Menurut Sayidina Ali,”…orang-orang yang bertakwa ialah manusia-manusia yang bijak bestari. Kebenaran menjadi inti ucapan mereka, kesederhanaan adalah pakaian mereka dan kerendahan hati mengiringi gerak-gerik mereka…, Sekiranya bukan karena kepastian ajal yang telah ditetapkan Allah, niscaya roh mereka takkan tinggal diam dalam jasad-jasad mereka walau hanya sekejap, baik disebabkan oleh kerinduannya kepada pahala Allah ataupun ketakutannya kepada hukuman-Nya…”
Lebih dari selainnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib barangkali adalah sahabat Nabi Muhammad Saw yang paling banyak berbicara mengenai takwa. Huru hara politik yang pada zamannya boleh jadi memperbesar perhatian Sayyidina Ali kepada masalah takwa. Sebab, seperti telah kita bahas sebelumnya, takwa sangat berpengaruh menciptakan pelaksanaan hukum dan ketertiban yang menjadi prasyarat kesempurnaan individu dan masyarakat.
Suatu kali Sayyidina Ali berkata: “Sungguh, pada hari ini takwa kepada Allah adalah suatu perlindungan dan perisai, dan pada hari esok (Hari Pengadilan takwa itu) adalah jalan menuju surga. Jalannya terang dan beruntung orang yang menempuhnya.” Sejalan dengan takwa yang kita ibaratkan seperti vaksin, beliau menyebut takwa sebagai perlindungan dan perisai. Dalam perlindungan dan perisai takwa, seseorang terbebas dari pencemaran dan penyakit dunia, baik yang terasa ataupun yang tak terasa.
Banyak orang menduga bahwa takwa adalah kurungan sempit hukum-hukum agama. Tetapi, dalam pandangan Sayyidina Ali dugaan itu tidak benar adanya. Beliau berkata: “Sesungguhnya takwa kepada Allah merupakan kunci menuju petunjuk, bekal untuk hari kiamat, kemerdekaan dari perbudakan dan kebebasan dari segala keruntuhan. Dengan bantuan takwa, si pencari akan menemukan apa yang dicarinya, seorang yang lari akan berhasil menghindari musuhnya dan seorang yang berharap akan dapat menggapai harapannya.” Ungkapan ini hendak menegaskan bahwa takwa adalah keharusan dalam kehidupan manusia, yang tanpanya segala kaidah ilmu dan hukum tidak akan berguna, karena setiap orang akan mengikuti nafsunya sendiri-sendiri.
Dalam khotbah lain, Sayyidina Ali berkata: “Perhatikanlah bahwa dosa laksana kuda-kuda liar. Para penunggangnya duduk di atas panggung dengan kekang yang dibiarkan terlepas, sehingga (kuda dan penunggangnya) akan bersama-sama terseret ke dalam neraka. (Sebaliknya) perhatikanlah bahwa takwa laksana kuda-kuda terlatih. Para penunggangnya duduk di atas punggung dengan kekang dalam genggaman kedua tangan, sehingga kuda-kuda itu akan membawa mereka ke surga.”
Di sini Sayyidina Ali memperkenalkan dosa sebagai keliaran yang diliputi dengan kerusuhan dan kegaduhan. Banyaknya dosa menyebabkan lemah dan loyonya kepribadian. Dan dalam keadaan itu, posisi manusia vis-a-vis pengelolaan dirinya tak ubahnya seperti penunggang kuda liar yang kehilangan tali kekang, sehingga dia tidak akan punya kehendak dan kebebasan untuk mengarahkan dirinya yang telah berubah menjadi seekor kuda liar.
Selain berbicara mengenai pengaruh duniawi maupun ukhrawi takwa, Sayyidina Ali juga berbicara mengenai sifat-sifat orang yang bertakwa (muttaqy). Pernah suatu ketika sahabat Sayyidina Ali bernama Hammam, yang dikenal sebagai abid, bertanya kepadanya mengenai sifat-sifat orang yang bertakwa. Mula-mula Sayyidina Ali agak segan memenuhi permintaan itu, lalu berujar:
“Wahai Hammam, bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah kebajikan, sebab Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan.”
Mendengar itu, Hammam belum puas dan sekali lagi mendesak, sehingga Sayyidina Ali terpaksa memenuhi permintaannya. Setelah mengucapkan puji-pujian bagi Allah SWT dan shalawat bagi Nabi Saw, beliau bertutur:
“Amma ba’du. Sesungguhnya ketika Allah mencipta makhluk-Nya, Dia mencipta dalam keadaan tidak butuh akan ketaatan mereka dan tidak cemas akan pembangkangan mereka …”
“Demikianlah, orang-orang yang bertakwa ialah manusia-manusia yang bijak bestari. Kebenaran menjadi inti ucapan mereka, kesederhanaan adalah pakaian mereka dan kerendahan hati mengiringi gerak-gerik mereka. Mereka tundukkkan pandangan terhadap segala yang diharamkan Allah dan mereka pakai pendengaran mereka hanya untuk mendengarkan ilmu yang berguna.
Jiwa mereka selalu diliputi ketenangan dalam menghadapi cobaan, sama seperti dalam menerima kenikmatan. Sekiranya bukan karena kepastian ajal yang telah ditetapkan Allah, niscaya roh mereka takkan tinggal diam dalam jasad-jasad mereka walau hanya sekejap, baik disebabkan oleh kerinduannya kepada pahala Allah ataupun ketakutannya kepada hukuman-Nya…”
Kemudian Sayyidina Ali membeberkan tanda-tanda orang bertakwa,
“…Tanda-tanda yang tampak pada diri mereka ialah keteguhan dalam beragama, ketegasan bercampur dengan kelunakan, keyakinan dalam keimanan, kecintaan yang sangat kepada ilmu, kepandaian dalam keluhuran hati, kesederhanaan dalam kekayaan, kekhusyukan dalam beribadah, ketabahan dalam kekurangan, kesungguhan dalam mencari yang halal, kegesitan dalam kebenaran dan menjaga diri dari ketamakan …”
“Kebaikannya selalu bisa diharapkan, gangguannya tak pernah dikhawatirkan. Bila sedang bersama orang-orang lalai, ia tak pernah lupa mengingat Tuhan. Dan bila sedang bersama orang-orang yang mengingat Tuhan, ia tak pernah lalai. Memaafkan siapa yang menzaliminya. Memberi orang yang menolaknya. Menyambung hubungan dengan orang yang memutuskannya….. tak pernah terlihat kemungkarannya. Selalu hadir kebajikannya … Segera mengakui yang benar sebelum dihadapkan kepada kesaksian orang lain …”
Penukil cerita ini lalu menuturkan: “Ketika Sayyidina Ali sampai di bagian ini dari khotbahnya, Hammam – si abid yang menyimak semuanya dengan tekun itu – seketika terjatuh pingsan, sehingga Sayyidina Ali berkata: “Sungguh, demi Allah, sejak pertama aku sudah mencemaskan hal ini akan terjadi padanya.” Kemudian beliau bertanya untuk mengukuhkan pernyataan (istifham inkary): “Beginikah akibat yang ditimbulkan oleh nasihat-nasihat yang mendalam kepada hati yang peka?!”[1] (MK)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 38-42.