Festival Tabuik di Pariaman (2): Sebuah Tinjauan Sejarah dan Perennial

in Budaya Islam

Last updated on January 4th, 2018 01:43 pm

“Tradisi Tabuik yang dibawa oleh orang-orang Sepoy mudah diterima oleh masyarakat Pariaman, karena sejak awal Syekh Burhanuddin sendiri memperkenalkan Islam di Pariaman melalui pendekatan budaya dan dengan toleransi yang besar terhadap adat istiadat setempat.

–O–

Tradisi Tabuik di Pariaman, Sumatra Barat, pertama kalinya berlangsung sejak tahun 1831 M. Tradisi ini diperkenalkan kepada masyarakat lokal oleh para migran muslim Syiah dari Sepoy, India. Puncak dari Festival Tabuik dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram Hijriah yang ditandai dengan dilepaskannya boneka Tabuik ke laut.[1]

Festival Tabuik di Pariaman. Photo: sisidunia.com

Pada masa itu, Pariaman adalah sebuah kota pelabuhan terkemuka di pesisir barat Sumatera. Berbagai kelompok ras dan etnis yang berbeda tinggal di sana, termasuk orang Aceh dan Arab yang beragama Islam. Para migran dari Sepoy adalah bekas tentara Inggris di bawah komando Thomas Stamford Raffles, yang sebelumnya berkantor pusat di Bengkulu.[2]

Setelah penandatanganan Perjanjian London pada tanggal 17 Maret 1829 antara Inggris dan Belanda, wilayah pesisir barat Sumatra, yang sebelumnya dikuasai oleh Inggris diserahkan ke Belanda. Setelah peralihan kekuasaan tersebut, beberapa tentara Sepoy lebih memilih untuk menetap di Pariaman. Menjelang Asyura, mereka membuat Tabuik untuk memperingati kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW. Rupanya kegiatan tersebut membuat masyarakat lokal terpengaruh.[3]

Warga Pariaman sendiri sebenarnya adalah pengikut Madzhab Syafi’i. Adalah Syekh Burhanuddin yang pertama kali mengajarkannya kepada masyarakat sekitar. Beliau terkenal sebagai ulama pertama yang mengajarkan Islam terhadap masyarakat di Sumatra Barat. Tradisi Tabuik yang dibawa oleh orang-orang Sepoy mudah diterima oleh masyarakat Pariaman, karena sejak awal Syekh Burhanuddin sendiri memperkenalkan Islam di Pariaman melalui pendekatan budaya dan dengan toleransi yang besar terhadap adat istiadat setempat.[4]

 

Wajah Buraq

Di artikel sebelumya kita telah membahas bahwa bentuk Tabuik merupakan tiruan dari Buraq, hewan yang ditunggangi Nabi Muhammad SAW ketika Isra Mi’raj. Namun sesungguhnya, kata Buraq sama sekali tidak ditemukan di dalam Al-Quran. Yang ada di dalam Al-Quran adalah kata “Barqu” yang berarti “kilat”, kata tersebut ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 19 dan 20, dan al-Ra’du ayat 12. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengartikan kilat pada ayat-ayat di atas sebagai cahaya yang berkilat dan berkelebat sangat cepat. Dia adalah ciptaaan Tuhan sebagai tanda sebentar lagi hujan turun atau badai sedang terjadi.[5]

Selain itu kesimpulan dari hadist-hadist juga mengatakan tidak ditemukan penggambaran yang jelas dan gamblang mengenai bentuk Buraq.[6] Sehingga dari manakah asal usul bentuk Buraq dalam Tabuik yang dibentuk dengan tubuh kuda dengan ekor dan sayap yang lebar, namun kepalanya adalah kepala manusia dengan wajah perempuan yang sedang tersenyum?

Boneka Tabuik di Pariaman diyakini masyarakat setempat merupakan rupa Buraq, hewan tunggangan Nabi dalam peristiwa Isra’Miraj. Photo: metafisis.net

Beberapa lukisan tentang Isra Mi’raj atau Buraq dari beberapa abad yang lalu memang menunjukkan kemiripan dengan bentuk Buraq di dalam festival Tabuik. Misalnya saja lukisan karya Sultan Muhammad tahun 1543 M di Persia yang dipersembahkan untuk Shah Tahmasp.[7] Selain itu ada juga lukisan Buraq peninggalan dari Dinasti Mughal (sekarang India dan Pakistan) pada abad ke-17.[8] Lukisannya dapat dilihat di bawah ini:

Lukisan karya Sultan Muhammad tahun 1543 M di Persia yang dipersembahkan untuk Shah Tahmasp.
Lukisan Buraq peninggalan dari Dinasti Mughal (sekarang India dan Pakistan) pada abad ke-17. Pelukis tidak diketahui.

