Falsafah Surga & Neraka: Sebuah Kajian Teologis dan Teleologis (7)

in Studi Islam

Last updated on October 24th, 2022 08:11 am

Seseorang yang teraniaya adalah tawanan dari kompleks psikologis dan jika kompleks psikologis ini tidak hilang, besar kemungkinan penderitanya akan melakukan tindak kejahatan, baik disadari maupun tidak. Ini sebabnya dibutuhkan hukuman atau balasan bagi pelaku aniaya.”

Gambar ilustrasi. Sumber: pesantren.id

Peringatan dan Pelajaran

Jenis balasan yang pertama, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, baik berdasarkan undang-undang Ilahi maupun non-Ilahi.

Fungsi balasan ada dua macam:

Pertama, fungsi jera dan pencegahan, yaitu agar kejahatan tidak diulangi lagi oleh pelakunya atau oleh yang lainnya karena adanya rasa takut jika hukuman tersebut menimpa dirinya. Berdasarkan fungsi ini, balasan itu disebut dengan “peringatan”.

Kedua, fungsi pemberian kelegaan dan ketenangan kepada korban dalam perkara-perkara kriminal yang dilakukan atas orang lain.

Dorongan untuk menuntut dan melakukan balas dendam tertanam kuat pada diri manusia. Tampaknya, dorongan jauh lebih kuat pada awal sejarah manusia dan masyarakat-masyarakat primitif daripada yang ada sekarang. Sekiranya hukum tidak menindak penjahat, niscaya masyarakat akan hancur dan punah.

Sampai sekarang, dalam kehidupan yang lebih maju dan modern, perasaan-perasaan semacam itu masih tetap ada. Hanya saja, peradaban telah menekannya atau mengemasnya dengan lebih indah.

Seseorang yang teraniaya adalah tawanan dari kompleks psikologis dan jika kompleks psikologis ini tidak hilang, besar kemungkinan penderitanya akan melakukan tindak kejahatan, baik disadari maupun tidak.

Tetapi, apabila dia melihat si pelaku kejahatan telah menerima hukuman yang setimpal dan adil, lepaslah kompleks psikologis itu dan hilanglah pengaruh-pengaruh dendam dan kedengkian dari dirinya.

Jadi, undang-undang pidana ini merupakan keharusan untuk mendidik pelaku kejahatan, dan kemestian bagi terciptanya kemantapan sistem sosial, tanpa ada sesuatu pun yang dapat menggantikan dan mengambil-alih fungsi-fungsinya.

Orang-orang yang menyerukan agar hukuman diganti dengan pendidikan, dan menyarankan dibentuknya pusat-pusat rehabilitasi untuk menggantikan penjara-penjara adalah orang-orang yang melaku­kan kekeliruan dalam memahami masalah ini.

Kita tidak menolak urgensi pendidikan dan keharusan pendirian lembaga-lembaga rehabi­litasi tersebut. Pendidikan dapat menekan laju kejahatan, sebagaimana ketimpangan sosial pun akan mendorong timbulnya kejahatan. Tidak diragukan pula bahwa kukuhnya sistem sosial ekonomi dan budaya akan dapat memperkecil tingkat kejahatan.

Semuanya itu benar. Tetapi, masing-masing tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pendidikan membu­tuhkan hukuman yang adil, dan sistem yang adil juga membutuhkan balasan atas setiap tindak kejahatan. Demikian pula halnya, balasan saja tidaklah cukup tanpa adanya pendidikan yang mantap dan sistem sosial yang adil.

Betapa pun manusia telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan betapa pun adil dan kukuhnya suatu sistem sosial, toh akan tetap ada orang-orang yang melakukan kejahatan dan kesewenang-wenangan, yang tidak mungkin bisa kita cegah kecuali dengan hukuman yang kadang-kadang harus berat dan keras.

Benar, dengan meningkatkan iman dan pendidikan yang benar, dan dengan melakukan perbaikan sosial, kita dapat menghilangkan sebab-sebab terjadinya kejahatan dan memperkecil jumlah kejahatan dan tindak pidana sedemikian rupa, dan kita pun harus terus meng­gunakan cara-cara tersebut.

Namun, kita pun tidak bisa mengingkari peranan hukuman dan balasan dalam proporsinya yang tepat, dan kita tidak mungkin dapat menempatkan sesuatu yang lain untuk menggan­tikan kedua sarana tersebut.

Manusia tidak akan mampu, dan barangkali tidak mungkin mampu, mendidik semua manusia lewat nasihat dan bimbingan serta seluruh sarana pendidikan, di samping tidak adanya harapan bahwa peradaban materialistis akan sanggup melakukan hal itu, sehingga ia bisa melenyapkan kejahatan dari muka bumi dan dari peradaban modern ini.

Peradaban materialisme bukan saja tidak mam­pu menekan kejahatan, malahan lebih meningkatkan dan menyebar­luaskannya berkali-kali lipat.

Misalnya, dulu pencurian hanya berkisar pada pencurian dompet-dompet dan pencopetan uang dari saku; tapi sekarang, para pencuri melakukan seribu macam pencurian dengan cara terang-terangan atau dengan cara sembunyi-sembunyi, dan yang dilakukan secara terang-terangan tidak saja menyangkut barang-barang yang tidak berharga, melainkan meliputi pencurian kapal atau beberapa kapal yang berlayar di lautan.

Dari bukti-bukti di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa hukuman-hukuman yang bersifat mendidik adalah suatu keharusan dan berfaedah bagi masyarakat manusia. Hanya saja, para peletak hukum harus memerhatikan aspek keseimbangan antara kejahatan dan hukumannya.

Kenyataan yang harus kita perhatikan ialah bahwa hukuman yang bersifat mendidik tersebut tidak rasional dalam kehidupan lain. Sebab, di alam sana (akhirat) tidak ada lagi keinginan membalas dendam dan upaya untuk mengulangi suatu dosa.

Akhirat bukanlah tempat beramal saleh, sehingga maksud pemberian hukuman kepada manusia adalah agar mereka jera mengulangi kejahatannya – di samping karena Allah SWT sama sekali tidak memiliki rasa dendam (na‘ûdzu billâh), sehingga ingin melampiaskan dendam-Nya itu.

Bukan itu saja, persoalan tuntutan mere­ka yang teraniaya untuk membalas dendam pun tidak ada di akhirat. Se­bab, orang yang teraniaya itu, bila dia adalah wali Allah, pasti ketika itu sibuk dengan rahmat Allah yang Mahaluas dan karunia-Nya yang melimpah sehingga pasti dia menerima rahmat dan maghfirah Allah, yang walaupun sangat sedikit, tetap akan mengalah­kan rasa dendamnya kepada musuhnya.

Lebih dari itu, siksa di akhirat tidak seluruhnya berkaitan dengan hak-hak manusia sehingga bisa dikatakan bahwa keadilan Ilahi wajib menghasilkan kepuasan pada diri orang yang teraniaya dengan cara melakukan balas dendam terhadap para penganiaya.

Bagian terbesar dari siksa ini terjadi karena dosa syirik, riyâ’, dan meninggalkan ibadah kepada Allah, dan hal-hal lain yang bisa ditempatkan di dalam kategori hak-hak Allah dan bukan hak-hak manusia. Dalam hal ini, tidak ada pengaruh seperti yang dimiliki oleh dua jenis hukuman di dunia yang telah disebutkan terdahulu. (MK)

Bersambung

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*