Seorang lelaki Quraisy yang berperangai buruk melihat telaga yang dibangun pasukan Muslim. Dia bersumpah melaksanakan salah satu hal ini: meminum air dari telaga itu, menghancurkannya, atau terbunuh karenanya. Belum sampai, Hamzah menghadangnya.
Hari demi hari terus berlalu, dan kini umat Islam di Madinah telah memasuki tahun kedua setelah peristiwa hijrah dari Makkah. Meski sebelumnya kaum Quraisy di Makkah sudah mendeklarasikan perang terhadap Muslim, namun sampai sejauh ini belum terjadi perang dalam skala besar, kecuali beberapa konfrontasi kecil di antara mereka.
Hingga tibalah momen besar di mana pasukan Muslim dan pasukan Quraisy saling berhadap-hadapan di Badar, sebuah tempat di dekat Madinah, peristiwa ini terjadi pada 17 Ramadan 2 H (13 Maret 624 M). Di dalam sejarah Islam, perang ini dianggap merupakan kemenangan militer pertama bagi Muslim dan Nabi Muhammad saw.
Kemenangan Islam dalam perang tersebut benar-benar meruntuhkan dominasi orang-orang Makkah sekaligus menguatkan posisi politik Muslim di Madinah dan membuat orang-orang Islam menjadi salah satu komunitas yang kekuatannya diperhitungkan di seluruh Jazirah Arab.
Kebangkitan Islam dalam melawan suku Quraisy di Makkah adalah perkembangan penting dalam sejarah militer, agama, dan masyarakat Muslim. Perang Badar juga merupakan tanda, bahwa selain sebagai Nabi bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw juga merupakan panglima perang yang ulung.[1]
Ada banyak penafsiran terkait apa yang melatarbelakangi terjadinya perang tersebut, namun pada kesempatan kali ini kita tidak akan terlalu jauh masuk ke sana. Artikel ini akan berfokus kepada sosok Hamzah bin Abdul Muthalib dan kiprahnya dalam perang tersebut.
Pagi-pagi sekali pasukan Quraisy turun dari balik bukit pasir ke gurun Badar. Ketika Nabi melihat mereka, beliau menengadah ke langit seraya berkata, “Ya Allah, Kaum Quraisy telah bangkit dengan bangga dan sombong untuk memerangi-Mu dan menyangkal Nabi-Mu! Kirimkanlah bantuan yang telah Engkau janjikan kepadaku, dan hancurkanlah mereka hari ini!”[2]
Sementara itu, dari sisi musuh, Abu Jahal yang bertindak sebagai Jenderal juga berdoa, “Ya Allah, pada hari ini hancurkanlah kelompok itu (Muslim) yang berusaha memutuskan hubungan keibuan (kekerabatan) dan mempercayai perilaku yang salah. Wahai Allah! Hari ini bantulah kelompok ini (Quraisy) yang begitu Engkau cintai.”[3]
Pasukan Quraisy memiliki kekuatan tempur sebanyak sekitar 1.300 orang, sementara itu Muslim hanya memiliki antara 313-317 orang.[4]
Ketika kedua pasukan sudah saling berhadapan, sebagaimana perang-perang lainnya, mestilah ada yang berinisiatif untuk memulai peperangan. Orang itu muncul dari sisi pasukan Quraisy, dia bernama al-Aswal bin Abdil Asad al-Makhzumi, seorang laki-laki yang perangainya kasar dan berperilaku buruk.[5]
Ketika melihat telaga air yang dibangun pasukan Muslim dia bersumpah akan melaksanakan salah satu dari tiga hal ini: meminum air dari telaga itu, menghancurkannya, atau terbunuh karenanya.[6] Dia berkata, “Aku berjanji kepada Allah, aku pasti minum dari telaga mereka, atau aku akan menghancurkannya, atau aku mati karenanya.”[7]
Dia kemudian keluar dari barisan pasukan Quraisy lalu menemui komandan Muslim yang pemberani, Hamzah, yang sedang berada di dekat telaga air itu. Timbullah pertarungan di antara mereka. Hamzah menebasnya sehingga setengah betis kakinya putus padahal dia belum mencapai telaga, dan dia pun terjengkang.
Kakinya mengucurkan darah yang menyembur ke arah kawan-kawannya. Kemudian dia tetap merangkak menuju telaga hingga masuk ke dalamnya. Dia ingin memenuhi sumpahnya, tetapi Hamzah mengikutinya dan mengakhirinya (membunuhnya) di dalam telaga.[8]
Atau dalam versi lain, dikatakan bahwa al-Aswal bin Abdil pada akhirnya sampai ke tepian telaga dengan kaki yang berdarah, dan untuk memenuhi salah satu sumpahnya dia berhasil minum dari sana hanya untuk kemudian tewas diserang Hamzah untuk terakhir kalinya.
Insiden ini menyebabkan pertempuran menjadi tak terelakkan, karena tak ada penyebab yang lebih ampuh untuk membangkitkan sentimen massa selain tumpahnya darah. Beberapa orang yang hatinya sedang bernyala-nyala karena dengki dan benci amat ingin mencari dalih untuk bertarung, dan sekarang dalih inilah yang terbaik bagi mereka untuk bertempur.[9] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Tony Bunting, “Battle of Badr”, dari laman https://www.britannica.com/event/Battle-of-Badr, diakses 23 Februari 2018.
[2] Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 334.
[3] Safiur-Rahman Mubarakpuri, When the Moon Split: A Biography of Prophet Muhammad (Darussalam, 1998), hlm 153.
[4] Ibid., hlm 149-150.
[5] Ibnu Hisyam, As-Siirah (Vol 2, hlm 228), dalam Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 280.
[6] Ja’far Subhani, Op.Cit., hlm 336.
[7] Syaikh Mahmud al-Mishri, Loc.Cit.
[8] Ibid.
[9] Ja’far Subhani, Loc.Cit.