulitan yang umumnya dihadapi manusia: (a) urusan dan kesulitan yang tidak langsung berkaitan dengan kehendak dan keinginan manusia seperti bencana-bencana alam; serta (b) urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan dan ditimbulkan oleh keinginan dan kehendak manusia seperti lazimnya masalah-masalah personal, sosial dan moral.

Pembagian di atas sesungguhnya tidaklah hakiki, lantaran segala macam kesulitan dan keburukan pada hakikatnya juga berasal dari ulah manusia. Dan ketidaktahuan manusia akan sebab-musabab kesulitan bukanlah bukti bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang membuatnya terperosok dalam kesulitan. Buktinya, untuk puluhan dekade lamanya, efek rumah kaca tidak diketahui atau setidaknya tidak disadari sebagai penyebab timbulnya begitu banyak bencana alam.

Selain itu, pada sisi lain, fenomena bencana alam yang kita anggap sebagai kesulitan, dari perspektif tata surya, sebetulnya justru merupakan fenomena berjalannya sistem. Keluarnya lahar dari gunung berapi ialah fungsi “pembuangan panas bumi” yang berjalan secara otomatis. Sebaliknya, kegagalan fungsi pembuangan itu akan berakibat pada kehancuran bumi yang menyeluruh. Oleh karena itu, bencana-bencana alam sebenarnya tidak lebih dari berjalannya berbagai fungsi sistem tata surya.

Dengan demikian, masalah sebenarnya terletak pada urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan keinginan dan tindakan manusia. Karena, seperti yang sudah umum diketahui, pokok kesulitan dan musibah yang datang menghantam manusia dan membuat hidupnya menjadi susah dan sengsara, adalah jenis kesulitan dan musibah yang bersifat moral, spiritual, mental dan sosial yang seluruhnya berasal dari ulah individu maupun masyarakat manusia itu sendiri.

Manusia adalah asal-muasal dari berbagai kesulitannya sendiri. Dialah penyebab sekaligus penanggung derita tindakan-tindakannya dan penentu nasibnya sendiri. Tetapi, apakah esensi dan hakikat manusia itu? Seperti halnya para filosof, para sufi yakin bahwa esensi dan hakikat manusia adalah jiwa atau ruhnya. Itulah rumah dan kediaman abadi manusia. Sementara raga hanyalah sisi material yang menghubungkan manusia dengan ruang dan waktu yang berperan menjadi wadah sekaligus ukuran pergerakan jiwanya.

Lagi-lagi seperti halnya para filosof, para sufi juga percaya bahwa jiwalah yang  “mendefinisikan” kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kemudahan dan kesulitan manusia. Dalam sebuah hadis terkenal disebutkan, “Kalau seseorang meyakini bahwa batu bisa bermanfaat untuknya, niscaya batu itu akan benar-benar bermanfaat untuknya.” Mengenai soal yang sama, filosof Roma abad pertama, Epictecus, menyatakan: “Manusia terganggu bukan oleh benda-benda (kasat-mata di sekelilingnya), melainkan oleh pendapatnya tentang benda-benda tersebut.”[1]

Pendapat tentang benda-benda dan alam semesta terjelma hanya dalam pikiran dan jiwa manusia. Oleh sebab itu, keadaan jiwa sangat menentukan keseluruhan hidup manusia. Apa yang terjadi di dalam jiwa akan secara langsung berdampak pada apa yang kita rasakan, sedemikian sehingga apa yang tampak secara lahiriah sebagai menyenangkan bisa-bisa terasa menyedihkan hanya lantaran keadaan jiwa kita yang sedang kacau dan demikian pula sebaliknya.

Kekuatan takwa terutama sekali berperan memelihara jiwa dari berbagai dosa yang meredupkan cahaya akal dan tipu daya yang meresahkan hati. Itulah tafsiran dari QS. Ali Imran (3) ayat 120 yang menegaskan fungsi kesabaran dan takwa dalam menetralisasi dan melenyapkan bahaya tipu daya para penipu. Allah berfirman, 

Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka akan bersedih hati, tapi jika kalian mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya sedikitpun tidak akan mendatangkan kemudaratan kepada kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”   

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila ditimpa was-was dari sekelompok setan, mereka ingat kepada Allah maka merekapun menjadi bisa melihat dengan tajam (mubshirun).” (QS Al-‘Araf: 201)

Ayat terakhir ini menjelaskan bahwa was-was yang dibuat oleh setan menyebabkan rusaknya penglihatan dan menimbulkan kerabunan. Dan dalam kerabunan itu jiwa tidak akan dapat membedakan antara jurang dan jalan yang lurus. Sebaliknya, penjagaan takwa dapat menjauhkan manusia dari kegelapan, mempertajam penglihatan batin, membentangkan jalan keluar baginya dan memudahkannya menghadapi segala kesulitan. Manakala cahaya takwa menyala dalam jiwa, maka manusia tidak akan gambang terjatuh dalam jeratan kesulitan. Dan kalaupun karena satu dan lain sebab dia terjatuh dalam lembah kesulitan dan musibah, maka jalan keluar menuju keselamatan akan bisa dengan mudah ditemukan.  

Jiwa ibarat mata manusia dalam melihat realitas, dan takwa adalah selaput yang menjaganya dari segala debu dan polusi. Tanpa selaput itu, kotoran dan debu akan mengenai mata dan mata akan menampilkan gambar-gambar yang buram dan kabur. Dari gambar-gambar itu kemudian kita melihat dunia yang, tak pelak lagi, penuh dengan kekacauan dan kesulitan. Dunia yang penuh dengan kesuraman dan kesumpekan. Tetapi, mata orang yang memiliki takwa tidak akan terkena kotoran sehingga daya penglihatannya akan senantiasa tajam dan terang. Mata yang tajam itupun akan dapat menyaksikan betapa hidup ini sebenarnya adalah panorama indah yang teratur dan tertata, terjaga dan terpelihara.

Sehubungan dengan itu, dalam Nahj Al-Balaghah Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:

Sesungguhnya takwa kepada Allah adalah obat bagi hati Anda, penglihatan bagi kebutaan jiwa Anda, penyembuhan bagi penyakit tubuh Anda, pelurus keburukan dada Anda, penyuci kecemaran pikiran Anda, cahaya bagi kegelapan mata Anda, hiburan bagi kekalutan hati Anda dan kecerahan bagi suramnya kebodohan Anda.[2] (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Herbert Benson & William Proctor, Dasar-dasar Respons Relaksasi, (Kaifa, 2000), hal. 32.

[2] Lihat, Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Lentera, 1999), Buku Pertama, Pembahasan mengenai Takwa.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*