Mozaik Peradaban Islam

Ibrahim bin Adham (11): Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dalam Sastra Melayu (2)

in Tasawuf

Last updated on February 22nd, 2021 02:59 pm

Ibrahim memakan buah delima di sungai. Sebagai ganti atas itu, pemilik kebun meminta Ibrahim untuk menikahi Siti Saleha, putrinya yang berparas elok.

Foto: Lukisan Ibrahim bin Adham dikunjungi malaikat. Dibuat di Bengal, India Timur sekitar tahun 1790-1800, pelukis tidak diketahui. Sumber: christies.com

Pada suatu hari dia mendapatkan sebuah delima yang hanyut di sungai. Setelah separuh dimakannya, dia pun menjadi sangat menyesal karena hal itu dilakukannya tanpa seizin yang mempunyainya. Dia bertekad hendak mencari siapa pemilik buah itu, agar dapat dihaIaIkan apa yang telah dimakannya itu.

Di negeri Kufah diam seorang yang bernama Syarif Husein. Anaknya hanyaIah seorang putri, namanya Siti SaIeha. Parasnya elok, lagi pula berbudi mulia. Pada tempat kediaman Syarif Husein itu ada kebun yang sangat indah, yang ditunggui oleh dua orang pendeta, yaitu Syekh Ismail dan Mafatihul Arifin. Di daIam kebun itu dibuat orang parit-parit yang airnya mengaIir ke sungai.

Pada suatu ketika Syarif Husein sakit keras. Dipanggilnya Siti Saleha seraya diberi tahu bahwa telah datang waktunya dia akan berpulang ke rahmatullah. Dia meramalkan, bahwa sepeninggalnya Siti SaIeha akan diperistri oleh Sultan Ibrahim bin Adham.

Kepada putrinya, diberikan nasihat supaya berbakti kepadanya agar mendapatkan rahmat ilahi. Siti Saleha dipertaruhkan kepada Mafatihul Arifin sebagai ganti ayahnya. Tidak lama antaranya Syarif Husein pun wafatlah.

Dalam keadaan sedih Siti Saleha selaIu dihibur oleh Mafatihul Arifin. Diceritakannya contoh-contoh kiasan bagaimana Nabi menghibur putrinya Siti Fatimah yang miskin itu dan dikatakan bahwa kemuliaan yang sejati akan dapat diperoleh di dalam surga kelak.

Sehubungan dengan itu, Sultan Ibrahim bin Adham sampai ke tempat itu. Kedatangannya disambut oleh Syekh Ismail. Karena Sultan Ibrahim yakin bahwa delima yang diperolehnya berasal dari kebun itu, kepada Syekh Ismail dia minta agar delima yang telah dimakannya dapat dihaIalkannya.

Syekh Ismail menasihatkannya agar minta kepada Siti Saleha, pemilik yang sebenarnya. Namun, Siti Saleha tidak bersedia menghalalkannya, dengan alasan bahwa di seluruh negeri tidak terdapat buah delima yang semacam itu.

Dia hanya dapat menghalalkannya apabila fakir itu mau menikah dengan dia. Sultan Ibrahim menyetujui usul itu dan Siti Saleha pun menjadi istrinya yang berbakti. Namun, mereka hanya semalam saja hidup sebagai suami istri.

Keesokan harinya Sultan Ibrahim minta diri kepada Siti Saleha. Dia hendak meneruskan perjalannnya ke Makkah untuk memusatkan perhatiannya pada ibadah dalam rangka menjauhkan diri dari dunia yang sementara ini.

Dia menambah bahwa di akhirat yang abadi, kelak mereka akan saling bertemu kembali. Dalam keadaan sedih dan rindu yang mendalam karena perpisahan itu, Siti Saleha tidak lalai memohon ke hadirat Tuhan agar doa suaminya itu terkabul.

Di Makkah semua orang hanya mengenalnya sebagai fakir yang miskin. Berhari-hari pekerjaannya tiada lain adalah salat, tawaf, dan mengerjakan ibadah yang lain.

Siti Saleha melahirkan seorang putra dari perkawinannya dengan Sultan Ibrahim yang diberinya nama Muhammad Tahir. Oleh karena Muhammad Tahir oleh teman-temannya selalu dikata-katai sebagai anak tanpa bapak, anak zinah, atau kata-kata keji yang lain, dia minta izin kepada ibunya hendak mencari ayahnya.

Ibunya terpaksa mengizinkan dan memberi tahu kepadanya tempat ayahnya berada karena kehendak anknya itu tidak lagi dapat dihalang-halangi. Pada waktu itu dia berusia 20 tahun.

Muhammad Tahir berhasil bertemu dengan ayahnya di Masjidil Haram. Betapa rindu ayah itu kepada anaknya tidak dapat dilukiskan sehingga dalam berkasih-kasihan itu dia lupa kepada ibadah tawaf yang biasa dilakukannya.

Ketika dia ingat akan hal itu, anaknya pun disuruhnya pergi, bahkan dengan kekerasan dan ancaman. Diberinya anaknya itu cincin kerajaan dan disuruhnya pergi ke Irak untuk pergi ke istana.

Untuk memenuhi perintah ayahnya, Muhammad Tahir pergi ke Irak. Dia pun menuju ke istana dan diterima oleh Wazirul Alam. Demi dilihatnya cincin kerajaan itu, Wazirul Alam dan para menteri hulubalang yang ada di penghadapan mengangkat Muhammad Tahir ke atas singgasana kerajaan.

Namun, Muhammad Tahir tidak mau menerima pengangkatan itu karena kedatangannya semata-mata menaati perintah ayahnya, bukan untuk mencari kekuasaan atau kemuliaan. Kepada Wazirul Alam, dia hanya menyampaikan nasihat supaya berlaku adil dalam mengemban kekuasaannya, adil dalam melaksanakan semua peraturan negeri, adil dalam menangani setiap macam pengaduan, dalam hal harta benda orang kecil, dan dalam melaksanakan hukum. Untuk melaksanakan keadilan itu, raja hendaknya menunjuk empat orang menteri yang paling baik sebagai pembantu utama.

Muhammad Tahir segera meninggalkan istana seorang diri, dengan membawa sedikit permata, atas desakan keras para wazir.

Sesampainya di Kufah, Muhammad Tahir menyampaikan salam ayahnya kepada Syekh Ismail, Mafatihul Arifin, dan ibunya. Permata yang dibawanya dari Irak diberikan juga kepada ibunya.

Setiap tahun Wazirul Alam tidak lali mengirimkan delapan unta dengan harta sebagai upeti bagi Muhammad Tahir.[1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] St. Baruroh Baried, M. Syakir, Moeh. Masjkoer, Siti Chamamah Suratno, dan Sawu, Memahami Hikayat Dalam Sastra Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta, 1985), hlm 16-18.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*