Falsafah Surga & Neraka: Sebuah Kajian Teologis dan Teleologis (8)

in Studi Islam

Dunia adalah tempat beramal yang kadang-kadang di dalamnya dapat disaksikan sebagian balasan. Sedangkan, akhirat adalah tempat khusus untuk mendapatkan balasan dan perhitungan, tanpa sedikit pun kesempatan untuk beramal.”

Sumber gambar: kabartegal.pikiran-rakyat.com

Hukuman di Dunia

Jenis balasan atau hukuman kedua ialah hukuman yang memiliki hubungan kausal dengan dosa. Artinya, ia merupakan efek dosa dan konsekuensi alamiahnya. Hukuman seperti ini disebut dengan “konsekuensi-konse­kuensi tiap perbuatan” atau “dampak alamiah dari tiap dosa”.

Banyak dosa yang memiliki konsekuensi-konsekuensi wajar yang tidak diinginkan oleh pelakunya di dunia ini. Misalnya, alkoholisme, selain memiliki bahaya sosial, korbannya juga akan mengalami sejumlah kesulitan psikis dan fisik. Khamr akan mengganggu saraf, merusak paru-paru, dan jantung peminumnya. Begitu juga perbuatan zina; ia akan menyebabkan pelakunya terkena penyakit raja singa dan sifilis.

Balasan-balasan di atas merupakan efek alamiah dosa, bukan balasan-balasan berdasarkan undang-undang, sehingga orang boleh mengatakan bahwa di situ harus ada kesesuaian antara dosa dan hukuman.

Seandainya ada seseorang meminum racun yang mematikan, dan tidak menghiraukan nasihat orang lain sehingga mati, kematian tersebut adalah efek alamiah dan konsekuensi logis dari minum racun. Adalah suatu kesalahan besar bila dikatakan, “Mengapa orang malang yang melakukan dosa lima detik ini harus mendapatkan hukuman yang begitu keras berupa kematian?”

Apabila kepada seseorang dikatakan, “Jangan meloncat dari puncak gunung sebab engkau akan mati,” orang tersebut tidak berhak mem­bantah dengan mengatakan, “Apa hubungannya antara pembang­kang­anku dan hukuman yang begitu berat ini?”

Persoalannya di sini, tidak lain, adalah persoalan kausa-efek. Dimana balasan-balasan alamiah merupakan efek yang inheren dalam perbuatan tertentu. Jatuh dari atas gunung atau meminum racun adalah kausa, dan kematian adalah efeknya. Pengaruh kausa tersebut adalah efek kematian yang pasti akan diterimanya, dan tidak bisa lain dari itu.[1]

Seperti yang telah kami jelaskan ketika membahas perbedaan antara dunia dan akhirat, dunia adalah musim menanam, sedangkan akhirat adalah musim menuai. Tetapi, hasil dan efek sebagian amal dapat dilihat di dunia ini. Hukum kausa-efek (kausalitas) di alam ini memiliki realitas tertentu, dan setiap kausa aktual – tidak bisa tidak – pasti berbuntut pada efek aktual yang menyatu dengannya.

Adalah jelas bahwa buah dari amal seperti ini merupakan sebagian hukuman, dan bukan hukuman yang sempurna. Sebab, hu­kuman yang sempurna dan perhitungan yang akurat hanya ada di akhirat.

Dunia adalah tempat beramal yang kadang-kadang di dalamnya dapat disaksikan sebagian balasan. Sedangkan, akhirat adalah tempat khusus untuk mendapatkan balasan dan perhitungan, tanpa sedikit pun kesempatan untuk beramal.

Perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan ciptaan Allah, baik berupa pelayanan atau penganiayaan terhadap sesama makhluk, akan langsung diberi pahala atau siksanya di dunia ini, tanpa mengurangi pahala dan siksa yang akan diterimanya di akhirat kelak.

