“Sejak tahun 1982, Festival Tabuik dijadikan sebagai bagian dari agenda kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu terjadi berbagai penyesuaian, salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian ritual Tabuik ini. Jadi, meskipun prosesi ritual awal Tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, yaitu saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncaknya dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak lagi harus jatuh pada tanggal 10 Muharram.”
–O–
Legenda setempat tentang Tabuik mengatakan bahwa ketika Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad tewas di Karbala, bagian dari tubuhnya tercecer di tanah. Kemudian datanglah salah satu malaikat dengan mengendarai Buraq, dan dia mengumpulkan bagian-bagian tubuh tersebut. Setelah terkumpul, malaikat hendak terbang dan membawa tubuh Husein ke surga.[1]
Salah satu pengikut Husein melihat kejadian tersebut dan meminta malaikat untuk turut serta membawa dirinya ke surga bersama Husein. Malaikat menolak permintaan tersebut dan sebagai gantinya dia mengatakan bahwa setiap tanggal 10 Muharram kematian Husein harus diperingati dengan cara membuat imitasi Buraq dan Tabuik (Tabut, dari bahasa Arab yang berarti ‘peti kayu’). Kisah tersebutlah yang menjadi dasar penyelenggaraan Festival Tabuik di Pariaman.[2]
Pada awalnya Festival Tabuik berjalannya tidak seperti sekarang, namun sejak tahun 1910 muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan Tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.[3]
Tabuik terdiri dari dua macam, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya berasal dari dua wilayah yang berbeda di Kota Pariaman. Tabuik Pasa (pasar) merupakan wilayah yang berada di sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut hingga ke tepian Pantai Gandoriah. Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah asal muasal tradisi Tabuik. Adapun Tabuik Subarang berasal dari daerah subarang (seberang), yaitu wilayah di sisi utara dari sungai atau daerah yang disebut sebagai Kampung Jawa.[4]
Awalnya, Tabuik memang hanya ada satu, yaitu Tabuik pasa saja. Kemudian sekitar tahun 1915, atas permintaan segolongan masyarakat, dibuatlah sebuah Tabuik yang lain. Atas kesepakatan para tetua nagari, Tabuik ini harus dibuat di daerah seberang Sungai Pariaman. Karenanya, Tabuik yang kedua ini diberi nama Tabuik Subarang. Riwayat mengatakan kejadian tersebut diperkirakan terjadi tahun 1916, tetapi ada pula versi lain yang menyebutkan tahun 1930. Pembuatan Tabuik Subarang tersebut tetap mengikuti tata cara yang sebelumnya telah berlaku di wilayah Pasa.[5]
Sejak tahun 1982, Festival Tabuik dijadikan sebagai bagian dari agenda kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu terjadi berbagai penyesuaian, salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian ritual Tabuik ini. Jadi, meskipun prosesi ritual awal Tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, yaitu saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncaknya dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak lagi harus jatuh pada tanggal 10 Muharram.[6]
Acara puncak yang sebelumnya jatuh setiap tanggal 10 Muharram, kini disesuaikan menjadi setiap akhir minggu. Dengan demikian Tabuik sekarang tidak hanya suatu kegiatan yang bernuansa ritual saja, tapi ada juga unsur pariwisata di dalamnya. Pemindahan acara puncak ke setiap akhir minggu bertujuan untuk menjaring wisatawan agar dapat hadir dengan jumlah yang lebih banyak.[7] Selain itu di luar prosesi inti juga diselenggarakan acara-acara lainnya seperti lomba-lomba pagelaran seni, tari Indang Kreasi, dan menyanyi lagu Melayu.[8]
Setiap tahunnya puncak acara Tabuik selalu disaksikan ratusan ribu pengunjung yang datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat, bahkan ada juga wisatawan yang datang dari luar negeri. Pantai Gandoriah yang menjadi titik pusat perhatian akan menjadi lautan manusia, khususnya menjelang prosesi Tabuik diarak menuju pantai. “Event ini memang sebagai festival wisata untuk mendatangkan turis dan menggerakkan perekonomian Pariaman. Festival ini merupakan event wisata terbesar yang menarik wisatawan dari luar ke Pariaman. Ini murni kegiatan pariwisata,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pariaman, Efendi Jamal, pada Festival Tabuik tahun 2017.[9]
Terkait dengan menguatnya unsur pariwisata dalam Festival Tabuik, peneliti Antropologi dari Universitas Andalas, M.A. Dalmenda dan Novi Elian mengatakan bahwa makna Tabuik telah mengalami proses desakralisasi dari makna aslinya karena berbagai kepentingan, mereka mengatakan:
“Eksistensi Tabuik di tengah-tengah masyarakat telah terkontaminasi dan terganggu oleh desakan daerah, pariwisata, dan otoriter pemerintahan. Pesta budaya Tabuik adalah salah satu target utama pariwisata Indonesia yang ditawarkan Propinsi Sumatera Barat. Seiring perkembangan zaman, upacara Tabuik ini pelaksanaannya tidak lepas dari event pariwisata yang dijadikan sebuah atraksi kebudayaan.”[10]
Lebih lanjut M.A. Dalmenda dan Novi Elian mengatakan desakralisasi terjadi ketika adanya pergeseran tanggal dalam acara puncak yang semestinya jatuh pada tanggal 10 Muharram menjadi akhir minggu atau hari libur demi kepentingan pariwisata yang digalakkan oleh pemerintah.[11] Sebagai gambaran, acara puncak Festival Tabuik tahun 2013 di Pariaman jatuh pada tanggal 14 Muharram.[12] (PH)
Bersambung ke:
Festival Tabuik di Pariaman (4): Delapan Prosesi dalam Tabuik (1)
Sebelumnya:
Festival Tabuik di Pariaman (2): Sebuah Tinjauan Sejarah dan Perennial
Catatan Kaki:
[1] Syofiardi Bachyul Jb, The Jakarta Post, Padang Copyright 2006 The Jakarta Post, dalam “’Tabuik’ festival: From a religious event to tourism”, dari laman http://www.tmcnet.com/usubmit/2006/03/01/1422473.htm, diakses 4 Januari 2018.
[2] Ibid.
[3] “Festival Tabuik, Perhelatan Akbar Masyarakat Pariaman”, dari laman https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/festival-tabuik-perhelatan-akbar-masyarakat-pariaman, diakses 4 Junuari 2018.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] M.A. Dalmenda dan Novi Elian, Makna Tradisi Tabuik Oleh Masyarakat Kota Pariaman (Studi Deskriptif Interaksionisme Simbolik), (Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, Desember 2016 Vol. 18 (2), Universitas Andalas), hlm 136.
[8] Ibid., hlm 145.
[9] “Tujuh Ritual Ramaikan Festival Tabuik Pariaman 2017”, dari laman https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170928140132-307-244595/tujuh-ritual-ramaikan-festival-tabuik-pariaman-2017, diakses 4 Januari 2018.
[10] M.A. Dalmenda dan Novi Elian, Ibid., hlm 145.
[11] Ibid., hlm 150.
[12] “Inilah Beda Tabuik Piaman Dan Bengkulu”, dari laman http://www.pariamantoday.com/2013/11/inilah-beda-tabuik-piaman-dan-bengkulu.html, diakses 4 Januari 2018.