Mozaik Peradaban Islam

Ibrahim bin Adham (10): Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dalam Sastra Melayu (1)

in Tasawuf

Last updated on February 19th, 2021 12:30 pm

Kisah Ibrahim jauh menembus hingga ke India dan Indonesia. Di Indonesia lebih tepatnya ia masuk ke dalam lingkungan masyarakat Melayu, Jawa, Sunda, dan Bugis. Berikut ini adalah kisahnya.

Munajat yang diyakini berasal dari Ibrahim bin Adham yang beredar di kalangan masyarakat Melayu. Sumber: putramelayu.web.id

Demikianlah, dalam artikel-artikel sebelumnya kami telah menyampaikan kisah Ibrahim bin Adham menurut versi Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya, yang mana berasal dari bahasa Persia.

Namun, menurut N. Hanif, penulis buku Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, kisah Ibrahim menyebar tidak hanya sebatas dalam lingkup Persia, ia bahkan jauh menembus hingga ke India dan Indonesia. Di Indonesia lebih tepatnya ia masuk ke dalam lingkungan masyarakat Melayu, Jawa, Sunda, dan Bugis.

Meski demikian, N. Hanif menduga bahwa kisah Ibrahim yang masuk ke wilayah-wilayah tersebut datang melalui orang-orang Persia, bukan dari orang-orang Arab, dan isinya sudah tidak seperti sumber material yang asli, sudah banyak rekaan di dalamnya.[1]

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam usaha mereka untuk melestarikan sastra Indonesia, pernah mengumpulkan hikayat-hikayat lama Melayu. Dan di antara kumpulan hikayat yang telah terkumpul tersebut, salah satunya ternyata adalah hikayat Sultan Ibrahim bin Adham.

Meskipun dalam hikayat tersebut Ibrahim bin Adham disebut sebagai seorang “Sultan”, bukan “Raja”, namun jelas-jelas hikayat tersebut mengacu kepada orang yang sama, yaitu Ibrahim bin Adham yang telah kita bahas dari sejak awal artikel ini, sebab, meskipun kisahnya berbeda, tapi di dalamnya banyak kemiripan.[2]

Barangkali hanya sebatas adaptasi saja, kemungkinan hikayat ini masuk ke Indonesia ketika Dinasti Turki Ustmani sedang berkuasa. Meskipun Indonesia tidak berada di bawah daulah Turki Ustmani, namun dalam beberapa hal, minimal dari istilah-istilah yang dipakai, setidaknya Indonesia juga terpengaruh oleh tren yang sedang berkembang.

Sehingga, mengingat istilah “Sultan” dipopulerkan oleh Turki Ustmani, ketimbang menggunakan istilah “Raja”, orang-orang Indonesia lebih suka memakai kata “Sultan”, yang mana pada hakikatnya maknanya adalah sama saja. Sebagaimana dapat dilihat dari beberapa kerajaan di Indonesia atau Asia Tenggara, banyak raja yang lebih suka menggunakan gelar sultan ketimbang raja.

Orang Indonesia sendiri, di masa modern mengakui, bahwa hikayat-hikayat Melayu tersebut sudah tidak seperti aslinya. Sebelum bangsa Melayu mengenal huruf yang berasal dari abjad bahasa Arab, sastra Melayu disebarluaskan dalam bentuk lisan, yaitu diceritakan oleh nenek atau ibu kepada anak cucunya pada saat-saat tertentu.

Lalu ada juga tukang cerita (yang lazim dikenal dengan nama pawang atau peliput lara) yang menyampaikan hikayat-hikayat tersebut pada saat masyarakat sedang melaksanakan acara-acara tertentu, seperti ketika sedang hajatan atau ketika sedang bersantai melepaskan lelah.

Cara penyebaran yang demikian itu membutuhkan kepandaian dan keterampilan pencerita membumbui ceritanya dengan berbagai cerita khayalan atau menyelip-nyelipkan jenis khayalan yang sesuai dengan selera para pendengar.

Cerita pelipur lara penuh dengan khayalan tersebut di antaranya mengenai kehidupan istana yang mewah, para dewa yang membantu manusia, para bidadari, serta cerita-cerita lainnya.

Ada juga cerita tentang binatang yang mengandung ajaran budi pekerti. Ajaran itu diselipkan dalam pengkhayalan kehidupan binatang sebagai manusia. Kemudian ada cerita-cerita jenaka yang diisi dengan ajaran moral, yang terkandung dalam humor, sebagai ciri khas jenis cerita ini.

Di samping itu, terdapat juga cerita-cerita yang bernuansa Islam, seperti hikayat Isra Miraj Nabi Muhammad saw, Anbiya, dan Khandak, meskipun di dalamnya sudah ditambah-tambahi dengan khayalan si pengarang.

Pada masa itu, sastra Melayu dipandang sebagai alat ajar yang berfungsi untuk menanamkan nilai sosial dan religius. Oleh karena itu, hikayat-hikayat itu secara terus-menerus disampaikan kepada orang lain, dari generasi kepada generasi berikutnya.

Setelah bangsa Melayu mengenal huruf, mulailah cerita-cerita itu dituliskan menjadi naskah. Naskah-naskah itu mengalami pengutipan berkali-kali. Dan dalam setiap pengutipan tersebut terjadilah kebebasan untuk mengubah, menambah, atau mengurangi bahannya sesuai dengan selera masing-masing pengutip.

Inilah kemudian yang dapat menjelaskan mengapa kisah Ibrahim bin Adham di tanah Melayu berbeda dengan sumber aslinya serta memiliki berbagai varian atau versi.[3]

Tidak berlama-lama, sekarang mari kita simak kisah Ibrahim bin Adham dalam sastra Melayu yang pernah tersebar di Indonesia. Versi ini diambil dari Van Ronkel’s Catalogue (Bijdragen T.LV. No. 607. B. p. 190), dengan judul Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham. Selamat menyimak:

Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham

Konon di negeri Irak memerintah seorang raja yang adil, Sultan Ibrahim bin Adham namanya. Dia memerintah dengan segaIa kasih sayang dan selaIu memberikan karunia kepada hamba sahayanya yang berbuat jasa.

Terkesan oleh paham tasawuf yang dianutnya, dia lebih mengutamakan penyucian diri pada masalah duniawi yang pada pendapatnya bersifat tipuan belaka.

Demikianlah dia meninggalkan istana dengan segala kemewahannya dan menyerahkan pemerintahan kepada Wazirul Alam, seorang wasir kepercayaannya. Dia pun masuk hutan dengan menyamar sebagai fakir dengan hanya membawa tongkat, pisau, kantung makanan, dan cincin kerajaan.

Dia menghabiskan waktunya untuk beribadah. Pada malam hari dia saIat, berzikir, dan bertahajud. Makanan dan minumannya diambil dari apa saja yang dapat diperolehnya di daIam hutan.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (South Asia), (Sarup & Sons: New Delhi, 2000), hlm 154-155.

[2] St. Baruroh Baried, M. Syakir, Moeh. Masjkoer, Siti Chamamah Suratno, dan Sawu, Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta, 1985), hlm 2.

[3] Ibid., hlm 5.

[4] Ibid., hlm 15-16.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*