Hikmah Peperangan Abu Bakar Melawan Para Pembangkang Zakat

in Ramadania

Ada beberapa fenomena yang terjadi selama kepemimpinan Abu Bakar, diantara yang cukup kontroversial kala itu adalah memerangi kaum murtad dan pembangkang zakat. Lantas, mengapa Abu Bakar memilih untuk memerangi mereka?

Sumber gambar: thehumblei.com

Abu Bakar bernama ʿAtiq bin Abi Qahafah Uthman bin ʿAmir bin ʿAmru bin Ka’b bin Sa’d bin Taym, bin Murra bin Ka’b bin Lu’ay Al-Qurasyiyyi Al-Taymiyy.[1] Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa ʿAtiq adalah nama panggilannya karena memiliki paras yang tampan, sedangkan asilnya adalah Abdullah.

Abu Bakar Al-Siddiq adalah salah seorang sahabat Nabi Saw yang sangat loyal, seluru hartanya diserahkan kepada Nabi Saw untuk membantu dalam perkara dakwah, Suatu hari, Amru bin Al-Ash bertanya kepada Rasulullah Saw “Wahai Rasulullah siapa diantara para sahabat yang sangat engkau cintai?” beliau menjawab “Abu Bakr”.[2]

Nama Abu Bakar kerap kali disebutkan dalam beberapa asbab nuzul suatu ayat ataupun beberapa hadith Rasulullah Saw, menunjukkan kesetiaannya membersamai Rasulullah Saw dalam menegakkan kebenaran. Jika seseorang dapat berpikir bahwa seorang sahabat Rasul akan wafat dalam keadaan sedih serta penuh duka akibat perpisahannya dengan Rasulullah Saw, lantas bagaimana dengan Abu Bakar yang sangat mencintai Rasulullah Saw dan merupakan sahabat yang paling dekat dengana Rasulullah Saw?

Seseorang bahkan mungkin berpikir bahwa Abu Bakar akan sangat murka dan hancur. Ternyata tidak demikian, Abu Bakar sangat tenang menghadapinya, beliau menunggangi kudanya dari menuju tempat Rasulullah Saw tanpa sepatah kata pun sampai tiba di kediaman Rasulullah Saw, di rumah Aisyah. Disana beliau membuka kain yang menutupi wajah Rasulullah Saw, kemudian berlutut menciumnya kemudian menangis, air matanya berderai mencoba ridha akan perpisahannya dengan yang terkasih, penyejuk hatinya, beliau berkata[3]:

 بِأَبِي أَنْتَ وامي يَا نَبِيَّ اللَّهِ، لاَ يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ، أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتِبَتْ عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّهَا‏

“Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah, tidak akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati.”

Setelah itu, beliau keluar untuk mengabarkan masyarakat akan wafatnya Rasulullah Saw dimana saat itu orang berkerumun diantara Umar bin Khattab dan mempercai perkataannya bahwa Rasul hanya pergi sementara dan akan kembali lagi di hadapan mereka.

Saat Abu Bakar berada di hadapan masyarakat, orang-orang lantas memperhatikannya sembari berkata “Barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah pergi (wafat), ini adalah kenyataan yang harus diterima. Sedangkan, barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah hidup dan tidak akan mati,[4] kemudian membaca surat Ali Imran 144, yang berbunyi:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ

Artinya: Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.

Demikianlah Abu Bakar yang begitu bijak dan berakhlak Qurani, dengan ridha dan keikhlasannya, ia dengan tegar menenangkan masyarakat pasca kematian Rasulullah Saw dengan hatinya yang juga sedang hancur. Tidak heran jika beliaulah yang dipercayai menjadi khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Ada beberapa fenomena yang terjadi selama kepemimpinan Abu Bakar, diantara yang cukup kontroversial kala itu adalah memerangi kaum murtad dan pembangkang zakat. Lantas, mengapa Abu Bakar memilih untuk memerangi mereka?

Perang Melawan Para Pembangkang Zakat

Begitu banyak ujian yang menimpa para sahabat dalam menegakkan kebenaran pasca wafatnya Rasulullah Saw. Namun mereka tidak tinggal diam demi kemaslahatan agama dan ummat, beberapa peperanganpun terjadi yang diantarannya adalah peperangan pada periode Abu Bakar melawan orang-orang yang menyelisihinya, mereka terbagi menjadi tiga golongan:

(1) Kaum yang mengingkari Islam dan kembali beribadah menyembah patung, dalam hal ini semua ummat Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang kafir murtad.

(2) Kaum yang terang-terangan membangkang dan mengingkari kewajiban mengeluarkan zakat.

(3) Kaum yang menolak keras membayar zakat di masa khilafah Abu Bakar besera aparaturnya, namun mereka tidak sampai inkar terhadap kewajiban zakat.