The New Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa penggambaran Buraq dalam lukisan hanya merupakan imajinasi yang dibuat oleh orang-orang India. Imajinasi yang dibuat merupakan kombinasi antara bentuk hewan dan manusia.[9] Sementara itu, di India sendiri, tepatnya di dalam kepercayaan Hindu, terdapat seorang Dewa yang bernama Kamadhenu yang digambarkan dengan makhluk bertubuh sapi atau kuda yang berwajah perempuan dengan ekor dan sayap burung merak.[10]

Dewa Kamadhenu dalam mitologi Hindu India. Photo: harekrsna.de
Patung Kamadhenu di India. Photo: harekrsna.de

Mengingat pembawa kebudayaan Tabuik merupakan muslim Syiah dari Sepoy, India, dan selain itu ternyata Sepoy juga tidak hanya mengacu kepada sebuah tempat, namun juga mengacu kepada penamaan sebuah pasukan infanteri di zaman Dinasti Mughal India berkuasa,[11] maka besar kemungkinan orang-orang Sepoy di Pariaman juga masih membawa kebudayaan dari Mughal.

Sepoy ketika menjadi tentara Inggris. Photo: nuttyhistory.com

Dalam perspektif Islam tekstual, segala sesuatu yang sifatnya “tambahan” dari teks Al-Quran dan Hadits, atau syariat Islam semasa Nabi hidup, Festival Tabuik yang merupakan serapan dari berbagai kebudayaan dapat dianggap sebagai bid’ah. Namun dari perspektif syiar Islam yang berbasis tarekat, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali di zaman penyebaran Islam di Indonesia, justru peleburan kebudayaan dilakukan dan dianggap sebagai cara yang efektif.[12]

Selain itu, di dalam filsafat perennial, dikatakan bahwa segala sesuatu yang sifatnya eksoteris (lahiriah), itu sah-sah saja dilakukan dalam ragam yang berbeda, karena pada dasarnya manusia itu memang berbeda-beda sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Quran itu sendiri (QS. Ar-Rum ayat 22 dan QS. Al-Hujurat ayat 13). Penganut filsafat perennial membuat sebuah perumpamaan: cahaya dapat diterima dengan ragam warna yang berbeda, namun pada hakikatnya cahaya adalah satu, dan semua akan menuju kepada cahaya yang satu itu.[13] (PH)

Bersambung ke:

Festival Tabuik di Pariaman (3): Peleburan Budaya, Religi, dan Pariwisata

Sebelumnya:

Festival Tabuik di Pariaman (1): Peringatan Wafatnya Husein, Sebuah Asimilasi Kebudayaan

Catatan Kaki:

[1] Syofiardi Bachyul Jb, The Jakarta Post, Padang Copyright 2006 The Jakarta Post, dalam “’Tabuik’ festival: From a religious event to tourism”, dari laman http://www.tmcnet.com/usubmit/2006/03/01/1422473.htm, diakses 2 Januari 2018.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Mas Koko, “Buraq : Kendaraan Nabi Saat Isra Mi’Raj / Menembus Langit Ketujuh”, dari laman http://www.akuislam.id/2017/01/buraq-kendaraan-nabi-saat-isra-miraj.html, diakses 2 Januari 2017.

[6] Lihat “Festival Tabuik di Pariaman (1): Peringatan Wafatnya Husein, Sebuah Asimilasi Kebudayaan”, dari laman https://ganaislamika.com/festival-tabuik-di-pariaman-1-peringatan-wafatnya-husein-sebuah-asimilasi-kebudayaan/, diakses 2 Januari 2018.

[7] “Nizami Ganjavi”, dari laman https://en.wikipedia.org/wiki/Nizami_Ganjavi, diakses 2 Januari 2018.

[8] “Buraq”, dari laman https://en.wikipedia.org/wiki/Buraq, diakses 2 Januari 2018.

[9] Cyril Glasse, The New Encyclopedia of Islam, (Altamira Press: London, 2002), hlm 94.

[10] “Burk-E-Albani / البُراق‎ ‎ / Al-Burāq”, dari laman http://www.harekrsna.de/artikel/islam-al-buraq.htm, diakses 2 Januari 2018.

[11] “Sepoy”, dari laman https://en.wikipedia.org/wiki/Sepoy, diakses 2 Januari 2018.

[12] Lebih lengkap tentang dakwah damai di bumi nusantara lihat “Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (2): Dakwah Damai Alawiyin”, dari laman https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-2-dakwah-damai-alawiyin/, diakses 3 Januari 2018.

[13] Ahmad Nurcholish, “Perenialisme Agama-Agama”, dari laman https://www.inspirasi.co/nurcholish_101/739_perenialisme-agama-agama, diakses 3 Januari 2012.l

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*