Ummu al-Khair, setiap kali memiliki anak laki-laki selalu meninggal. Maka dia berdiri di depan Kabah, “Ya Allah, jika yang satu ini terbebas (atiq) dari kematian, maka berikanlah dia kepadaku.” Anak inilah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Setelah peristiwa Tahun Gajah, tahun di mana Nabi Muhammad SAW lahir, terdapatlah sepasang suami dan istri Quraish. Sang suami memiliki nama Abu Quhafah, dan sang istri bernama Ummu Al-Khair. Abu Quhafah bukanlah nama aslinya, melainkan julukan saja (kunyah), nama aslinya adalah Utsman bin Amir bin Amr. Begitu pula dengan Ummu al-Khair, nama aslinya adalah Salmah binti Sakhar bin Amr bin Kaab bin Saad bin Tim.[1]
Pasangan ini berasal dari golongan bangsawan Quraish, dari Kabilah Taim bin Murrah bin Kaab. Bani Taim, dari semenjak sebelum masa Hasyim bin Abdu Manaf (leluhur Rasulullah), di lingkungan masyarakat Quraish telah dipercaya sebagai pengelola masalah diyat (tebusan darah) dan segala macam tebusan ganti rugi lainnya. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Bani Taim terkenal dengan sifat-sifatnya yang terpuji, yaitu pemberani, pemurah, ksatria, suka menolong, dan gemar melindungi tetangga.[2]
Ummu al-Khair, setiap kali memiliki anak laki-laki, selalu diberi cobaan dengan meninggalnya mereka. Hingga pada suatu waktu dia memiliki anak laki-laki lagi. Tidak ingin terulang, dia membawa anaknya ke hadapan Kabah dan berdoa, “Ya Allah, jika yang satu ini terbebas (atiq) dari kematian, maka berikanlah dia kepadaku.” Anak inilah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.[3]
Permintaannya kemudian dikabulkan oleh Allah SWT, anak tersebut kemudian diberi nama Abdul Kabah.[4] Beberapa sumber lain menyebutkan namanya Abdullah,[5] namun sejarawan Muhammad Husain Haekal berpendapat bahwa nama Abdullah baru muncul setelah dia masuk Islam dan Rasulullah memberinya nama Abdullah.[6] Meski demikian, banyak sumber sejarah lain yang menyebutkan, bahwa dalam kesehariannya dia lebih sering dipanggil dengan nama Atiq.[7]
Para sejarawan sepakat bahwa Abu Bakar dilahirkan setelah Tahun Gajah – tahun ketika Abrahah melakukan perjalanan menuju Makkah dengan pasukannya – yang mana artinya adalah bahwa dia sedikit lebih muda dari Nabi Muhammad.
Namun di luar kesepakatan umum itu, para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pasti kelahirannya. Beberapa berpendapat bahwa dia dilahirkan tiga tahun setelah Tahun Gajah, yang lainnya meyakini bahwa dia dilahirkan dua tahun enam bulan setelah Tahun Gajah, dan yang lainnya lagi mengatakan bahwa dia dilahirkan dua tahun dan beberapa bulan setelah Tahun Gajah.[8]
Ibnu Katsir meriwayatkan:
Yazid ibn al-Asamm berkata, bahwa Nabi berkata kepada Abu Bakar, “Apakah aku yang lebih tua atau engkau?”
Dan dia berkata, “Engkau lebih tua dariku, tetapi aku (hanya) memiliki beberapa tahun yang lebih (muda) darimu.”[9]
Dilahirkan dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga dari garis keturunan bangsawan, Abu Bakar diberkahi dengan pendidikan yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Dan sedari usia muda, dia telah mendapatkan kedudukan yang terhormat di tengah-tengah masyarakat.
Adapun penampilan fisiknya, dia digambarkan berkulit putih dan kurus. Beberapa sejarawan memiliki riwayat terkait yang menyatakan bahwa warna putih kulitnya bercampur dengan warna kuning. Punggungnya condong ke depan pada tingkat tertentu. Wajahnya kurus, dan karena dahinya agak menonjol, maka itu membuat rongga matanya tampak sangat dalam di wajahnya. Dan meskipun betisnya kurus, kakinya berotot.[10]
Sementara itu, Aisyah RA, putri Abu Bakar kelak, pernah menggambarkan bahwa perawakan ayahnya adalah kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas. Sementara itu perangainya digambarkan damai, sangat lemah lembut, dan sikapnya tenang sekali. Dia tak mudah terdorong oleh hawa nafsu.[11] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Dr. Ali Muhammad Muhammad As-Sallaabee, The Biography of Abu Bakar As-Siddeeq, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris oleh Faisal Shafeeq (Darussalam: Riyadh, 2007), hlm 33.
[2] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah (Litera Antar Nusa: Jakarta, 2003, Cet. Ketiga), hlm 2.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Musa bin Talhah bin Ubaidillah, dikutip oleh Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 3.
[4] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 2-3.
[5] Yang mengatakan demikian adalah Ibnu Katsir dan Ibnu Asakir, dalam Jalal ad-Din as-Suyuti, Loc. Cit.
[6] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 3.
[7] Jalal ad-Din as-Suyuti, Loc. Cit.
[8] Dr. Ali Muhammad Muhammad As-Sallaabee, Op. Cit., hlm 32.
[9] Jalal ad-Din as-Suyuti, Op.Cit., hlm 6.
[10] Dr. Ali Muhammad Muhammad As-Sallaabee, Loc.Cit.
[11] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 4.