Dengan begitu, perbuatan jahat terhadap kedua orangtua ada hukumannya di dunia, terutama bila hal itu dilakukan dengan jalan membunuh mereka—na‘âdzu billâh—hatta kalaupun seandainya menurut kita kedua orangtua itu fasik atau kafir. Perbuatan jelek kepada mereka tidak akan berlalu tanpa hukuman yang akan diterima di dunia.

Sebagai contoh: Al-Muntashir, salah seorang penguasa Dinasti Abbasiyah, membu­nuh ayahnya, Al-Mutawakkil. Tidak lama kemudian dia pun dibunuh, kendatipun Al-Mutawakkil sendiri adalah orang yang sangat jahat dan tidak punya kasih sayang. Selain itu, dia suka berpesta pora. Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Tarikh Khulafah menjelaskan, Al Mutawakkil dikenal menyukai kenikmatan-kenikmatan hidup dan gemar minum-minum. Dia memiliki empat ribu budak perempuan yang seluruhnya pernah dia gauli.[2]

Al-Mutawakkil dikenal sebagai khalifah yang memiliki kebencian mendalam pada Ahlul Bait Rasulullah Saw. Pada tahun 236 H, dia memerintahkan agar makam Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib dihancurkan dan diratakan dengan tanah, berikut bangunan-bangunan di sekitarnya. Dia juga melarang orang-orang berziarah ke pusara Al-Husein. [3]  

Di dalam majelis-majelisnya, Al-Mutawakkil kerap menjadikan Amîr Al-Mu’minîn ‘Ali bin Abi Thalib sebagai bahan cacian dan ejekan. Disebut-sebut bahwa Al-Muntashir mendengar seseorang yang mencaci maki Fathimah binti Rasulullah Saw. kemudian Al-Muntashir bertanya kepada seseorang yang bisa dipercaya pendapatnya tentang apa hukuman yang harus diberikan kepadanya? Orang itu menjawab, “Orang tersebut harus dibunuh. Tetapi, perlu engkau ketahui bahwa setiap orang yang mem­bunuh orangtuanya, umurnya pasti pendek.” Al-Muntashir menjawab, “Tak apalah bagiku umur pendek asal dalam ketaatan kepada Allah,” Benar saja, ketika Al-Muntashir membunuh ayahnya, dia hanya hidup selama tujuh bulan.[4]

Imam Ali—saat menjelaskan balasan bagi pelayanan kepada orang banyak dan berbuat baik kepada mereka di dunia ini—mengata­kan: “Ada kalanya engkau berbuat baik pada orang yang tidak berterima kasih padamu. Tapi itu tidak seharusnya membuatmu berhenti mela­kukan hal yang ma‘rûf. Karena, kadang kau akan meneri­ma imbalan berlipat-lipat dari orang yang justru tidak pernah menerima kebaikanmu sama sekali. Sungguh, kau akan mendapatkan terima kasih dari Sang Maha Bersyukur lebih banyak daripada kelalaian (terima kasih) orang kafir. Dan sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”

Maksudnya, orang yang tidak berterima kasih kepadamu atas kebaikanmu, janganlah memalingkanmu dari berbuat baik. Karena yang berterima kasih kepadamu, terkadang adalah orang yang engkau sendiri tidak berbuat baik kepadanya, dan rasa terima kasih seperti ini lebih besar daripada kebaikanmu. (MK)

Bersambung

Sebelumnya:

Catanan kaki:


[1] Ini berbeda dengan jenis balasan pertama, dimana kesesuaian antara dosa dan hukuman hanya berkaitan dengan balasan konvensional dalam hukum pidana positif yang hubungannya dengan dosa atau tindak kejahatan tertentu ditetapkan oleh kesepakatan, dan bukan hubungan hakiki maupun esensial. Lihat serial sebelumnya, https://ganaislamika.com/falsafah-surga-neraka-sebuah-kajian-teologis-dan-teleologis-7/

[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafah: Sejarah para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 369

[3] Lihat, Ibid, hal. 366

[4] Amali Syiekh Al-Thusi halaman 333

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*