Mozaik Peradaban Islam

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (1): Arab Sebelum Islam (1)

in Tokoh

Last updated on April 13th, 2020 02:50 pm

Amr bin Luhay, tokoh Makkah yang bajik yang suka bersedekah dan meninggikan urusan keagamaan melakukan perjalanan ke Syam. Sepulangnya, dia membawa patung Hubal dan mengajak warga Makkah untuk menyembahnya.

Foto: Cover buku karya Abdurrahman Asy Syarqawi, Abu Bakar Ash Shiddiq: The Successor

Makkah, sebuah wilayah yang gersang namun telah menjadi magnet peradaban dari sejak ribuan tahun silam. Para penulis zaman dahulu menggambarkan kota ini sebagai gadis cantik yang berjilbabkan bukit-bukit gersang yang hanya bisa dibayangkan jika melihatnya langsung.

Tidak ada sebatang pohon tanaman pun di sana dan penduduknya seakan-akan hanya hidup dari air zamzam. Makanan berupa gandum dan kurma harus dibeli dan diangkut dari wilayah luar, paling dekat dari Thaif yang berjarak 64 km dari sebelah tenggara, atau dari Madinah yang berjarak 497 km dari sebelah utara.

Sementara itu rempah-rempah didatangkan dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, didatangkan terlebih dahulu ke Yaman yang jaraknya ratusan kilometer dari sebelah selatan, baru kemudian dibawa ke Makkah. Bila tidak ada sumur zamzam, maka orang-orang harus mengangkat air sejauh ratusan kilometer.

Pada abad ke-7 M, penduduk Makkah hanya berjumlah sekitar 5.000 orang, dan itu sudah termasuk para pendatang dari berbagai ras dan suku. Secara ekonomi, Makkah adalah kota perdagangan yang kecil. Di sana orang-orang berdagang di pasar, ada juga yang menjadi buruh angkut, penggembala, dan serta para budak belian.[1]

Adapun mengenai gersangnya wilayah ini, itu sudah berlangsung sedemikian lama dari sejak dua milenium sebelumnya, yaitu ketika Ibrahim AS membawa istri dan anaknya, Ismail, ke tempat ini, dia berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim [14]: 37)

Penduduk Makkah mengaku bahwa mereka adalah keturunan dari Ibrahim. Demikian pula orang-orang Yahudi dan Nasrani di Syam, mereka mengaku sebagai keturunan Ibrahim dan juga ahli waris agama yang diajarkan olehnya.[2]

Pada awalnya, mayoritas Bangsa Arab di sana mengikuti dakwah yang diajarkan oleh Ismail AS yang menyeru untuk mengikuti agama yang diajarkan oleh ayahnya, yaitu menyembah Allah, meng-Esakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.

Kemudian waktu bergulir sekian lama, sehingga banyak di antara mereka yang melalaikan apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Hingga tibalah masanya Amr bin Luhay, pemimpin Bani Khuzaah. Dia dikenal sebagai orang bajik yang suka bersedekah dan meninggikan urusan keagamaan. Semua orang begitu mencintainya, dan mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.

Suatu waktu Amr bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam, di sana dia melihat penduduknya menyembah berhala dan dia berpikiran bahwa hal itu merupakan sesuatu yang baik dan benar, sebab menurutnya, Syam adalah tempatnya para rasul dan ahli kitab.

Akhirnya dia pulang ke Makkah sambil membawa patung Hubal dan meletakannya di dalam Kabah. Setelah itu dia mengajak penduduk Makkah untuk menyembahnya. Penduduk lain di Hijaz pun kemudian banyak yang mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai penjaga Kabah dan penduduk tanah suci.[3]

Demikianlah, berawal dari kemusyrikkan, orang-orang Makkah kemudian terjerumus lebih jauh lagi ke dalam perbuatan-perbuatan buruk seperti takhayul, berjudi, percaya dukun, mempersembahkan korban untuk berhala, dan berbagai macam hal lainnya yang di dalam term Islam disebut dengan Jahiliyah.

Keadaan ini bukan hanya terjadi kepada orang-orang Arab saja, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun mengalami hal yang serupa, meski dalam bentuk lain. Orang Yahudi berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah.

Sementara itu ajaran agama Nasrani menjadi tercampur dengan paganisme, sehingga membuat agama ini menjadi sulit dipahami. Kalaupun ada orang Arab yang memeluk Nasrani, mereka memeluknya hanya sebatas formalitas saja, selebihnya mereka masih melaksanakan tradisi-tradisi jahiliyah.[4]

Di tengah-tengah lingkungan seperti ini, pada tahun 632 M, lahirlah seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Quhafah. Dalam kesehariannya dia biasa dipanggil dengan sebutan Atiq. Pada waktunya nanti, dia akan menjadi tokoh besar pembantu Nabi Muhammad SAW. Dan sepeninggal Nabi, dia akan menjadi khalifah pertama umat Islam. Dia lah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq. (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] O. Hashem, Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail (Ufuk Press: Jakarta, 2007), hlm 29-30.

[2] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 31.

[3] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Mukhtassar Siratir-Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, hlm 12, dikutip kembali oleh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 49.

[4] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid., hlm 57-58.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*