H.O.S. Tjokroaminoto: Sosok Multidimensional dalam Kemajuan Bangsa dan Gerakan Islam Modern (2)

in Tokoh

Last updated on August 18th, 2023 05:13 am

“Tjokroaminoto pun ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda dan dipenjara, tanpa diusut kebenarannya. Ia pun mendapat cobaan terberat lainnya, Suharsikin sang istrinya tercinta meninggal dunia.”

Sumber gambar: kompasiana.com

Karena tulisannya di surat kabar, nama Tjokroaminoto dikenal oleh berbagai kalangan pada masa itu. Salah satunya H. Samanhoedi—seorang pengusaha batik dari Laweyan, yang mengirimkan utusan untuk menemui Tjokroaminoto.

H. Samanhoedi hendak membuka cabang Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surabaya, dan menawarkan posisi pada Tjokroaminoto. Di sinilah awal karir Tjokroaminoto mengenal dunia politik.

Bergabung dengan Serikat Dagang Islam (SDI)

Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan oleh H. Samanhoedi pada tahun 1911, di Surakarta. Awalnya SDI hanya sebuah perkumpulan para pedagang batik di Surakarta yang dibentuk dengan tujuan untuk meruntuhkan sistem monopoli dagang pengusaha China yang menyediakan bahan baku untuk perusahaan batik. Tapi pada perkembangannya, SDI tumbuh menjadi organisasi kerakyatan yang banyak meraup simpati dan partisipasi masyarakat, bahkan hingga keluar Surakarta.

Mengetahui kecakapan Tjokroaminoto, H. Samanhoedi menawarkan posisi pada Tjokroaminoto untuk bergabung dengan SDI cabang Surabaya. Tjokroaminoto menerima tawaran tersebut, bahkan menjadi sosok yang penting di SDI.

Di tahun 1912, Tjokroaminoto mengusulkan perubahan nama dari SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Alasannya agar anggota organisasi tersebut tak hanya sebatas kalangan pedagang batik, tetapi juga pedagang kalangan pribumi, dan juga rakyat. Selain itu, isu yang menjadi bidang kajian SI pun meluas, hingga mencakup bidang lainnya, seperti kesejahteraan dalam nilai Islam, kesejahteraan hidup masyarakat, kultural, pun bidang politik.

Pada 10 September 1912, nama Sarekat Dagang Islam pun resmi berubah menjadi Sarekat Islam. Dari semula hanya menjabat sebagai ketua SI cabang di Surabaya, Tjokroaminoto diangkat menjadi wakil ketua Central Sarikat Islam (CSI) berpusat di Surakarta pada 25 Maret 1913 mendampingi H. Samanhoedi. Lalu pada bulan 19-20 April 1914, di kongres kedua SI ia terpilih sebagai ketua. Lalu setelah itu, kantor pusat yang berada di Surakarta, dipindahkan ke Surabaya.[1]

Tjokroaminoto menjelma menjadi pemimpin tertinggi SI, organisasi rakyat paling kuat dan mewakili kaum Muslimin di Hindia Belanda.

Polemik dan Ujian Bertubi-tubi

Pemerintah Hindia Belanda menjulukinya sebagai De Ongekroonde van Java yang berarti “Raja Jawa Tanpa Mahkota”.[2] Gelar tersebut tidak semata-mata begitu saja ia dapatkan, melainkan karena sepak terjangnya menjadi sosok pribumi yang memiliki pengaruh besar dan begitu disegani.

Di tahun 1918, muncul sebuah artikel di surat kabar Djawi Hiswara yang diianggap oleh Tjokroaminoto melecehkan Nabi Muhammad SAW. Petikan dari kalimat artikel Pertjakapan Marto dan Djojo, yakni: “Goesti Kanjeng Nabi Rasul itu minum ciu A.V.H. dan minum opium….” Sontak membuat geram. Tjokroaminoto pun membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM), dan menggerakkan aksi bela Islam sebagai respon atas tulisan tersebut.[3]

Bersamaan dengan itu, ia pun diangkat menjadi anggota parlemen Dewan Rakyat yang disebut Volksraad. Yang justru dibuat oleh pemerintah kolonial. Hal ini membawa polemik, bahwa pemerintah Hindia Belanda justru membawa isu tersebut ke dalam konteks politik.

Haji Mohammad Misbach salah satu tokoh Islam pada masa itu, merasa kecewa. Semula ia kira TKNM akan menjadi kekuatan Islam militan, nyatanya tak lebih dari sekadar alat untuk menaikkan nama Tjokroaminoto. Haji Misbach pun berbalik menyerang Tjokroaminoto yang dianggapnya lembek menghadapi pemerintah Hindia Belanda.[4]

Memasuki April 1918, isu-isu mengenai TKNM terkikis dari perdebatan publik. Tjokroaminoto pun tidak memaksakan diri untuk memanfaatkan posisinya di Dewan Rakyat untuk merealisasikan tuntutan TKNM.

Di tahun 1920, basis kekuatan Tjokroaminoto di CSI pun runtuh. Ribuan anggota SI yang merupakan pengikutnya hengkang dan pindah ke organisasi Politik Economische Bond (PEB). Kekuasaan Tjokroaminoto sempat dipangkas oleh Soerjopranoto dan Agoes Salim, karena tuduhan kas CSI yang kosong pada bulan Mei. Pada tahun berikutnya yakni 1921, setelah kongres yang dilaksanakan di Yogyakarta, nama Tjokroaminoto dipulihkan.

Namun, di tahun tersebut pada bulan Agustus, Tjokroaminoto dituduh terlibat dalam kasus “Afdeeling B”. Afdeeling B adalah sebuah gerakan SI Islam radikal di Tanah Priangan yang bersifat tertutup juga rahasia untuk menyuarakan perang suci melawan pemerintah kolonial.

Tjokroaminoto pun ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda dan dipenjara, tanpa diusut kebenarannya. Ia pun mendapat cobaan terberat lainnya, Suharsikin sang istrinya tercinta meninggal dunia di tahun 1921 tersebut.

Bersambung

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Mely, Hari Pahlawan: H.O.S. Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, Raja Jawa Tanpa Mahkota, pada laman https://www.gatra.com/news-557660-nasional-hari-pahlawan-hos-tjokroaminoto-sang-guru-bangsa-raja-jawa-tanpa-mahkota.html diakses pada 11 Agustus 2023

[2] William Ciputra, Profil Hos Tjokroaminoto dan Asal-Usul Julukan Raja Jawa Tanpa Mahkota, pada laman https://regional.kompas.com/read/2022/01/27/111000478/profil-hos-tjokroaminoto-dan-asal-usul-julukan-raja-jawa-tanpa-mahkota?page=all diakses pada 11 Agustus 2023

[3] Agung DH, Saat Penistaan Agama Lahirkan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad, pada laman https://tirto.id/saat-penistaan-agama-lahirkan-tentara-kandjeng-nabi-muhammad-b1R9 diakses pada 12 Agustus 2023

[4] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*