Mayoritas ulama terdahulu berpendapat bahwasanya mereka digolongkan sebagai orang yang murtad (ahl riddah), bahkan beberapa ulama kontemporer menyebutnya sebagai ijma’. Sedangkan mayoritas fuqaha’ dari madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi serta sebagian madzhab Hanbali, berpendapat bahwa mereka adalah kaum pemberontak (ahl bughat) namun tidak tergolong orang-orang yang murtad.

Perbedaan ini terjadi karena penggunaan metode yang berbeda antara mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer.[5] Abu Bakar sendiri pernah menegaskan sikapnya terhadap para pembangkang zakat.

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لأَبِي بَكْرٍ كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ ‏”‏ ‏.‏ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَاللَّهِ لأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالاً كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ ‏.‏ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ.[6]

Artinya: Umar berujar kepada Abu Bakar, “Bagaimana engkau memerangi manusia padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa-ilaaha-illallah, barangsiapa mengucapkan Laa-ilaaha ilallah, berarti ia telah menjaga darah dan jiwanya dariku kecuali karena alasan yang dibenarkan, dan hisabnya ada pada Allah, ‘Lantas Abu Bakar berkata, “Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Lantas Umar berkata, “Demi Allah, tak ada pendapat lain selain aku melihat bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi, aku sadar bahwa dia adalah benar.”

Perlu diperhatikan bahwa perkara mengenai peperangan terhadap kemurtadan seseorang bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan sembarang. Banyak hal yang perlu diperhatikan sebab kekafiran seseorang tidak bisa langsung dijadikan dalil diperbolehkannya perang berdasarkan ayat 256 surat al-Baqarah, yang artinya: “tidak ada paksaan dalam (masuk) agama Islam”.

Sedangkan dalam konteks peristiwa di masa Abu Bakar terdapat ijma’ yang menyatakan demikian yang hikmahnya adalah melindungi agama Islam dari serangan fitnah pasca kepergian Rasulullah Saw.

Zakat dalam Maqasid Syariah

Dalam ayat al-Quran kalimat zakat disebutkan bersamaan dengan kalimat shalat sebanyak 28 kali. Setiap ayat mengenai shalat disebutkan bersamanya perkara iman dan zakat. Sebab iman adalah amaliyah hati sedangkan yang pertama disyariatkan adalah shalat sebagai ibadah badaniyyah dan zakat sebagai ibadah maliyah (harta). Sehingga dua hal inilah yang selalu ditekankan dalam dakwah mengenai keimanan, menunjukkan betapa pentingnya membayar zakat.[7]

Membayar zakat yang diwajibkan untuk seluruh ummat Islam sebagai bagian dari rukun iman, memiliki beberapa maqasid, diantaranya[8];

  1. Sebagai perwujudan ibadah kepada Allah SWT dengan menaati perintah-Nya, rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah untuk ummat Islam.
  2. Mensucikan diri dari dosa, dari perbuatan tercela dan kikir.
  3. Mensucikan harta.
  4. Mensucikan hati orang-orang faqir dari iri dan dengki terhadap orang-orang kaya.
  5. Melipatgandakan kebaikan serta mengangkat derajat seseorang.
  6. Kesetaraan dan keadilan antara yang kaya dan faqir.
  7. Memperbanyak harta dengan banyaknya keberkahan yang terkandung didalamnya.
  8. Sebagai dakwah di jalan Allah.

Masih banyak hikmah dari membayar zakat yang bukan hanya mempererat ikatan manusia kepada Allah namun juga mempererat ikatan sesama manusia untuk kemaslahatan bersama sebagai wujud kasih saying sesama. Sehingga, tidak ada alasan lagi bagi seorang muslim untuk menolak atau bahkan mengingkari kewajiban membayar zakat, sebab mengingkari satu perkara dalam rukun iman dapat merusak keutuhan iman sesorang. (NSS)

Catatan kaki:


[1] Kisah lebih lengkap tentang sosok Abu Bakar As-Shiddiq perna dimuat oleh Ganaislamika. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/kisah-abu-bakar-ash-shiddiq-1-arab-sebelum-islam-1/

[2] Al-Dhahabi, Siyār A’lām Nubala’, (Beirut: Muassasa al-Risalah), 1982, vol. 28, 7.

[3] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Vol. 64, no. 472.

[4] Ibid.

[5] Yusuf al-Ghafiṣ, Sharh Al-Waṣiyya al-Kubra, Maktaba Shamela, Vol. 7, 3.

[6] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Vol. 24, no. 5; Muslim, Shahih Muslim, Vol. 1, no. 32.

[7] Abdullah bin Mansur al-Ghfaily, Nawāzil al-Zakat, (Qatar: Idāra al-Shu’un al-Islamiyya), 2009, 44.

[8] Ibid., 46-54.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*