“Tjokroaminoto tidak suka dengan tradisi birokrasi terhadap orang-orang Belanda—seperti menyembah, sebagaimana lazimnya abdi negara pada saat itu.”
Tidak dipungkiri bahwa kemerdekaan Indonesia, tidak lepas dari jasa para tokoh-tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi kala itu. Kiprah dan perjuangan mereka, patut dijadikan contoh oleh generasi-generasi muda zaman sekarang. Selain sebagai sosok nasionalis, banyak tokoh yang memegang teguh agama, dan menjadikan tatanan Islam sebagai bentuk perjuangan mereka. Salah satunya adalah H.O.S. Tjokroaminoto seorang priyayi yang berasal dari Tanah Jawa.
Masa Kecil
Terlahir dengan nama Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pada tanggal 16 Agustus 1883. Mengenai tempat kelahirannya ada dua pendapat yang berbeda, yang pertama di desa Bakur, Madiun. Sedangkan pendapat lain menyatakan di desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo.
Ia putra kedua dari 12 bersaudara, di mana Tjokroaminoto merupakan keturunan darah biru alias priyayi (bangsawan). Ayahnya, R.M. Tjokroamiseno, adalah pejabat wedana (asisten bupati) di distrik Kleco, Magetan. Sang kakek R.M. Adipati Tjokronegoro pernah menjabat menjadi Bupati Ponorogo. Sehingga keluarga Tjokroaminoto selain dihormati orang-orang karena keluarga terpandang, juga karena keluarga pejabat pemerintah.
Ia mengenyam pendidikan agama Islam dengan sangat baik, karena kakek buyutnya adalah seorang ulama yang cukup termashyur pada zamannya. Buyutnya, Kiai Bagoes Kasan Besari, merupakan suami dari putri Susuhunan Pakubuwono II dari Surakarta.[1]
Dengan latar belakang keluarga yang begitu kuat akar priyayi dan agamanya, maka Tjokroaminoto memiliki keleluasaan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Selain mempelajari agama Islam, ia pun fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Madiun, ia meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi begitu menginjak masa remaja. Tjokroaminoto pindah ke Magelang dan mendaftarkan diri ke sebuah akademi pamong praja bentukan Belanda, yaitu Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).
OSVIA merupakan sekolah yang dikhususkan bagi kaum pribumi, di mana kelak para lulusannya akan menjadi abdi negara. Kaum pribumi diperkenankan untuk mendaftar selama mampu berbahasa Belanda. Namun, sebagian besar murid di OSVIA merupakan keturunan ningrat atau anak saudagar yang mampu membayar biaya sekolah yang mahal.
Masa Karir
Setelah menempuh masa pendidikan di OSVIA dan dinyatakan lulus pada tahun 1902, Tjokroaminoto bekerja di pemerintahan Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Jabatannya adalah juru tulis Patih— pejabat abdi negara—pada kesatuan pegawai administratif di Ngawi, Jawa Timur.
Karena ia sosok yang cerdas dan tekun, dalam kurun waktu tiga tahun Tjokroaminoto diangkat sebagai Patih, lalu tidak lama kemudian naik jabatan sebagai pembantu utama bupati.
Akan tetapi, ia memutuskan undur diri dari jabatan pada tahun 1905. Tjokroaminoto tidak suka dengan tradisi birokrasi terhadap orang-orang Belanda—seperti menyembah, sebagaimana lazimnya abdi negara pada saat itu.
Tindakan Tjokroaminoto ini dianggap “gegabah” dan membuat geram sang kakek. Namun, ia tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Bahkan nekat menikahi Suharsikin, seorang putri dari Patih Ponorogo di tahun yang sama (1905). Padahal, sang mertua terusik oleh keputusan Tjokroaminoto yang mengundurkan diri sebagai abdi negara. Jika ia tetap meneruskan karirnya, Tjokroaminoto akan meraih tempat terhormat di Pangreh Praja.
Namun, ia memutuskan untuk hengkang dan pergi ke kota lain bersama sang istri.
Kehidupan Setelah Lepas dari Jabatan Abdi Negara
Setelah menikah, ia sempat menjalani pindah dan hijrah ke kota-kota lain yang biasa disebutnya sebagai hijrah. Salah satu alasan ia melakukan hijrah adalah mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.[2]
Pada September 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja sebagai bagian administrasi di firma Kooy & Co, sebuah perusahaan dagang.[3]
Tjokroaminoto yang tekun dan haus akan ilmu, akhirnya mengambil kursus mesin di Burgelijke Avendschool Afdelling Wertuigkundigo (BAS). Ia mengambil kelas sore, selepas bekerja.
Penghasilannya yang cukup memadai di firma tersebut, membuat Tjokroaminoto dapat membeli sebuah rumah. Sebagian kamar di rumah tersebut disewakan dan dikelola oleh sang istri sebagai kamar kos. Karena lokasinya dekat dengan sekolah-sekolah, salah satunya Hoogere Burgerschool (HBS).
Di rumah inilah, beberapa tokoh besar Indonesia sempat bermukim sebagai anak kos, salah satunya adalah Soekarno.
Setelah menyelesaikan kursus di BAS, Tjokroaminoto mengundurkan diri dari firma dagang. Ia bekerja di sebuah pabrik gula pada tahun 1907, sebagai tenaga magang. Yang tidak lama kemudian ia diangkat menjadi pegawai tetap dan menjadi ahli kimia di pabrik tersebut.[4]
Di sela-sela kesibukan bekerja, ia pun rajin menulis berbagai artikel yang dikirimkan pada media setempat, yaitu Harian Bintang Soerabaya. Karena tulisan-tulisannya yang kritis, Tjokroaminoto diangkat menjadi redaktur surat kabar tersebut. Kritikan tajam Tjokroaminoto pada pemerintah Hindia Belanda, dianggap sebagai ancaman karena menulis propaganda.
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] William Ciputra, Profil Hos Tjokroaminoto dan Asal-Usul Julukan Raja Jawa Tanpa Mahkota, pada laman https://regional.kompas.com/read/2022/01/27/111000478/profil-hos-tjokroaminoto-dan-asal-usul-julukan-raja-jawa-tanpa-mahkota?page=all diakses pada 11 Agustus 2023
[2] Merdeka.com, HOS Tjokroaminoto, Raja Jawa tanpa mahkota, pada laman https://www.merdeka.com/peristiwa/hos-tjokroaminoto-raja-jawa-tanpa-mahkota.html diakses pada 11 Agustus 2023
[3] Mely, Hari Pahlawan: H.O.S. Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, Raja Jawa Tanpa Mahkota, pada laman https://www.gatra.com/news-557660-nasional-hari-pahlawan-hos-tjokroaminoto-sang-guru-bangsa-raja-jawa-tanpa-mahkota.html diakses pada 11 Agustus 2023
[4] Rohmat Kurnia, HOS Tjokroaminoto: Sang Raja Tanpa Mahkota (Bee Media Pustaka, 2019), hlm 10